Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
...***...
"Savin?" Kaal memanggil pelan, langkahnya mengendap menuju ruang tidur adik perempuannya, membuka gagang pintu dengan hati-hati, jantung berdegup keras sebab ia baru saja menyaksikan adiknya itu memasuki rumah dengan derai air mata.
Dari ambang pintu, Kaal menangkap adiknya sedang menggenggam sekepal rambutnya sendiri.
Gadis itu berdiri di depan cermin, tangan kanannya memegang gunting.
Satu hal yang Kaal tahu pasti, Savin sangat menyayangi rambut panjangnya. Adiknya itu selalu merawat rambut sepunggungnya dengan sangat baik, terbukti dari berbagai jenis botol perawatan yang berjejer rapi di atas meja rias.
Maka untuk melihat adiknya yang mendadak mengarahkan gunting ke kepalan rambut untuk memotongnya secara asal membuat Kaal sontak berteriak.
"Savin! Hentikan!! Apa yang kau lakukan?!"
Kaal segera berlari, telapak tangannya menggenggam kuat ujung sisi gunting yang runcing tepat sebelum benda itu memotong rambut adiknya.
Savin memberontak, berusaha tetap menggerakkan benda itu tanpa menyadari bahwa tangan Kaal berada di sana untuk mencegah.
Beberapa potong rambut mulai berjatuhan ke lantai.
Melihat itu, Kaal dengan sekuat tenaga merebut gunting yang menjadi permasalahan. Ia segera melemparkannya jauh dari jangkauan Savin begitu benda tersebut berpindah tangan.
Adiknya menangis semakin keras—lengking meraung yang membuat hati Kaal kandas.
Dalam satu suara tumpul, Jennie jatuh terduduk. Gadis itu menutup wajahnya sambil mengeluarkan segala isak dari dada.
Di antara tangisnya, adiknya itu mengucapkan sebaris kalimat yang mengirimkan lara ke lubuk terdalam Kaal.
"Kak...." bisik adiknya itu parau
"Dia tidak pernah melirikku kak, dia hanya mencintai kak Melo, dia bahkan bilang aku terlihat aneh dengan rambut panjangku."
...***...
Kaal terbangun dengan tubuh penuh peluh. Ia terengah, napasnya berhembus serampangan hingga dadanya terasa sesak. Seraya menggosok wajahnya frustasi beberapa kali, ia menunduk untuk menenangkan diri sendiri.
Potongan memori itu belum juga hilang.
Bagaimanapun Kaal mengenyahkannya, potongan itu tetap hadir sebagai mimpi buruk. Ia sadar kejadian itu telah lama berlalu, begitu pula dengan segala kesedihan dan kepedihan yang mengikutinya ketika ia melihat adik perempuannya jatuh dalam depresi berat.
Namun hal tersebut membekas sebagai trauma. Menancap kuat di lubuk terdalam Kaal yang selalu dilema.
Menelan ludah, Kaal berusaha untuk membuang berat yang menggelayut di dadanya. Ia melirik sekilas ke nakas, menangkap benda digital yang berkedip menampilkan pukul sepuluh lebih.
Kening lelaki itu mengernyit, ia tidak sadar bahwa siang telah sedikit menoreh langit pagi.
Dengan tubuh yang masih bergetar, Kaal membuka selimut.
Pada waktu-waktu ini biasanya Melody telah selesai menyiapkan sarapan. Gadisnya itu mungkin sedang mengerjakan pekerjaan rumah lain semacam menyedot debu pada karpet—walaupun jasa pembersih di apartemen mereka tidak pernah absen untuk melakukan pekerjaan serupa, tetapi Melody adalah seseorang yang tidak bisa diam.
Jadi, Kaal berjalan keluar. Langkah kakinya tertatih timpang, namun ia tahu penyembuh dari segala gundahnya menunggu di luar sana—senyum tulus yang cerah serta ajakan untuk makan bersama.
Membuka pintu, Kaal memindai sejenak ke penjuru ruangan yang sepi.
Ia tertegun bodoh dengan benak penuh pertanyaan, akan tetapi kemudian segaris sungging pahit tergambar di bibirnya.
Ia lupa.
Oh, ia sungguh lupa.
Melody, gadis itu telah memutuskan untuk pergi tanpa membawa apapun selain masalah yang belum selesai, kalimat yang menjadi penyebab mimpi buruknya dan sebagian hatinya yang kini terasa terlalu kosong.
Mendesah lelah, Kaal merosot dengan punggung bersandar pada pintu. Kegundahannya menjelma menjadi sesuatu yang lebih defensif;
perasaan kehilangan.
...***...
"Ini masih pukul dua siang."
Seorang bartender yang tidak Kaal tahu namanya berceletuk setelah ia memesan segelas wiski.
Wanita cantik itu mengamati Kaal dengan tatapan yang menghakimi—juga sedikit mencari keseriusan Kaal akan pesanan sebelumnya.
Menantang, Kaal membalas tatapan tersebut.
Ia sedang malas berdebat dan memilih cara ini agar si bartender segera membuat pesanannya tanpa banyak bicara.
Memahami arti tatapan Kaal, wanita dengan piercing di telinga itu kemudian mengangkat kedua alis tak acuh.
Bunyi botol beradu gelas kaca berdenting, beberapa bongkah es dituang sebelum Kaal menerima pesanannya di tangan.
Ia menimbang gelas itu sejenak, memutar di genggaman selagi isi kepalanya melukiskan wajah seseorang secara berulang-ulang tanpa kenal lelah.
Melody Senja.
Sahabat kecilnya.
Seseorang yang menghuni paling banyak bagian hati Kaal hingga membuat ia gundah tentang bagaimana cara mengusir gadisnya itu dari sana.
Oh, tidak.
Itu bukan cinta.
Kaal yakin ia tidak mungkin jatuh cinta.
Kaal tidak mau jatuh cinta.
Ia bahkan memastikan dengan sangat baik bahwa ia selalu berhasil mencegah hal tersebut sebelum itu terjadi. Pengecoh yang ia pilih bervariasi seperti pekerjaan, rokok, alkohol, musik klub.
Tetapi ketika Kaal tahu ia berada dalam masa kritis, ketika hatinya yang lemah mulai jatuh, mulai menginginkan Melody pada titik dimana sentuhan sederhana dari gadis itu dapat membuatnya berlutut dan mengaku bahwa Melody Senja adalah matahari di tata suryanya yang kacau, hanya ada satu pilihan yang pasti tersedia.
Peraduan tubuh yang liar—bercinta yang kotor.
Bercinta dengan seseorang mendorong Kaal untuk lupa, membuat benaknya yang berisi perasaan kepada Melody untuk segera sirna. Menggantikan segala 'jika saja' yang bertebaran menjadi hasrat murni untuk merusak orang lain.
Karena sejujurnya—bagi Kaal, itu tidak adil bagaimana mereka begitu mudah menyerahkan diri sementara ia bertahan mati-matian untuk tidak jatuh kepada satu-satunya gadis yang mampu membuatnya luruh.
"Kau punya reputasi yang menarik Tuan"
Imaginasinya tentang gadis pujaannya menyurut, lamunan Kaal buyar saat bartender di balik meja kembali menyapa.
"Oh, ya?" jawabnya malas.
Kaal meminum tegukan pertama dari senyawa yang ia pesan sebelumnya dan berniat untuk menyudahi percakapan itu. Namun mendadak, suatu rasa penasaran menyerangnya.
"Apa saja yang kau dengar tentangku nona?"
"Banyak." Bartender wanita di hadapannya tertawa kecil.
"Banyak sekali."
Kaal menyadarinya—pembicaraan yang terjadi di balik punggung, kalimat tertukar yang merambat dari telinga ke telinga tentang dirinya, tetapi ia tidak pernah tahu apa yang mereka bicarakan.
Berpaling ke bartender yang masih memperhatikannya, ia bertanya,
"Apa nona cantik bersedia memberitahuku?"
Seperti telah menunggu kalimat tersebut, si bartender dengan cepat menyahut
"Yang mana Tuan? Yang baik atau yang buruk?"
"Terserah," Kaal mengedikkan bahu, ia hanya ingin mendengar, bukan meneliti.
"Okay."
Bartender itu tiba-tiba mendekat, kedua sisi lengan bertumpu pada meja sementara wajah mendekat ke Kaal.
Merasa risih, Kaal hendak menarik tubuhnya menjauh, akan tetapi dada penuh si bartender mendadak terjamah penglihatannya dan ia segera mengerti situasi apa yang sedang berlangsung saat itu.
"Ini adalah salah satu yang paling buruk," wanita itu terkikik sejenak.
"Beberapa orang mengatakan bahwa kau penyuka anak kecil, hm semacam pedofil yang tidak bisa melampiaskan nafsumu dengan tepat. Maka dari itu kau berubah menjadi gila dan mengincar seseorang dengan wajah kekanakan untuk kau ajak tidur"
Kaal meloloskan dengus tawa pelan sebab itu terdengar sangat konyol. Darimana pula orang-orang ini dapat menyimpulkan hal semacam itu sementara ia selalu memilih targetnya secara acak.
Lagipula, biasanya justru mereka yang mengundangnya secara eksplisit untuk menerkam.
Seperti sekarang ketika si bartender dengan sengaja mengekspos leher putih jenjangnya tepat di depan mata Kaal.
Masih dibasuh penasaran, Kaal mengulur pembicaraan
"lalu yang baik?"
Bartender itu mengerucutkan bibir seolah sedang mencari pernyataan mana yang patut dilontarkan. Suasana bar yang sepi nyatanya menjadi keuntungan sebab Kaal tidak perlu takut jika keingintahuannya tidak terjawab.
"Ada satu yang paling aku ingat," kedua alis wanita yang kini bertumpu dagu tampak mengerut.
"Katanya, kau sedang menutup patah hatimu yang tidak kunjung sembuh, semacam cinta bertepuk sebelah tangan, atau mungkin seseorang yang kau cintai tapi tak bisa kau miliki"
Kaal tersenyum kecut karena kalimat itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar.
Ia memang nyaris patah hati seseorang yang sungguh ia inginkan tidak dapat menjadi miliknya, bagaimana mungkin ia tidak nyaris patah hati?
Tetapi Kaal mengerti apa yang orang-orang lain sebut sebagai patah hati akan menghancurkannya ratusan kali lipat daripada perasaan tidak nyaman yang menetap di sanubarinya selama ini.
Sebab seperti yang sudah ia tegaskan sebelumnya, ia belum jatuh cinta.
"Hey," si bartender menegur ketika Kaal diam terlalu lama.
"Jadi menurutmu rumor mana yang merupakan kenyataan?"
Kaal meneguk isi gelasnya habis, berdesis sejenak ketika rasa terbakar tersisa di indra perasanya. Ia lalu menatap wanita cantik di hadapannya, jemari dengan berani memilin rambut wanita tersebut.
"Tidak ada," jawabnya.
Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengalihkan topik. Meletakkan gelas ke atas meja, ia mendekatkan bibir ke telinga si bartender.
"Sekarang katakan," bisiknya rendah.
"Pukul berapa shift-mu berakhir nona?"
"Bagaimana kau kita membicarakan fakta tentang rumor itu di ranjangku, tertarik?"
...TBC...
Well, terima kasih sudah membaca. Review please?🙂↔️🙂↔️🙂↔️