THE KNIGHT

THE KNIGHT

MISI MULIA

Pukul tiga pagi, alarm digital berbunyi lirih di meja sebelah tempat tidurku. Mataku langsung terbuka lebar. Aku melompat bangun dan terjaga sepenuhnya, jemariku dengan gesit menyentuh sensor jam hingga deringnya berhenti seketika.

Tak ada sisa kantuk sama sekali di kepalaku. Meski aku hanya tidur selama tiga jam, tapi itu sudah lebih dari cukup buatku. Aku pernah tidak tidur berhari-hari di situasi yang menjadi mimpi buruk banyak orang. Aku bisa bertahan saat itu. Maka dari itu, tidur selama tiga jam di atas ranjang empuk dan kamar hangat seperti yang kulakukan sekarang adalah suatu kemewahan yang sangat mudah kulakukan.

Mataku yang tajam memandang sekitar dengan waspada. Tentu saja ini konyol--tidak ada yang mencurigakan atau membahayakan sama sekali di kamar yang luas dengan perabotan kayu berukir dan lampu tidur bergagang emas. Hanya ada aku di kamar ini. Seragam sekolah baruku menggantung rapi di pintu lemari kayu jati besar di sisi dinding barat. Tabletku tergeletak di ujung tempat tidur usai kulempar semalam sebelum kuputuskan memejamkan mata.

Materi pelajaran satu semester sekolah tinggi yang kupelajari semalam benar-benar membosankan. Aku sudah hafal dan mengerti semua isinya dalam waktu singkat, dan aku sama sekali tak melihat teori-teori itu akan berguna di kehidupan nyata, kecuali teori dasar Ilmu Penyembuhan, yang isinya sudah kukuasai sejak sepuluh tahun lalu saat aku belajar di tingkat pertama Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi.

Ini bukan pertama kalinya aku sekolah. Aku sudah lulus empat tahun lalu, mendapat gelar lulusan termuda dan terbaik dari sistem pendidikan dan pelatihan keras khas Akademi Militer. Saat itu, aku merasa prestasi seperti itu biasa saja, hambar dan tak ada artinya. Itu hanyalah angka di atas kertas, meski semua ilmu yang kupelajari sedikit berguna setelah aku lulus.

Ya, hanya sedikit. Setelah merasakan hidup bertahun-tahun dalam pertempuran antara hidup dan mati di tanah dingin dan asing sepertiku, kau juga pasti akan yakin bahwa hampir semua teori yang diajarkan di papan tulis adalah dongeng pembodohan, dan praktek pertarungan hanyalah permainan anak kecil yang merasa sudah menaklukkan dunia padahal ia baru bisa menendang bokong lawan hingga terjungkal keluar arena.

Jika Akademi Militer saja sekonyol dan setidak berguna itu, apalagi ini, sekolah tinggi yang isinya kebanyakan remaja-remaja yang masih tidak tahu mau menentukan tujuan hidupnya seperti apa. Mereka hanya sibuk menggosip, mencari pacar, mengebut di jalan, dan gerilya mereka adalah mencuri kesempatan yang bisa mereka dapat untuk melakukan semua hal yang dilarang norma dan hukum negara karena belum genap usia--rokok, alkohol, seks.

Dan mulai hari ini, aku harus menghabiskan hidupku di situasi seperti itu.

Aku menghela napas panjang. Aku paham betul hidup tidak pernah menawarkan kepastian. Aku sudah terbiasa dengan segala ketidakpastian dan peristiwa-peristiwa dramatis yang bisa menghantam kesadaranku sewaktu-waktu. Berkali-kali berada di batas tipis hidup dan mati barangkali sudah membekukan jiwaku. Aku sudah jarang merasakan perasaan apapun sejak bertahun-tahun lalu.

Tapi sekarang aku mulai merasa sedikit jengkel. Perubahan kali ini tidak bisa dibilang dramatis--meski tentu saja cukup drastis. Bagaimana tidak? Seminggu lalu aku masih bertaruh nyawa memburu musuh, berlari di antara ledakan bom dan desingan peluru, bahkan hampir mati dikepung senjata, namun sekarang aku menghabiskan waktuku dengan duduk di ruangan hangat sambil membaca materi sekolah yang tak ada gunanya, sesekali berolahraga, menembak papan sasaran, dan kalau bosan hanya bisa keliling kota yang setiap jalanan dan persimpangannya langsung kuingat hanya dengan sekali melintas.

Kalau saja aku tidak ingat apa tujuanku sebenarnya berada di Istana Negeri Laut Pasir, mungkin sejak kemarin aku sudah terbang meninggalkan negara ini. Mungkin aku akan kembali ke Negeri Bukit Tinggi. Meski aku tak punya siapa-siapa di sana, tapi setidaknya atmosfer dan daratannya lebih menyenangkan buatku. Lebih hijau, segar, asri. Sejak kecil aku terbiasa hidup di lingkungan seperti itu. Dan sekarang aku harus beradaptasi tinggal di lingkungan kering dan panas menyengat hampir sepanjang waktu.

Tak ada aroma hujan, rumput, kayu-kayu segar yang sangat kusukai.

Aku bahkan terpaksa terus menyemprotkan parfum wangi hutan basah ke tubuh dan udara sekitarku agar aku bisa merasa sedikit rileks. Aroma gurun tandus tak pernah bisa menawarkan perasaan nyaman dan menenangkan seperti rumah. Dan aku butuh sedikit merasa tenang daripada lama-lama aku sinting karena bosan dan diliputi gelisah yang memuncak, sebab energi dan daya juangku yang biasanya meluber di medan perang, kini tak punya tempat yang cukup memadai untuk dialirkan secara benar.

Aku membayangkan kabur ke Negeri Bukit Tinggi, menghabiskan beberapa waktu dengan damai sambil menyusun strategi dan senjata. Aku tidak berniat tinggal di surga selamanya. Aku memutuskan kembali ke neraka pertempuran. Aku akan kembali dan menyusup ke utara. Ke Negeri Lembah Merah. Aku akan mencari cara untuk mendekati kepala musuh dan memenggalnya. Aku perlu membalaskan dendamku. Setelah itu, aku bisa mati dengan tenang..

Tapi itu tidak akan terjadi sekarang.

Aku membuka lemari dan menarik sehelai kaos olahraga hitam tanpa lengan. Setelah berganti pakaian, aku melenggang meninggalkan kamar menuju gym dan arena menembak di halaman belakang Istana, tak jauh dari paviliun tempat kamarku berada.

Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk berolahraga, setengah jam untuk berlatih bela diri, setengah jam untuk menembak.

Latihan-latihan ini bisa kulakukan sambil memejamkan mata. Meski mudah, aku tak boleh melewatkannya sehari pun. Otot dan otakku tak boleh lengah dan lupa setiap gerakan yang diperlukan untuk tetap sigap dan waspada.

Walau sekarang sedang tidak bertempur, aku memiliki misi untuk melindungi seseorang. Sesuatu tak terduga bisa saja terjadi saat aku menjalankan misiku. Aku tak boleh mengendurkan standar dan kemampuanku dalam bertarung. Aku harus bisa memenangkan setiap pertempuran yang terjadi. Sebab pilihannya hanya ada dua, menang atau mati.

Selalu seperti itu.

Saat fajar menjelang, aku sudah menyelesaikan latihanku dan duduk di beranda paviliun sambil menyeruput susu hangat dan menyantap berbutir-butir telur rebus. Aku fokus kembali pada tabletku. Kuakses server khusus dan rahasia milik Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Kupelajari unggahan terbaru mengenai data dan laporan terkini pergerakan musuh yang dihimpun Pasukan Intelijen. Tak ada yang mencurigakan atau berarti. Kupelajari data dan laporan harian markas keamanan. Semuanya aman.

Namun aku melihat ada satu laporan yang dikirim dari kantor pusat Kepolisian Negara, yang menurutku sedikit aneh. Jumlah kriminalitas seperti perampokan dan perusakan sebulan terakhir sedikit meningkat. Dan para pelaku yang tertangkap bertingkah seperti orang gila hingga agak sulit dikendalikan. Kepolisian Negara sampai melibatkan Pusat Penyembuhan dan Rehabilitasi Mental terdekat untuk menangani pelaku yang diduga mengidap gangguan kejiwaan.

Aku mengerutkan alis. Orang-orang mengidap gangguan jiwa dan berbuat onar di saat yang sama? Apakah ini adalah bentuk kesengajaan? Siapa yang sengaja menimbulkan kekacauan seperti ini?

Kasus ini menggelitikku. Tapi aku tidak boleh mengurusnya. Kasus itu sudah ditangani Agen lain. Selain itu aku punya misiku sendiri. Perintah itu langsung diturunkan oleh Presiden sejak aku bergabung menjadi Agen Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir lima hari lalu.

Aku harus melindungi seorang gadis bernama Puri Agung. Ia adalah putri Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir, yang karena dirinyalah, mulai hari ini aku harus mengenakan seragam sekolah dan menjadi murid di sekolah tinggi yang sangat membosankan.

Aku menghela napas dan membuka kembali data dan informasi yang menjadi pekerjaan utamaku. Data terbuka begitu jariku mengetuknya, menampilkan foto seorang gadis sangat cantik bermata hitam lembut dengan rambut lurus tebal panjang dan berwarna hitam. Raut wajahnya polos dan bibir tipisnya tersenyum hangat ke arahku.

Saat melihat foto itu, aku tak bisa mencegah ingatan ketika aku pertama kali melihatnya dalam benak Dirah Mahalini, Presiden Negeri Laut Pasir.

Dirah memperlihatkan padaku kilasan gadis ini tersenyum dan memelukku hangat. Aku juga melihat kilasan saat ia menangis disergap musuh, dan aku melihat diriku mati-matian bertarung untuk melindunginya dari ancaman kematian.

"Gadis ini akan menjadi takdirmu, Arya. Seperti halnya kamu yang bisa membaca pikiran, dan aku yang bisa melihat masa depan, ia juga memiliki kekuatan magis yang tak kalah hebat--ia bisa melihat masa lalu dan segala kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran adalah kekuatan. Siapapun yang menggenggam kebenaran lawan, maka ia akan mengetahui semua kekuatan dan kelemahannya, dan itu akan membantu memenangkan perang. Gadis ini adalah kunci kemenangan perang yang akan kita hadapi di masa depan. Jika kita bisa melindunginya dan mempertahankannya, kita menang. Tapi jika dia sampai jatuh ke tangan musuh... kita akan kalah dan musnah."

Aku menghela napas lagi. Tentu cerita seperti itu terkesan tidak masuk akal. Tetapi faktanya, aku memang bisa membaca pikiran, dan aku cukup terkejut saat pertama kali bertemu Dirah dan mengetahui bahwa ia bisa melihat masa depan.

Aku bisa membaca pikiran sejak aku masih sangat kecil. Suara-suara di kepala, perasaan, hingga terkadang apa yang tertangkap mata manusia di sekitarku saat itu mengalir deras memasuki benakku. Aku seperti dirasuki jutaan hantu setiap harinya, yang memaksaku untuk melihat, mendengar, berpikir, dan merasa di posisi mereka. Tapi didikan keras ala militer yang kuterima sejak kecil tidak membuatku goyah atau takut menghadapi hantu-hantu itu. Seperti halnya bergulat dengan musuh, aku bisa bergulat dan menghalau hantu-hantu itu dengan mudah.

Aku tahu pikiranku adalah milikku sendiri, dan hantu-hantu itu seperti rakyat yang ingin masuk dan hidup di kerajaanku. Sebagai raja, aku yang memerintah, mengatur, dan menguasai mereka.

Aku bisa menentukan dengan mudah mana pikiran yang mau kubaca sepenuhnya, setengahnya, atau tidak sama sekali.

Menjangkau pikiran seseorang, dan mengusir kilasan pikiran seseorang dalam benakku, sama mudahnya dengan menembak dan menghindari peluru buatku.

Tetapi bagiku, sejauh ini, hantu-hantu pikiran itu justru terbukti sangat mempermudah hidupku.

Aku hampir tak pernah kalah bertarung, karena aku selalu mengetahui pikiran lawanku, gerakan apa yang akan diambilnya, suasana hati dan sudut pandangnya, sehingga aku bisa menentukan langkah yang tepat untuk mengantisipasi dan menaklukannya.

Aku hampir tak pernah tertembak di medan perang, karena aku selalu tahu kapan dan dari mana arah datangnya peluru.

Aku hanya akan terluka dan mampus jika aku kalah cepat dan kalah jumlah.

Sejauh ini, aku baru sekali dikepung pasukan dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap. Hal itu terjadi seminggu lalu, dan kukira itu adalah pertempuran terakhirku di medan perang yang menjadi hidupku selama hampir dua tahun.

Aku sudah bersiap mati dalam ledakan bom, saat tiba-tiba sosok misterius muncul dan memingsankanku, lalu membawaku bertemu Dirah di Negeri Bukit Tinggi dalam sekejap mata.

Sosok itu Agen Pelindung Negeri Laut Pasir, sekaligus seorang dokter, bernama Kama. Ia juga memiliki kekuatan yang tidak biasa--ia bisa bergerak dan berpindah secepat kilat. Dialah yang diperintahkan Dirah untuk menjemputku dari medan perang dan menyelamatkanku dari maut. Dirah memanggilku, membutuhkanku, karena aku ada dalam visinya, dan aku adalah keponakan jauhnya.

Aku yatim piatu sejak kecil. Aku diangkat anak dan dibesarkan oleh Kepala Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi bernama Galang Bintang. Didikan kerasnyalah yang membentuk sifatku menjadi kuat dan setangguh sekarang. Ia meninggal saat usiaku tiga belas tahun.

Dua tahun sebelum meninggal, Galang memberitahuku bahwa Dirah Mahalini yang saat itu kulihat di televisi tengah dilantik menjadi Presiden Negeri Laut Pasir adalah bibiku, dan ibuku adalah sepupu jauhnya yang meninggal tak lama setelah melahirkanku.

"Jika dia bibiku, kenapa dia tak merawatku? Kenapa aku tidak tinggal di Negeri Laut Pasir? Siapa ayahku?" tanyaku tajam.

Galang menjelaskan bahwa sebelum menjadi Presiden, Dirah adalah Agen Pelindung yang memiliki resiko pekerjaan tinggi. Selain itu, aku lahir saat situasi Negeri Laut Pasir tidak kondusif dan terjadi banyak pertumpahan darah selama bertahun-tahun. Karena itu, Dirah sebagai satu-satunya keluargaku, menitipkanku pada Galang dan aku pun tumbuh besar sebagai anak militer Negeri Bukit Tinggi.

Tak ada yang tahu siapa ayahku.

Ketika aku bertemu Dirah seminggu lalu, mendengar semua penjelasan dan permintaannya agar aku pulang bersamanya dan menjadi Agen Pelindung Negeri Laut Pasir, membuatku tidak senang. Aku sempat menolaknya. Sampai ia menunjukkan visinya tentang gadis yang bisa melihat masa lalu itu.

"Gadis ini punya peran penting untuk menyelamatkan kita semua dari kehancuran. Ia butuh ksatria sepertimu untuk melindunginya dan menjaganya tetap hidup. Kamu sudah tahu sendiri sekeji apa Negeri Lembah Merah dalam menghancurkan satu negeri. Mereka tidak akan berhenti. Menurutmu, apa yang akan terjadi pada gadis ini jika kekuatannya sampai diketahui musuh? Apa kamu tega melihatnya disiksa dan mati, dan satu negeri kembali hancur di bawah kaki Negeri Lembah Merah? Itukah yang kauinginkan, Arya?"

Aku melihat banyak visi dalam benak Dirah, salah satunya perang besar antara Negeri Laut Pasir dan Negeri Lembah Merah di masa depan. Visi aku dan gadis itu saling jatuh cinta. Visi aku menjalani hidupku sebagai Agen Pelindung di Negeri Laut Pasir, dan menua di negeri ini.

Jujur saja aku tak bisa memercayai seluruh visinya, kecuali mengenai perang itu, yang memang paling masuk akal. Aku teringat semua yang kualami saat bertempur melawan Negeri Lembah Merah, dendamku yang membara setelah menyaksikan kekejian mereka membunuh jutaan manusia tak berdosa hanya demi menaklukkan Negeri Tanjung Agung, membuatku akhirnya setuju ikut kembali ke Negeri Laut Pasir.

"Untuk memuluskan langkah kita, aku akan menjodohkan Puri denganmu," jelas Dirah saat aku setuju mengikutinya dan menjadi Agen Pelindung di negerinya. "Dengan begitu, kamu akan punya alasan untuk selalu berada di sisinya. Itu akan lebih memudahkan misimu daripada sekadar menjadi teman sekelas atau pengawal pribadinya. Selain itu, kalian memang ditakdirkan bersama. Aku melihatnya. Sekarang kamu mungkin tidak akan percaya, tapi seiring berjalannya waktu, kamu akan tahu."

Tentu saja aku tidak percaya. Tapi di sinilah aku. Menjalani hari pertamaku sebagai Agen Pelindung dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki kekuatan melihat masa lalu, menggenggam kebenaran. Melindunginya demi mencegah kehancuran dunia.

Seharusnya, ini akan menjadi misi yang mulia dan tidak membosankan.

...***...

Terpopuler

Comments

Alta [Fantasi Nusantara]

Alta [Fantasi Nusantara]

Di medan pertempuran memang hanya itu pilihannya. Walaupun dibandingkan dengan sebagai pilihan lebih cocok jika sebagai keharusan mutlak. Kamu mampu maka kamu menang, tidak mampu ya harus terima risikonya.

2024-04-24

1

Alta [Fantasi Nusantara]

Alta [Fantasi Nusantara]

Aku pribadi menganggap matematika tu sama sekali gak guna dalam hidup, makanya gak pernah tertarik/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/ asal bisa berhitung aja udah cukup

2024-04-24

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

Aku udah subscribe kak sama kasih bunga juga. per bab bisa sepanjang itu kata nya 👍 keren sih kak

2024-04-18

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!