Di TK Pertiwi Masaran, Bu Nadia, guru TK yang cantik dan sabar, mengajarkan anak-anak tentang warna dengan cara yang menyenangkan dan penuh kreativitas. Meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti balon pecah dan anak yang sakit perut, Bu Nadia tetap menghadapi setiap situasi dengan senyuman dan kesabaran. Melalui pelajaran yang ceria dan kegiatan menggambar pelangi, Bu Nadia berhasil menciptakan suasana belajar yang penuh warna dan kebahagiaan. Cerita ini menggambarkan dedikasi dan kasih sayang Bu Nadia dalam mengajarkan dan merawat anak-anaknya, menjadikan setiap hari di kelas menjadi pengalaman yang berharga dan penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesona Bu Nadia dan Kejaran Pak Arman
Setelah jam sekolah selesai, Bu Nadia merasa sangat lelah. Hari itu cukup menegangkan, terutama dengan kelakuan Pak Arman yang terus meneror dengan telepon dan pesan-pesannya. Ia memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas, menyapa beberapa orang tua murid yang menjemput anak-anak mereka, lalu akhirnya pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Bu Nadia membuka pintu dan melepaskan sepatunya dengan lelah. Ia langsung menuju ruang tamu, merebahkan diri di sofa, dan memejamkan matanya sejenak. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Pak Arman. "Kenapa sih dia terus-terusan ngejar aku? Gak ngerti kode apa ya?" gumamnya sambil menatap langit-langit.
Sambil memejamkan mata, bayangan Pak Arman terus berputar di kepalanya. Wajahnya yang selalu ceria dan penuh semangat muncul setiap kali Bu Nadia mengingat bagaimana ia menolak telepon dan pesannya. “Bener-bener, laki-laki satu ini keras kepala banget,” ujar Bu Nadia dengan suara kecil.
Tapi, di sisi lain, Bu Nadia merasa ada sedikit rasa penasaran yang tumbuh dalam hatinya. Meski Pak Arman terlihat sangat menyebalkan dengan cara pendekatannya yang terlalu agresif, tetap saja ada sisi dari pria itu yang membuatnya berpikir. Pak Arman, seorang ayah dari murid di kelasnya, selalu tersenyum hangat dan ramah, meski Bu Nadia sudah menunjukkan ketidakpeduliannya.
"Kenapa juga aku kepikiran dia terus, sih?" ucap Bu Nadia sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba menepis pikiran tentang Pak Arman, tapi semakin ia berusaha mengabaikannya, semakin kuat bayangan itu datang.
“Enggak mungkin aku ada perasaan sama dia, kan?” pikir Bu Nadia, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, otaknya malah berputar lebih cepat. "Apa mungkin dia serius? Atau cuma main-main? Ah, ini semua bikin pusing."
Dia bangkit dari sofa, berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat tangannya meraih gelas, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Bu Nadia melihat layar ponselnya dan benar saja, nama Pak Arman muncul lagi di notifikasi pesan.
"Pak Arman lagi," katanya setengah kesal, setengah bingung.
Pesan yang muncul di layarnya membuatnya sedikit tersenyum saking absurdnya: “Bu Nadia, lagi apa? Udah pulang kan? Tadi kok suaranya kayak marah ya? Hehe. Jangan marah dong, saya cuma pengen temenan…”
Bu Nadia membaca pesan itu dengan mata menyipit, tak tahu harus tertawa atau kesal. "Temenan? Ini udah lebih dari sekadar ngajak temenan kali, Pak," pikirnya sambil tertawa kecil.
Namun, lagi-lagi, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa tersentuh oleh usaha Pak Arman, meskipun caranya memang sangat berlebihan. "Ah, dia niat banget sih, tapi aku nggak bisa nerima kayak gini. Apa aku harus tegas?" Bu Nadia berbicara pada dirinya sendiri.
Namun, semakin dia mencoba mengabaikan, semakin besar rasa penasaran itu. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Arman? Dan kenapa dia terus-terusan berusaha? Pikirannya makin bercabang, membuatnya merasa sedikit bingung sendiri.
Bu Nadia meneguk air dari gelasnya dan kembali duduk di sofa. "Besok gimana ya? Apa dia bakal lebih gencar lagi di sekolah?" bisiknya, setengah berharap kalau Pak Arman akan berhenti, tapi juga setengah takut kalau dia malah makin nekat.
Ponselnya kembali bergetar, dan kali ini Bu Nadia memutuskan untuk tidak membalas. Mungkin besok akan ada kejutan lain dari Pak Arman, tapi untuk malam ini, Bu Nadia hanya ingin istirahat dan menenangkan pikirannya.
Namun, jauh di dalam hatinya, rasa penasaran itu tidak hilang. Bu Nadia pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya membuat Pak Arman begitu gigih? Apakah hanya sekadar iseng, atau ada hal lain yang lebih dalam?
Cerita ini belum selesai, dan tampaknya Bu Nadia akan segera menemukan jawabannya… atau mungkin malah semakin tenggelam dalam rasa bingungnya sendiri.
Bu Nadia bangun pagi dengan mata yang masih sedikit mengantuk. Dia melakukan rutinitas pagi seperti biasa—mandi dengan segar dan mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Sambil memikirkan apa yang harus dia ajarkan hari itu, ia juga berharap Pak Arman akan berhenti mengganggu. Namun, di dalam hatinya, rasa penasaran yang tertinggal semalam masih membuatnya merasa gelisah.
Setelah sarapan selesai, Bu Nadia bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia mengenakan pakaian kerja yang rapi dan menyisir rambutnya dengan hati-hati. Saat ia bersiap-siap keluar rumah, ponselnya tiba-tiba berdering.
"Loh, siapa nih?" tanya Bu Nadia sambil melirik layar ponselnya. Nama Pak Arman kembali muncul di layar. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengangkatnya, berharap ini tidak akan menjadi masalah lebih lanjut.
“Hallo, Bu Nadia?” suara Pak Arman terdengar dari ujung telepon dengan nada yang lebih lembut dan penuh perhatian daripada sebelumnya.
Bu Nadia mencoba tetap tenang dan menjawab, “Oh, Pak Arman. Selamat pagi.”
Pak Arman terdengar agak canggung, tetapi dia mencoba untuk terdengar lebih santai. “Selamat pagi, Bu Nadia. Maaf mengganggu pagi-pagi. Saya cuma pengen ngomong sebentar.”
Bu Nadia merasakan nada berbeda dalam suara Pak Arman kali ini. Ada kehangatan dan ketulusan yang membuatnya sedikit terkejut. “Oh, ada apa, Pak?”
Pak Arman menjelaskan dengan nada yang lebih lembut, “Sebenarnya, saya mau minta maaf kalau selama ini terlalu agresif. Saya cuma ingin mengenal Bu Nadia lebih dekat. Anda selalu tampak sangat ceria dan penuh semangat di sekolah, dan saya merasa sangat terinspirasi.”
Bu Nadia merasa agak kaget mendengar pujian itu. “Oh, terima kasih, Pak Arman. Tapi sejujurnya, saya masih merasa kalau cara pendekatan Anda terlalu intens.”
“Ya, saya mengerti. Saya cuma mau bilang kalau saya benar-benar tertarik untuk mengenal Anda lebih baik,” kata Pak Arman dengan nada yang lebih dalam dan penuh arti. “Saya tahu kalau ini mungkin terdengar aneh, tapi saya merasa kalau kita bisa berbicara lebih banyak dan saling mengenal, mungkin kita bisa jadi teman baik.”
Bu Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan ini. Mungkin Pak Arman benar-benar serius kali ini. “Pak Arman, kalau Anda ingin kenal lebih dekat, mungkin kita bisa ngobrol di luar jam sekolah. Tapi tolong, jangan ganggu saat saya bekerja.”
Pak Arman langsung merasa lega. “Tentu, Bu Nadia. Saya akan menghormati waktu kerja Anda. Terima kasih sudah memberikan kesempatan.”
Namun, sebelum Bu Nadia bisa menjawab, Pak Arman tiba-tiba bertanya, “Eh, Bu Nadia, bisa enggak kita ketemu di luar? Misalnya untuk kopi atau makan siang? Tidak perlu formal, cuma sekadar ngobrol santai.”
Bu Nadia terdiam sejenak. Rasa penasaran dan sedikit rasa tidak nyaman bercampur aduk dalam pikirannya. “Hmm, saya akan pertimbangkan, Pak Arman. Tapi jangan terlalu berharap dulu.”
Pak Arman tampak sangat senang dengan jawaban itu. “Tentu, Bu Nadia. Terima kasih banyak. Saya tunggu kabar dari Anda.”
Setelah percakapan berakhir, Bu Nadia memutuskan untuk melanjutkan persiapannya untuk pergi ke sekolah. Namun, kali ini, ada sedikit rasa penasaran yang membuatnya merasa lebih tertarik dengan Pak Arman. “Ternyata dia bisa juga berbicara dengan cara yang menyentuh,” pikir Bu Nadia sambil tersenyum tipis.
Dia keluar rumah dengan pikiran campur aduk—antara rasa penasaran dan keinginan untuk menyelesaikan hari dengan baik. Hari ini mungkin akan menjadi hari yang penuh kejutan, terutama dengan kehadiran Pak Arman yang sepertinya semakin serius dan penuh perhatian.
Cerita ini terus berlanjut dengan kejutan baru yang mungkin akan membawa Bu Nadia dan Pak Arman ke arah yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.