Kejadian di toko bunga sore itu menorehkan luka yang dalam di hati Alisa.
Erwin, duda kaya raya yang merupakan pelanggan setianya, tega merenggut mahkota kebanggaannya dengan paksa.
Dendam dan kebencian meliputi Alisa.
Berbeda dengan Erwin, dia justru menyesali perbuatannya.
Berawal dari rasa frustasi karena di vonis mandul oleh dokter. dia khilaf dan ingin membuktikan pada dunia kalau hal itu tidaklah benar.
Sayangnya.. pembuktian itu dia lakukan pada Alisa, gadis belia yang sepantasnya menjadi putrinya.Penyesalannya berubah simpati saat mengetahui Alisa bisa hamil karena perbuatannya. dia meminta Alisa mempertahankan benihnya itu.
Berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan maaf Alisa, ibu dari calon anaknya. Mampukah Erwin mendapatkan maaf dari Alisa? kita ikuti kisah selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Alisa bersedia pulang setelah Erwin memberinya penjelasan.
"Ayolah... Om sudah minta maaf, tapi wajahmu masih saja muram begitu." ledek Erwin saat mereka sudah di dalam mobil.
"Makanya, jangan bergantung orang lain. jangan apa-apa karena perintah si ini, usul si itu. Aku lebih suka Om apa adanya, walaupun tidak romantis tapi tetap jadi diri sendiri."
Ucap Alisa. Tapi suaranya sudah tidak tinggi lagi.
"Iya, Om janji akan lebih baik sesuai harapanmu." ucap Erwin sambil mengelus rambutnya.
"Satu lagi, aku harap Om tidak selalu melibatkan Valery dalam segala hal.."
Erwin tertawa.
"Aku serius.. Jangan di anggap bercanda."
"Alisa, Alisa... Kau mengkhawatirkan sesuatu yang berlebihan. Sekarang sudah ada kau. kenapa hidupku masih di urusi Valery?"
Alisa menarik nafas lega.
"Awas saja kalau Om masih membelanya." ancam Alisa.
"Itu tergantung, kalau memang dia bersalah, kenapa harus di belakang?" jawab Erwin tenang.
Alisa terdiam, ia menyadari tidak mudah menghilangkan pengaruh wanita itu dari hidup Erwin.
"Kita sudah sampai..." Alisa terbangun dari lamunannya. dia menghembuskan nafas. Ink adalah babak baru dia memasuki rumah itu.
Bukan lagi sebagai Alisa si gadis yang terkungkung di sangkar emas, tapi Alisa istri dari Erwin Wijaya seorang pengusaha rel estate yang ternama.
"Sekarang kau harus siap di panggil nyonya di rumah ini."
"Sepertinya aku harus membiasakan diri."
Mereka melangkah masuk dengan bahagia.
Valery yang memang menunggu kedatangan mereka merasa heran
"Mereka terlihat bahagia sekali. Aku muak melihat senyum di wajah Alisa..!" ucapnya geram.
"Valery, kau belum tidur?" sapa Erwin.
"Aku, aku belum bisa tidur.. eeh.. Bagaimana makan malamnya?" jawab Valery gugup.
"Baik, seperti yang kau lihat."
"Dan terima kasih karena Tante membantu mendekatkan kami selama ini. Om Erwin sudah cerita semuanya."
Ucapan Alisa itu membuat Valery menahan nafas.
Dia hanya bisa mengangguk dengan wajah kesal.
"Alisa benar, kami harus berterimakasih padamu. Tanpa bantuan mu, mungkin kami masih dengan ego masing-masing."
"Se-lamat, ya.."
Alisa sengaja menggandeng tangan Erwin di depan Valery.
"kenapa jadi begini? bukankah Alisa benci sekali pada Mas Erwin? Lalau kenapa mereka bisa akur seperti itu?"
Valery merasa heran dan gelisah.
Alisa dan Erwin pergi ke kamar masing-masing. Setelah itu mereka melihat keadaan Langit
"Sudah tidur, sebaiknya jangan di ganggu." bisik Erwin.
Dengan langkah pelan mereka meninggalkan kamar itu.
Erwin menahan tangan Alisa saat dia hendak menuju ke kamarnya.
Alisa menatap tangan itu.
"Alisa, kita sudah sepakat untuk memulai lembaran baru. Kau adalah istriku. Kenapa kita harus tidur di kamar terpisah?"
Alisa menata hatinya.
Sudah siapkah ia untuk satu kamar dengan Erwin? berbagi segalanya dengan pria itu.
"Om, kau benar. Tapi untuk malam ini, biarkan aku tidur disini?"
Erwin terdiam, namun akhirnya mengangguk.
"Lakukanlah apa yang membuatmu nyaman. Kau berhak untuk itu."
Erwin menatap Alisa yang masuk ke kamarnya.
"Maafkan aku Om, bukannya aku menolak, tapi ini terlalu mendadak. Rasanya aku belum percaya dengan apa yang terjadi " batin Alisa.
Valery yang mengintip adegan itu menarik nafas lega.
Ia merasa tidak rela kalau Erwin akan bersama dengan Alisa.
"Malam ini mereka memang tidak bersama, lalu apa yang bisa ku lakukan besok dan besoknya lagi untuk mencegahnya?"
***
Pagi sekali, Valery datang mengantarkan segelas kopi ke kamar Erwin.
"Kau tidak usah repot lagi melakukan ini untuk ku. Biarkan Alisa belajar memahami tanggung jawabnya." ucap Erwin hati-hati. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Valery.
"Aku tau, aku tidak pantas lagi melakukan ini. Mungkin karena kebiasaan saja. Tapi, anggap saja ini perhatian dari seorang sahabat. Ya.. sahabat" jawab Valery sedih.
"Bukan begitu, kau salah paham. Aku hanya ingin Alisa belajar memahami ini semua."
"Kau benar, dia harus belajar mengurus mu dan rumah ini sebagaimana aku dulu." ucap wanita itu sedih.
Ia mengambil kembali kopi yang sudah di taruh nya di meja.
"Eeh, kau mau bawa kemana, karena sudah disini, biarkan aku meminumnya." Erwin mengambil kembali kopi itu dari tangan Valery.
Valery keluar dengan senyuman simpul.
Di depan pintu ia berpapasan dengan Alisa yang membawa secangkir kopi juga.
mereka saling pandang tanpa bicara. Valery langsung berlalu.
Alisa bertanya-tanya apa gerangan yang di lakukan wanita itu sepagi ini di kamar We win.
Alisa melanjutkan langkahnya ke kamar Erwin.
Ia terpaku melihat Erwin sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya sambil sebelah tangannya memegang kopi.
"Om Erwin sudah minum kopi, apakah Valery yang membawakannya?" pikirnya bingung.
"Eeh, Alisa.. Kenapa berdiri disitu? Ayo masuk .!" sapa Erwin sumringah. Tapi senyumnya langsung hilang saat melihat apa yang ada di tangan gadis itu.
"Kau membawakan Om kopi? Rasanya tak percaya." gurau Erwin kagum.
"Bik Parmi yang menyuruh. Tapi ternyata sia-sia saja. Kau sudah punya kopi istimewa..." ucap Alisa kecewa.
Alisa berbalik sambil membawa kembali kopinya.
"Alisa, maafkan, Om. tadi Valery membawakan tanpa di minta. Gak enak kalau di tolak. Mana kopi mu?" Erwin meletakkan kan kopi di tangannya.
"Aku lupa kalau kau sudah terbiasa dengan apapun yang berkaitan dengan Tante Valery. aku yang salah terlalu bersemangat merubah semuanya.." ucap Alisa pelan.
"Alisa.. Jangan di besar-besarkan, ini hanya soal kopi saja. Ok, akan buang kopi ini." Erwin menuang kopi itu ke wastafel.
Alisa tidak perduli, dia terus melangkah keluar.
Hatinya sudah gundah gara-gara kopi, kini matanya terasa perih karena melihat Valery sedang membuatkan susu untuk Langit.
"Sus, kemana? Kenapa dia lalai sampai meninggalkan Langit?" tanyanya gusar.
"Alisa, kenapa marah-marah? Aku yang minta tolong pada suster untuk mengambilkan sesuatu di kamarku." Valery yang menjawab.
"Maaf, Tante, mengurus Langit itu tugas Sus nya."
"Maksudmu aku tidak boleh mendekati Langit, begitu?" Valery mulai tersedu.
"Bukan itu maksudku, aku hanya mengingatkan apa tugas suster nya." jawab Alisa bingung karena tiba-tiba Valery menangis.
"Ada apa ini?" Erwin datang di antara mereka.
"Mas, entah dosa apa yang telah aku lakukan, kenapa Alisa sangat membenciku. Sampai-sampai dia tidak memperbolehkan aku dekat dengan Langit. Padahal aku sangat sayang padanya." ucap Valery mengadu.
Alisa menarik nafas berat.
"Dia salah paham, Om. Aku hanya.."
"Alisa.. Om mengerti. Kau pasti mau yang terbaik buat anak kita. Tapi Valery juga sangat sayang pada Langit. biarkan dia ikut menyayangi Langit." ucap Erwin lembut. Tapi di hati Alisa bagai bongkahan batu yang menghantamnya.
Valery pergi dengan menahan tangisnya.
"Alisa..." Erwin bersih tangan gadis itu tapi Alisa menghempasnya.
Dia tergiur seribu bahasa.
"Alisa.. Om salah apalagi?"
"Om tidak pernah salah.. Aku lah yang salah." Alisa menahan kekecewaannya.
Dia kembali ke kamarnya dan mengunci pintu.
"Ternyata sangat berat menjadi orang yang baik. atau aku harus jadi jahat dulu biar bisa melawan kelicikan Valery? Tapi kalau aku juga jahat, apa bedanya aku sama dia?" Alisa merasa kesal karena Erwin menegurnya.
Sedang Valery sedang bersenang-senang di kamarnya.
Ia sangat puas melihat Alisa ditegur suaminya.
"Ini baru permulaan. Tunggu saja permainanku selanjutnya." ucapnya tertawa.
Alisa, buka pintunya. Ayolah mamanya Langit tidak akan ngambekan seperti ini.." bujuk Erwin.
"Kenapa masih perduli padaku, pergi saja sana..! Urus mantan istri mu, bukankah dia sedang menangis?" jawabnya tanpa membuka pintu.
"Kenapa harus mengurusnya, Om punya istri yang lebih membutuhkan perhatian saat ini."
Alisa masih bertahan sampai ia mendengar suara Langit dan membuatnya luluh.
"Langit.." dia langsung mengambil bocah itu dari gendongan Erwin.
"Lis, kau masih marah?"
"Pikir saja sendiri.." jawabnya ketus.
Erwin menutup pintu.
"Dia sendirian di dunia ini, apa :salah kalau dia ingin memberikan kasih sayang dan perhatiannya pada anak kita?"
Alisa tidak menjawab.
Ia malah sibuk bermain dengan Langit.
"Om minta maaf, dan janji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi tolong jangan diam seperti ini."
"Langit, Pap pergi dulu. Tapi hati papa tidak tenang kalau wajah Mama masih muram seperti ini."
Mendengar itu, Alisa tidak tega melihat wajah suaminya.
Dia menangkap tangan Erwin.
"Jangan ulangi lagi..." nadanya merajuk.
Erwin mengangguk pasti.
"Sekarang Papa bisa pergi dengan tenang..." ucapnya sembari mencium Langit.
Dengan ragu dia menarik wajah Alisa dan mencium keningnya.
Alisa memejamkan mata. Baru sekarang ia merasakan punya keluarga yang seutuhnya.
Tinggalkan jejaknya dong
"