Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08
“Terkunci..?”
“Kok pintunya terkunci?”
Ratna dan Yuli saling pandang.
“Si Inna pergi kemana? Jangan-jangan dia memang sengaja pergi biar gak disuruh-suruh?” Yuli memukul telapak tangannya sendiri dengan kepalan tangan yang lain. Bahkan wanita itu sampai menghentakkan kakinya ke tanah tapi dia berdiri.
“Wahh, kalau memang benar seperti itu, itu sudah keterlaluan namanya. Dia harus dikasih pelajaran.” Ratna ikut geram mendengar kemungkinan yang diucapkan oleh Yuli.
“Terus sekarang kita harus bagaimana? Kita pulang lagi?” tanya Yuli.
“Ya iyalah, Mbak kita pulang. Memangnya Mbak mau nungguin si Inna di sini. Iya kalau dia cepat pulang, kalau tidak bagaimana? Bisa jadi jamur lumut kita di sini.” Ratna mengomel, tidak habis pikir dengan pertanyaan kakak iparnya.
“Mbak tahu kita memang harus pulang. Tapi maksud Mbak itu, kalau kita pulang tanpa Ina, siapa yang akan mengerjakan semuanya nanti? Kamu?” Yuli sewot karena dianggap tidak mengerti. Padahal sebenarnya adik iparnya itulah yang tidak mengerti maksud pembicaraan dia.
“Aku? Oh, no. Bisa rusak kuku-kuku ku yang cantik ini kalau aku mengerjakan pekerjaan dapur.” Ratna memperhatikan kuku-kukunya yang cantik kemudian meniupnya.
Yuli mendengus kesal melihatnya. Wanita dengan dua anak itu merotasikan bola matanya. Dia tahu kalau adik iparnya itu memang selalu memperhatikan penampilan.
Karena beberapa saat lamanya berada di sana dan Ina tidak muncul juga, akhirnya mereka berdua pun kembali pulang ke rumah Bu Rahayu.
***
Sementara itu yang orang yang sedang mereka cari…
“Bibi senang kamu mulai bersikap pintar sekarang. Nah begitu dong jadi orang. Jangan mau hanya ditindas saja. Sudah cukup selama ini mereka mendapatkan pembantu gratisan.”
“Sekarang jangan pernah lagi menuruti apapun perintah mereka. Pikirkan hidupmu sendiri, dan segera pikirkan apa yang akan kamu lakukan setelah ini. Apa kamu hanya akan diam bertahan bersama dengan mereka.”
Di sinilah Inna berada, di rumah bibinya, bersama dengan Andri juga yang dia ajak serta ke sana. Inna memang sudah menduga bahwa jika dia tidak datang ke rumah Ibu mertuanya maka pasti akan ada orang yang datang menjemputnya. Karena itulah dia sengaja pergi.
Terlalu malas jika dia harus beradu mulut dengan mereka. Lebih bermanfaat baginya, jika dia membantu bibinya mengurusi para pekerja di kebun.
Meskipun tinggal di kampung, Bu Hindun, bibinya Inna, bukanlah orang yang tidak mampu. Suami Bu Hindun memiliki kebun yang sangat luas yang untuk penggarapannya memerlukan banyak pekerja.
Bisa dibilang suami Bu Hindun adalah orang terkaya di desa itu, bahkan lebih kaya dari kepala desa. Suami dan anak lelaki Bu Hindun, juga sangat baik terhadap Ina dan Andri selama ini.
Tidak jarang Bu Hindun menawarkan bantuan kepada Ina yang tentu saja sudah atas izin suaminya. Akan tetapi Ina menolak, karena tidak mau merepotkan bibinya.
“Itu tidak akan pernah terjadi, Bi. Sudah cukup pengabdianku selama ini pada mereka. Aku tidak mau diperbudak lagi.” Inna menggeram kesal. Bahkan hingga saat ini, suami yang dia tunggu kata maafnya, tak juga muncul batang hidungnya.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” Bu Hindun mematikan kompor lalu mengambil panci-panci kecil yang akan dia gunakan untuk tempat sayur bagi para pekerja di kebun.
Ina mendesah, nafasnya terasa berat. Sesak menghimpit dada. “Sejujurnya saja aku masih bingung, Bi. Kalau saja ini tentang hidupku sendiri. Tapi ini tentang Andri juga. Kalau aku dan Mas Ranu berpisah lalu bagaimana dengan Andri?”Inilah yang Ina senang jika dia berada di rumah bibinya. Dia memiliki teman untuk berbagi masalah.
“Memangnya kenapa kalau kalian berpisah. Aku rasa itu juga tidak akan terlalu berefek untuk Andri. Toh sejak dulu kalian masih bersama pun dia juga tidak terlalu berperan penting bagi hidup Andri.”
“Meskipun kita tidak tinggal satu kampung, Bibi tidak buta, dan telinga Bibi juga tidak tuli, Ina. Bibi tahu selama ini kamu berjuang sendirian untuk membesarkan Andri. Jadi Bibi rasa kamu tidak membutuhkan laki-laki seperti Ranu.”
Bu Hindun duduk di kursi yang ada di meja dapur. Diperhatikannya Ina yang dengan cekatan bergerak menata nasi, sayur dan lauk ke dalam tas besar. Piring gelas dan botol wedang dimasukkan ke dalam tas terpisah Sebentar lagi akan ada pekerja dari kebun yang mengambil kiriman makanan.
Ina mengangguk mendengar penuturan bibinya. Semua yang baru saja jadi katakan oleh bibinya itu memang benar. Selama ini jarang sekali Ranu memberikan dia uang untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan nyaris tidak pernah.
Ina-lah yang bekerja sendirian. Mengolah kebun kecil di belakang rumah mereka, yang oleh Ina ditanami sayur mayur untuk dijual ke pasar.
Inna juga tidak tahu kenapa suaminya bisa berubah seperti itu. Padahal dulu ketika mereka masih pengantin baru suaminya adalah pria yang sangat rajin bekerja. Tetapi perlahan berubah, semenjak ibunya Ranu sering ikut masuk ke dalam urusan rumah tangga mereka.
“Bu, hape ibu bunyi, nih.” Andri datang dengan membawa ponsel Ina yang masih berdering.
“Siapa yang menelepon, Nak?” Ina bergegas mencuci tangannya di tempat cuci piring kemudian membersihkannya dengan lap kering.
“Ayah, Bu,” jawab Andri seraya mengulurkan ponsel itu ke tangan ibunya.
Ina menerima ponsel itu dan saling pandang dengan bibinya.
“Ya sudah. Sana Andri nonton TV lagi,” perintah Ina pada anaknya. Andri pun mengangguk kemudian pergi dari tempat itu.
“Tidak kamu jawab teleponnya, Na?” Bu Hindun mengernyit heran karena Ina malah meletakkan ponsel itu di atas meja hingga deringnya mati dengan sendirinya.
Ina mengangkat kedua bahunya. “Paling juga mau merepet karena aku nggak datang ke rumah ibunya, Bi.” wanita itu malah kembali sibuk memeriksa segala keperluan makan Yang sebentar lagi akan diambil oleh pekerja kebun.
Bu Hindun menggeleng sambil terkekeh melihat tingkah keponakannya. Dia suka keponakannya tak lagi mau ditindas oleh keluarga Ranu.
“Ini serius HP kamu masih seperti ini, Na? Ini HP zaman kapan?” Hindun mengambil ponsel Inai yang tergeletak di meja kemudian menelitinya. Sedikit tidak percaya keponakannya itu memiliki HP dengan model seperti itu. HP yang entah keluaran tahun berapa.
Mata Ina memicing mendengar ejekan bibinya. “Biar saja jelek yang penting masih bisa dipakai untuk video call.” Ina berpura-pura ketus.
“Kamu mau, Bibi belikan hape?” tanya Bu Hindun.
“Bibi serius bertanya seperti itu? Bibi seperti orang yang tidak mengenalku saja.” Ina mendengus kesal seraya meletakkan satu tangan di pinggang. Lalu kembali dengan pekerjaannya.
“Na, hape mu bunyi lagi nih.” Ponsel yang semula dia letakkan, diambil kembali. “Jenong? Siapa Jenong?” Bu Hindun membaca nama kontak pemanggil.
Ina segera mendekat dan mengambil ponsel dari tangan bibinya. “Oh, Jenong. Dia itu….”
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅