Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Untuk sang istri
Akhir pekan, yang ditunggu-tunggu Maya. Sejak pagi, sudah banyak pengunjung yang datang. Bahkan jumlahnya, lebih banyak dari biasanya. Ada beberapa orang yang datang, menggunakan seragam yang sama.
"Dik, kopinya lima."
Lima orang pria, duduk berhadapan di bangku kayu. Mereka mengipas-ngipas wajah, dengan kertas.
Lima gelas kopi panas mendarat, ditemani sepiring pisang goreng panas.
"Wah, terima kasih banyak. Adik jualan apa?"
"Ada nasi ayam, ikan bakar dan jus buah. Kopi juga ada." Maya menyebutkan satu persatu menu di kedainya.
"Nanti kami mau bekerja disini. Adik, siapin makan yah, nanti kami datang ambil."
"Berapa, Pak?"
"Jumlah pastinya, nanti saja. Kalau bos saya sudah datang. Soalnya, dia pengen kerjanya kelar bulan ini. Jadi, mungkin tukangnya harus banyak."
"Emang, mau buat apa, Pak?"
"Villa, dik. Orang kaya ini, katanya mau buat villa untuk istrinya."
Maya tidak menanggapi. Ia melayani pengunjung lain, yang baru saja tiba.
Maya sibuk mondar-mandir, melayani pengunjung. Ia juga harus menyiapkan pesanan, belum lagi membakar ikan. Ia mengantar pesanan jus yang lebih cepat, sembari menunggu pesanan lainnya siap.
Ikan yang sudah dibumbui, mendarat diatas panggangan. Maya berlari lagi, untuk membuat sambal dan menyiapkan lalapan serta nasi putih. Ia juga sibuk menggoreng ayam.
Maya mengantarkan pesanan nasi ayam goreng lebih dulu. Saat kembali, sudah ada Ansel yang menunggu dengan wajah cemas.
"Masuk, May." Tanpa aba-aba, Ansel menarik tangan Maya untuk masuk dalam kamar. "Jangan keluar, hingga aku minta!"
"Kenapa? Diluar banyak pengunjung, El."
"Zamar ada disini."
Deg. Spontan Maya bersandar di dinding kamar dengan memegangi dadanya.
"Aku akan melayani mereka. Kau tunggu disini!"
Maya hanya menganggukkan kepala. Kenapa? Kenapa dia ada disini? Aku tidak ingin bertemu atau melihatnya lagi. Maya menutup jendela dan menurunkan gorden. Ia meringkuk diatas tempat tidur, dengan hati yang bergejolak.
"Ikan bakarnya." Ansel meletakkan menu pesanan pada rombongan keluarga.
"Pak, kopinya."
Deg. Dua pria yang sangat dikenalnya, duduk dibangku kayu. Salah satunya, pria yang sering muncul di layar TV.
"Baik, Pak."
Ansel bergegas, membuat dua cangkir kopi sesuai takaran. Ia juga menyajikan sepiring pisang goreng, seperti kebiasaan Maya, yang selalu memberikan gratis.
"Silahkan." Ansel memperhatikan Zamar, yang tengah menatap laut. Pria itu, menggunakan baju kaos dan topi hitam.
Ansel berpura-pura, membersihkan meja sebelah, sembari menguping pembicaraan mereka.
"Tuan, para pekerja sudah datang."
"Biarkan mereka mulai."
Dengan cepat, Ansel berpindah tempat agar tidak dicurigai. Ia juga menyapa pengunjung, untuk masuk dalam kedainya.
"Pak. Adik kecil, tadi mana?"
"Oh, itu istri saya. Bapak, perlu apa?"
"Oh, istri kamu. Padahal, seperti masih gadis. Sini ikut saya." Ansel menurut saja. Mereka berjalan menuju tempat Zamar.
"Tuan, ini pemilik kedai. Kami meminta mereka untuk menyiapkan makanan." Ansel menunduk. Untung pakaiannya hari ini, masih tergolong biasa.
"Kamu bisa menyiapkan makanan untuk pekerja?Kurang lebih, selama dua bulan. Mereka berjumlah tiga puluh orang. Makannya, dua kali sehari."
"Bisa, Pak."
"Baguslah. Pembayarannya, silahkan berhubungan dengan sekretaris saya."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Zamar langsung pergi, bahkan belum menghabiskan kopinya. Kini tinggalah Ansel, bersama pria kaku dihadapannya.
"Anda bekerja disini?" Huan bertanya dengan selidik.
"Benar, Tuan."
"Anda dokter Ansel, bukan?"
Sialan! umpat Ansel. Kenapa mata sekretaris ini sangat jeli?
"Ini kedai saya, Pak. Sebagai sampingan."
"Oh. Berikan nomor rekeningnya, saya akan transfer untuk bulan pertama."
"Baik, baik, sebentar." Ansel mengeluarkan ponselnya.
"Sudah, yah?"
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Mulai besok, mereka sudah bekerja. Tapi, Anda sendirian? Apa tidak punya karyawan?"
"Ada, Pak. Mana mungkin, saya sendirian. Mereka sedang sibuk didalam."
Huan, tidak menanggapi. Dia langsung pergi, setelah transaksi selesai.
Ansel mengangkat gelas-gelas kopi, lalu membersihkan meja. Ujung matanya, masih memperhatikan Zamar, yang jaraknya tidak jauh. Dia juga penasaran, sedang apa pria itu disini? Ia memanggil pekerja, untuk apa?
"Mas, mau bayar!" pengunjung tadi memanggil.
Pengunjung mulai berkurang, Ansel yang dilanda penasaran sudah tidak fokus. Ia memilih untuk mendekati pekerja, yang datang membeli air mineral.
"Orang kaya itu, mau buat apa, Pak?"
"Villa. Katanya, untuk sang istri."
"Oh, lokasinya jauh, Pak?"
"Deket, kok. Tuh sana, lihat, kan?" tunjuk si Bapak. "Katanya sih, si bos membeli semua kawasan pantai. Tapi, katanya tidak akan mengusir pedagang disini."
"Oh." Hanya itu, jawaban Ansel.
Menjelang siang, matahari semakin terik, namun pantai semakin ramai pengunjung. Ansel mulai kewalahan, hingga mau tak mau, ia harus memanggil bantuan.
Pelayan yang bekerja dirumah sang ibu, kini berpindah tempat. Mereka dipanggil, pagi tadi dan baru saja tiba.
"Kita mau buat apa, disini Tuan?"
"Bantu aku!"
Ansel memberi petunjuk yang harus mereka lakukan. Hingga mereka, membagi tugas. Pelayan pria bertugas, membakar ikan dan melayani pengunjung. Para wanita, berada di dapur untuk memasak dan menyiapkan makanan.
"El," Maya tanpa sadar memeluk Ansel.
"Makanlah, ini sudah siang."
"Mana Zamar?"
"May," Ansel menarik tangan Maya untuk duduk. "Sebaiknya, kau pindah. Zamar bisa menemukanmu kapan saja. Dia sedang membangun villa untuk istrinya."
"Villa?" Maya terbata. Ia menunduk, menghindari tatapan Ansel. "Aku tidak bisa pergi. Bagaimana dengan usahaku disini?"
"Aku baru bekerja sama dengan mereka. Dalam dua bulan, kau harus menyiapkan makanan, untuk para pekerja. May." Ansel menyentuh bahu Maya, meminta mata indah itu menatapnya. "Aku akan mencari karyawan, untuk membantu. Tapi, biar bagaimana pun, kau tidak bisa menghindar selamanya."
"Aku harus bagaimana, El?"
"Pilihlah, May. Pindah atau menghadapinya! Usahamu akan tetap berjalan, kau hanya perlu datang untuk memeriksanya."
"Tapi, _"
"Apa kau siap bertemu dan menghadapinya?" Tatapan Ansel, menuntut jawaban tegas dari Maya.
"Lalu, aku harus kemana?"
"Seperti yang aku bilang. Kau bisa membuka usaha di kota, tanpa harus melayani sendiri pelangganmu. Aku akan membantumu. Kau bisa bekerja dibalik meja."
"Aku_"
"Pikirkanlah, May. Kau sudah terlanjur menghilang, maka biarlah, tetap seperti itu. Aku akan memberimu waktu sampai malam."
Ansel keluar, setelah meletakkan makanan diatas tempat tidur. Entah mengapa, kedatangan Zamar, juga membuatnya tidak tenang. Ia terusik, seperti Zamar akan merebut sesuatu yang menjadi miliknya.
"Tuan muda. Nyonya besar, bisa mencari kami." Kepala pelayan, kini mulai kalang kabut.
"Paman, apa kalian punya keluarga atau teman yang ingin bekerja?"
"Punya. Banyak malah."
"Panggil mereka besok, untuk menemuiku. Ingat ini rahasia. Jangan membicarakannya didepan ibu dan adikku."
"Baik, Tuan muda. Tapi, kapan kami bisa pulang?"
"Sore nanti."
Ansel semakin sibuk, ponselnya terus berdering tanpa henti.
"Kau sudah menemukan tempat yang cocok?"
"Sudah, tuan muda. Kami baru saja memeriksanya."
"Baik, lakukan pembelian. Dan siapkan, apartemenku malam ini. Panggil pelayan untuk membersihkan dan juga isi kulkas dengan bahan makanan."
"Anda mau pindah rumah?"
"Jangan banyak, tanya. Lakukan saja!"
"Baik, tuan muda."
🍋 Bersambung.