Di dunia di mana kekuatan adalah segalanya, Liu Han hanyalah remaja 14 tahun yang dianggap aib keluarganya. Terlahir dengan bakat yang biasa-biasa saja, dia hidup dalam bayang-bayang kesuksesan para sepupunya di kediaman megah keluarga Liu. Tanpa ayah yang telah terbunuh dan ibu yang terbaring koma, Liu Han harus bertahan dari cacian dan hinaan setiap hari.
Namun takdir berkata lain ketika dia terjebak di dalam gua misterius. Di sana, sebuah buku emas kuno menjanjikan kekuatan yang bahkan melampaui para immortal—peninggalan dari kultivator legendaris yang telah menghilang ratusan ribu tahun lalu. Buku yang sama juga menyimpan rahasia tentang dunia yang jauh lebih luas dan berbahaya dari yang pernah dia bayangkan.
Terusir dari kediamannya sendiri, Liu Han memulai petualangannya. Di tengah perjalanannya menguasai seni bela diri dan kultivasi, dia akan bertemu dengan sahabat yang setia dan musuh yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia yang Kejam
Dunia Xuanyuan adalah tempat di mana kekuatan menjadi segalanya. Di sini, hukum rimba berlaku: yang kuat menjadi penguasa, sementara yang lemah hanya bisa tunduk.
Dunia ini terbagi menjadi lima benua besar—Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah—masing-masing memiliki karakteristik dan kekuatannya sendiri.
Di Benua Selatan, tanah penuh konflik, dinasti Wei memerintah dengan cengkeraman rapuh. Kekuasaan mereka bertahan hanya karena dukungan dari sekte-sekte besar yang menguasai sebagian besar wilayahnya.
Kota Fangchi, tempat Liu Han dilahirkan dan tumbuh, hanyalah salah satu kota kecil yang tak berarti dibandingkan dengan pusat-pusat kekuatan yang lebih besar.
Seni bela diri atau kultivasi adalah inti dari kehidupan di dunia ini. Seseorang yang mampu menembus ranah yang lebih tinggi tidak hanya memperoleh kekuatan fisik, tetapi juga kehormatan, kekayaan, dan pengaruh.
Namun, jalan menuju puncak kultivasi dipenuhi bahaya, tantangan, dan pengorbanan.
Bagi Liu Han, yang kini diusir dari rumah keluarganya, dunia ini terasa lebih keras dari sebelumnya.
Gagal dalam ujian Sekte Awan Merah telah mempermalukan nama keluarga Liu, dan sebagai balasannya, dia kehilangan satu-satunya tempat tinggal yang dia miliki.
...----------------...
Dengan tas kecil berisi bekal seadanya, Liu Han kini berdiri di puncak bukit kecil di luar kota Fangchi. Pandangannya terarah pada jalan setapak yang membentang menuju utara, menuju kota Qinjie. Di kota itu, ibunya, Guan Yuhua, terbaring koma di kediaman keluarga Guan.
"Sudah empat tahun sejak aku terakhir melihat Ibu…" gumam Liu Han, matanya berkabut. "Aku harus menemuinya."
Namun, perjalanan menuju Qinjie bukanlah perjalanan yang mudah. Kota itu terletak ratusan li dari Fangchi, melintasi hutan liar, desa-desa kecil, dan tanah tak bertuan yang dipenuhi bahaya.
Liu Han tahu bahwa dia bukan siapa-siapa—lemah, tak berpengalaman, dan tanpa sekutu. Namun, tekadnya sudah bulat.
Langkah-langkah kecilnya membawa dia masuk ke dalam hutan yang membentang luas di luar Fangchi. Hutan itu dikenal sebagai Hutan Musim Gugur, tempat hewan liar dan bandit sering berkeliaran.
Matahari pagi masih terasa hangat di punggungnya, memberi sedikit rasa nyaman di tengah dinginnya embun.
Namun, setelah beberapa jam berjalan, suasana di dalam hutan berubah. Dahan-dahan pohon yang tinggi menciptakan bayangan gelap, dan suara binatang kecil yang sebelumnya mengiringi langkahnya kini hilang.
Liu Han mulai merasa gelisah. Dia menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. Tidak ada apa-apa. Namun, dia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa seseorang—atau sesuatu—sedang mengamatinya.
"Kau harus tenang," gumamnya kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dari semak belukar di depan, seekor serigala besar melompat keluar. Bulu kelabu binatang itu berdiri tegak, dan matanya yang tajam berkilauan dengan kelaparan. Giginya yang runcing terlihat jelas saat binatang itu menggeram pelan, memperingatkan Liu Han.
Serigala itu jauh lebih besar dari yang pernah Liu Han bayangkan, dengan otot-otot kekar yang tampak jelas di bawah bulu kusamnya. Liu Han menelan ludah, lalu mengangkat pedang kayunya dengan tangan gemetar.
"Aku… aku tidak boleh kalah," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Serigala itu merunduk, bersiap untuk menyerang. Liu Han mundur selangkah, mencoba mencari celah untuk melarikan diri, tetapi langkahnya terhenti ketika dia menyadari semak di belakangnya bergerak.
Dari sana, muncul seekor serigala lain—lebih kecil dari yang pertama, tetapi sama berbahayanya.
Liu Han terkepung.
"Aku harus bertahan…"
Serigala pertama melompat ke arahnya, taringnya mengarah langsung ke lehernya.
Dengan refleks yang hampir kacau, Liu Han mengayunkan pedang kayunya ke arah kepala serigala. Benturan keras terdengar, membuat pedangnya terpental dan tangannya mati rasa. Namun, serigala itu terpukul mundur, meski hanya untuk sesaat.
Tubuhnya gemetar, tapi matanya mulai menyala dengan tekad. Meski lemah, Liu Han tidak mau menyerah begitu saja. Ia menatap kedua serigala itu, mencoba memikirkan cara bertahan hidup di tengah situasi yang hampir mustahil ini.
Serigala yang lebih besar menggeram, memamerkan gigi tajamnya, sementara yang lebih kecil bergerak perlahan ke samping, mencoba mengepung Liu Han.
Keringat dingin bercucuran di pelipisnya, dan otaknya bekerja keras mencari jalan keluar. Pedang kayu di tangannya terasa ringan, tetapi kelemahannya sendiri membuat senjata itu seperti tak berguna.
“Aku tidak akan mati di sini,” gumamnya, menggenggam pedang kayu lebih erat.
Serigala besar tiba-tiba melompat. Alih-alih menangkis, Liu Han menghindar ke samping dengan gerakan cepat, lalu berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Daun-daun kering beterbangan di bawah kakinya, dan suara langkah serigala yang mengejarnya membuat jantungnya berpacu semakin cepat.
Ranting-ranting pohon dan semak-semak berduri menggores wajah dan lengannya, tetapi Liu Han tidak peduli. Dia hanya memiliki satu tujuan: bertahan hidup.
Suara geraman serigala semakin dekat, membuat napas Liu Han semakin berat. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu di depan—seberkas cahaya dari celah pepohonan.
Langkah Liu Han terhenti di tepi tebing curam. Angin siang yang hangat bertiup, membuat dedaunan di sekitar bergoyang pelan. Namun, jurang di bawahnya sama sekali tidak terlihat ramah.
Jauh di bawah sana, dia bisa mendengar gemuruh samar air yang mengalir, tetapi dia tidak tahu seberapa dalam dan seberapa aman dasar jurang itu.
Liu Han menoleh ke belakang. Kedua serigala masih mengintainya, bergerak perlahan, mata mereka penuh keganasan dan rasa lapar. Napas Liu Han memburu, tetapi pikirannya mulai jernih.
Dia tahu dia hanya punya dua pilihan: mati dimakan serigala atau mengambil risiko melompat.
"Aku tidak punya pilihan," gumamnya lirih, menggenggam pedang kayunya yang sudah retak.
Ketika serigala besar melangkah lebih dekat, Liu Han memutuskan. Dengan satu tarikan napas dalam, dia melangkah mundur ke tepi tebing dan melompat.
Angin menerpa tubuhnya, kencang dan dingin, membuat pakaian lusuhnya berkibar. Waktu seolah melambat saat dia jatuh, dan pandangannya terisi oleh dedaunan yang semakin menjauh ke atas.
Tubuhnya menghantam udara kosong hingga akhirnya—
Byurrr!
Tubuhnya menghantam air sungai dengan keras. Rasa dingin yang menusuk langsung menyelimuti seluruh tubuhnya, dan nyeri luar biasa menjalar dari lengan dan kakinya. Dia terombang-ambing di dalam air yang deras, tetapi rasa sakit itu menyadarkannya bahwa dia masih hidup.
Dengan susah payah, Liu Han berenang ke tepi sungai. Setiap gerakan terasa seperti penderitaan baru. Ketika dia akhirnya mencapai tepian, tubuhnya ambruk di atas batu-batu kecil yang licin. Napasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya terasa remuk.
Dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Rasa nyeri tajam membuatnya meringis. Tulang di lengan kirinya terasa tidak normal, dan pergelangan kaki kanannya bengkak parah. Meskipun begitu, tidak ada luka yang fatal.
"Aku… selamat," gumamnya lemah, meski rasa sakit membuat suaranya bergetar.
Matahari siang memancarkan sinarnya, menerangi dasar jurang yang dipenuhi dengan pepohonan besar dan semak-semak liar. Tidak ada siapa pun di sekitar. Suara gemuruh air sungai adalah satu-satunya yang menemani Liu Han, mengingatkannya betapa terpencil tempat ini.
Dia memeriksa tas kecilnya yang masih tergantung di punggung. Sebagian besar isinya basah, tetapi setidaknya ada sedikit makanan kering yang masih bisa dimakan. Pedang kayunya, meski retak, masih ada di dekatnya.
"Aku harus bertahan," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun setiap kata terasa seperti beban tambahan.
Liu Han memaksakan tubuhnya untuk duduk bersandar pada batu besar di tepi sungai. Dia perlu waktu untuk memulihkan tenaga, meski dia tahu dengan tulang yang patah, dia tidak akan bisa bergerak jauh tanpa rasa sakit yang luar biasa.
Saat dia menatap sungai yang mengalir deras di depannya, pikirannya mulai merenung. "Apakah aku akan mati di sini? Atau… ini hanya awal dari perjalanan yang lebih besar?"
Bersambung...
lanjut lg dong thor!