Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Sanubari ini percaya kita pernah bersama, tapi tabir Semesta menutup memori tentang itu.—...
...꒰•̫͡•ོ꒱...
Puri menggeleng dengan tangisan terputus-putus. Rasanya ini terlalu aneh, bahkan dia takut menghampiri pacarnya yang jelas-jelas tadi kehilangan denyut kehidupan.
"I-tu bukan Lingga," lirih Puri yang didengar jelas oleh Dikta dan Saila.
Jujur, kaki Dikta pun gamang untuk melangkah lebih maju. Namun, jika itu bukan Lingga, lalu siapa? Itu benar-benar wujud seorang Lingga! Kuasa apa yang sudah terjadi pada tubuh sahabatnya itu?
Saila berbisik pada Dikta, "Dikta ..., coba beri dia beberapa pertanyaan untuk memastikan kalau itu memang Lingga."
Dikta mengangguk dengan napas empot-empotan. Dia berjalan paling depan mendahului Saila dan Puri yang takut-takut.
Raut Lingga yang semula terharu, malah berubah tegang ketika melihat Dikta melotot padanya.
"HOY!!!" kejut Dikta menunjuk Lingga dari kejauhan.
"A-apa, Hoy?!" kaget Lingga yang menyembunyikan mukanya menggunakan bantal rumah sakit.
"Siapa lo?!" todong Dikta dengan kedua tangan ingin membogem, "Berani-beraninya lo nyamar jadi sahabat gue!!!"
"Gue Lingga Jorell, Anjir!" jawab Lingga ngeri, "Mau apa? Matahin tangan gue lagi?!"
"Siapa nama lengkap pacar lo?!" tanya Dikta nanar.
"Puri Radea!" jawab Lingga dengan sedikit kekehan tidak kuasa, "Gue nggak amnesia, Tulul!"
Air mata Puri makin bercucuran sampai ingusnya terasa penuh.
"Siapa nama nenek gue?!" todong Dikta lagi.
"Lily Gardenia! Gue nggak mungkin lupain nenek gue!" terang Lingga membusungkan dada.
"Nenek gue itu, Oy!" protes Dikta tidak mau neneknya dibagi.
"Aishhh! Gue udah rindu banget pokoknya sama nenek!" ungkap Lingga dari hati terdalam.
Semuanya mendadak senyap. Pikiran masing-masing terasa dipenuhi kekalutan dan kemustahilan. Hampir setengah jam mereka berempat diam berjauh-jauhan dalam satu ruangan itu. Bungkam disertai air mata, berpikir untuk mencari pencerahan. Namun, tak ditemukan jawaban apa yang membuat keadaan tubuh Lingga berubah drastis.
Akhirnya, Dikta memberi satu pertanyaan lagi. "Siapa nama pacar gue?!" tes Dikta sembari berkacak pinggang.
"Lo jomlo, Anying!" jawab Lingga dengan muka lempem, "Eh, tapi lo punya pacar fiksi dari buku abang lo, namanya Lavina Hafa. Terus ... di dunia nyata ini, lo surat-suratan sama Nona Ikan Guppy yang misterius. Puas!!! Otak gue masih utuh dengan kecerdasan yang sama!"
Dikta berjalan cepat menghampiri Lingga, segera ia mendekap erat tubuh sahabatnya itu. Kemudian, ia terisak penuh syukur, "Maafin gue! Jangan tinggalin gue, Ga. Sakit karena ditinggal bang Dirham pun nggak bisa sembuh sampai sekarang. Kalau mau ditambah elo juga, gue bisa gila beneran. Gue mau gila bareng lo, nggak mau sendirian."
Saila mengipas-ngipas matanya yang panas karena air mata yang membeludak keluar. Seberapa pun dia menolak tangis, tetap saja pecah pertahanannya. Dia sesenggukan melihat Dikta dan Lingga menangis berdua penuh sesal. Juga ..., Saila amat bahagia karena Lingga tidak ada cacat cela usai semua kengerian yang mereka lalui.
Namun, terlalu banyak hal janggal. Bagaimana bisa orang yang sudah sekarat, tiba-tiba terlihat sehat tanpa keluhan sakit sedikit pun?
Lingga memeluk erat Dikta sembari menepuk-nepuk pelan punggung lebar itu. "Gue yang minta maaf banget sama lo, Ta. Gue udah ngejauhin lo, mikirin ego gue sendiri karena gue takut. Tentang buku bang Dirham-"
"Kita baikan," potong Dikta.
Lingga mengangguk, ingin menyudahi pertengkaran mereka. "Ta, gue ... beneran masih hidup, ya? Apa kalian datang untuk berbicara dengan roh gue?!"
"Daripada kita stres mikirinnya, kita anggep semua kesembuhan lo ini do'a dari mama lo," kata Dikta berusaha menemukan alasan agar mereka tenang. "Dokter di sini juga pada sibuk banget walau sempet gempar gara-gara lo. Tapi ... mamanya Saila ngelakuin yang terbaik biar lo nyaman."
Lingga memegangi hampir seluruh bagian tubuhnya, tidak ada sakit yang tersisa sebesar satu butir zarah pun.
Dikta dengan sigap langsung memeriksa keadaan tubuh Lingga. "Buka baju lo, Ga!"
Lingga masih heran dengan keadaan dirinya sendiri. Luka di tubuhnya bagai sirna.
"Gimana bisa???" tanya Dikta tak kuasa melihat Lingga tanpa goresan luka basah, bahkan cedera di tangan Lingga pun ikut sembuh.
Masih dengan kebingungan Lingga mengungkapkan, "Gue juga bingung, Ta. Seingat gue, udah di ambang akhir. Tapi gue merasakan angin segar menjalar dari kepala sampai ke ujung kaki. Setelah itu, ada yang menggelitik telapak kaki gue sampai gue kaget kebangun! Tahu-tahu gue lihat ruangan udah dipenuhi dokter dan perawat yang pucet nyaksi'in gue duduk linglung."
Saila menghadap ke arah Lingga, lalu berlutut di lantai.
"Saila!" kaget Dikta melihat tingkah gadis itu.
"Lingga," ucap Saila terisak dan memohon dengan sungguh-sungguh, "Tolong, maafkan Arjuna. Kamu bisa ngehukum aku aja atas perbuatannya."
"Berdiri," pinta Lingga tak habis pikir. "Yang berbuat Arjuna, kenapa yang nanggungnya harus lo, Saila?"
Dikta membimbing Saila untuk berdiri kembali.
Saila tetap bersikukuh pada keinginannya. "Tolong jangan beri tahu mamaku tentang perbuatan Arjuna ini. Bisa-bisa nanti Arjuna kehilangan kepercayaan mamaku," mohon Saila sekali lagi.
"Hubungan lo sama Arjuna itu sebenarnya apa, sih?" tanya Lingga heran, "Gue nggak akan bisa maafin dia."
Saila terlihat kesulitan menjawab.
Puri berdecak tak terima pada keinginan Saila, "Terus, Arjuna terima beres aja usai bikin Lingga hampir mati?! Kalau memang lo yang mau gantiin Arjuna, sini lo!" Puri menghampiri Saila, lalu menepuk-nepuk lengan dan punggung Saila dengan geram.
"Pur-ikan, udah!" cegah Dikta yang menghadang sehingga Saila bersembunyi di belakang punggungnya.
Karena kesal melihat Dikta melindungi Saila, Puri dengan gemas mencubit puting kiri Dikta kuat-kuat.
"AAAK! Pur-ikan!" teriak Dikta ngilu, "Kenapa nyubit susu gue?! P-perih, hoooy!"
"HUAHAHAH!" tawa Lingga berguling-guling di bed menyaksikan itu.
Giliran Saila yang maju ke depan untuk melindungi Dikta, "Puri! Jangan sakiti susu Dikta!"
"BUAHAHA! SUSU DIKTA!!!" ledak Lingga sesak napas mendengar ucapan nada polos Saila.
Puri makin berapi-api karena Saila. "Apa lo, Guppy?! Gue cubit juga punya lo!!!" ancam Puri mendengus.
"Punya kamu yang aku cubit!" balas Saila menowel dada kiri Puri tanpa ragu.
"AAAAA!!!" pekik Puri merasa mati di tempat.
Dikta spontan menoleh ke arah lain dengan muka pura-pura tidak melihat kejadian barusan, tapi tak mampu menahan ledak tawa, "Pfffttt! Hahahah!"
"Aaaaak!" teriak Puri masih syok bercampur malu. Dia refleks menutupi bagian dadanya menggunakan silangan kedua lengannya. "HUAAA! SAILA MESUM!!!" rengek Puri merasa ternodai.
"HAUAHAHAH!" tawa Lingga tak berhenti akibat menonton kerusuhan pacarnya terhadap Saila.
"Woy, Saila! Bisa-bisanya lo nyentuh aset berharga Puri buat masa depan gue!" sebal Lingga, lalu tertawa dengan muka bersemu.
Lantas, Puri memicing geram ke arah Lingga. "Lingga setaaan!!! Mati aja lagi, sini!" teriak Puri menangis sembari menggebuk-gebukkan tangannya ke badan Lingga.
"Aduh! Aduh, ampun!" mohon Lingga melindungi diri dengan bantal. "Apa gue nggak boleh ketawa setelah melewati dunia hidup dan mati?!"
"Mana susu lo?!" paksa Puri ingin mencubit dada Lingga.
"Aaaa! Nggak mau!!!" hindar Lingga menutupi kedua dadanya. "Puri, jangan cubit! Nanti ...."
"NANTI APA?!" amuk Puri.
"Nanti bengkak kayak punya lo," jawab Lingga dengan semringah.
"LINGGAAA, PLEASE! MATI AJA!!! MEONG SIMSALABIM!!!" teriak Puri dengan tangan yang refleks menabok muka Lingga.
"HUAHAHAHAHHA!!!" Gantian Dikta dan Saila yang menjadi tukang tawa.
Tiba-tiba sosok dokter wanita yang berkelas itu kembali hadir di antara mereka, dialah mamanya Saila. Tangannya memegang pack plastik berisi seragam Lingga yang kotor. Dia pun meletakkannya di atas bufet tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Mama!!!" sambut Saila manja dan memeluk mamanya, sekaligus memperkenalkan lebih dekat tentang sosok mamanya kepada Dikta, Lingga, dan Puri.
Semuanya langsung menjaga sikap untuk menghormati kehadiran mamanya Saila yang begitu keren dengan jas putih identitas dokter tersebut. Mereka tadi memang sempat berpapasan dengan mamanya Saila, tapi tidak terlalu fokus memandang satu sama lain.
Denyut jantung Dikta mendadak tidak normal. Bukan karena gugup berlebihan bertemu mamanya Saila, melainkan ada rasa yang begitu dalam ketika menatap netra wanita itu seolah sudah kenal lama. Sesak napas Dikta sampai fokusnya menangkap tulisan nama pada bros yang disematkan mama Saila di dada kanan, yaitu bertuliskan Nyla Puspa.
Lingga yang semula tenang, malah kesulitan bernapas saat menatap mata Dikta yang berair, seolah Lingga mendapatkan sebuah sinyal yang sama seperti Dikta.
Nyla Puspa? batin Lingga gemetaran mengenai nama itu.
Nyla—mamanya Saila—pun tak sadar jika netranya basah dan mendadak pedih saat melihat sosok Dikta.
"Ma-ma ...," lirih Dikta tergerak sendiri mengucapkan kata itu.
Nyla tak lepas memandangi paras Dikta sejak tadi, seperti ada tali yang mengaitkan kontak batin. Namun, rasanya belum pernah sekali pun Nyla bertemu sosok anak manis di hadapannya ini.
Dikta tak begitu tegar kali ini. Dia menoleh ke arah lain untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba jatuh sendiri. Ia membatin,
Kenapa aku? Mamanya Saila membuat dadaku sesak menikam kayak gini. Dan nama itu Nyla Puspa, sama seperti nama mamanya Lavina di buku Bukan Malaikat Hujan! Ah—nggak, ini kebetulan, cuma kebetulan namanya sama. Efek buku bang Dirham terlalu kuat!
"Mama???" panggil Saila menyadarkan lamunan. Saila pun tertegun melihat bulir kecil di ujung kelopak mata sang mama. "Mama 'kok nangis melihat Dikta?"
Bersambung ... 👑