“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi untuk selamanya?
“Ante ... Ante agan egi ... agan egi ... Ante,” teriak Ezra dalam tangisannya. Ita dan Bik Murni yang ada di dalam kamar Ezra dibuat tak karuan, karena tangisan Ezra semakin kencang dan tak bisa ditenangi.
“Bik, gimana ini ... kasihan Ezra,” ucap Ita tampak bingung dan masih berjuang menenangi anak majikannya.
“Mending kita bawa Ezra ke bawah dulu ke kamar Non Jihan, sebelum Bibi telepon Bapak,” ajak Bik Murni, dia mengusap punggung Ezra yang ada dalam gendongan Ita.
“Ante ... Ante agan egi!” teriak Ezra, wajahnya sudah sangat memerah, kedua bahunya pun sudah naik turun, pandangannya pun mengarah ke pintu kamarnya seperti melihat Jihan.
“Ya Allah, jangan-jangan apakah ini pertanda buruk yang sedang menimpa Non Jihan,” gumam Bik Murni, langsung ke pikiran ke arah ke sana.
“Bik Murni, ayo jadi ke bawah gak?” tanya Ita melihat Bik Murni malah melamun.
“Eh ... iya ayo,” jawab Bik Murni, lamunannya buyar kemudian mereka pun ke bawah, dan ke kamar Jihan, Bik Murni langsung mencari pakaian bekas pakai Jihan untuk dikenakan pada Ezra.
“Nak ganteng, jangan menangis lagi ya,” bujuk Bik Murni, kini dia yang menimang Ezra.
“Agan egi Ante ...,” Ezra sesegukan, tangannya memegang lengan baju Jihan, kemudian diendusnya.
Malam ini, malam yang berat untuk Ita dan Bik Murni, sempat Ezra berhenti menangis namun tak lama kembali menangis, sementara Bik Murni belum berhasil menelepon Fathi dan Papa Gibran.
“Ya Allah jangan sampai terjadi hal yang buruk dengan Non Jihan, kasihan Ezra ... masa harus kehilangan orang yang menyayanginya,” gumam Bik Murni sembari menatap pilu pada Ezra
...----------------...
Detak jantung Jihan sudah segaris __
Papa Gibran melepaskan cengkeramannya pada kemeja putranya, lalu Fathi berlarian menarik alat defibrillator yang biasa disebut DC shock, alat untuk memberikan kejutan listrik dengan tujuan mengembalikan irama jantung agar menjadi normal kembali pada pasien yang mengalami gagal jantung.
Sementara Papa Gibran berlarian keluar ruang observasi memanggil perawat untuk membawakan obat-obat khusus dalam keadaan darurat lalu kembali masuk ke dalam di susul oleh beberapa perawat.
Mama Erina merapatkan tubuhnya ke dinding, tubuhnya limbung dan akhirnya melorot ke bawah. “Ya Allah, haruskah aku kehilangan menantu kembali,” gumam Mama Erina dengan berlinang air mata.
Kedua tangan Fathi untuk pertama kalinya menangani pasien terlihat gemetaran, bayangan saat Embun istri sebelumnya meninggal muncul di pelupuk netranya. “Tidak ... tidak jangan pergi Jihan,” ucap Fathi pelan, lalu dia melakukan tindakan CPR terlebih dahulu.
Berulang kali Fathi melakukan CPR pada Jihan, berjuang dengan rasa yang amat terpukul. “Ayo Jihan ... bangunlah! Jangan pergi dulu Jihan!” seru Fathi, netra agak basah.
Melihat sudah ada perawat yang masuk, Fathi langsung memberikan perintahnya dengan wajahnya yang samar-samar di penuhi rasa ketakutan dan kecemasan yang begitu tinggi.
“Berikan epineftri satu mililiter, siapkan defibrillator,” perintah Fathi, dan para perawat bergerak cepat. Papa Gibran nampak menyiapkan alat pacu jantung tersebut.
“Saya akan mengejutkannya, isi hingga 150 joule.” Fathi kembali memerintah, lalu menerima dua alat kejut dari tangan papanya.
“Bismillah,” ucap Fathi, dia langsung menempelkan alat kejut ke dada Jihan, dan tubuh gadis itu tersentak ke atas. Namun, belum ada hasilnya.
“150 joule lagi!” seru Fathi, masih berjuang melawan kondisi gagal jantung yang dialami oleh Jihan. Papa Gibran menekan tombol mesin alat pacu jantungnya, dan Fathi kembali menempelkannya ke dada Jihan. “Ayo Jihan kembalilah, ingat ada Ezra yang menantimu di rumah!” seru Fathi.
Tubuh Jihan kembali terangkat karena alat kejut tersebut, namun belum ada tanda-tanda detak jantung Jihan kembali. Air mata Fathi pun terjatuh dari ujung ekor netranya.
“Kesempatan sekali lagi, Fathi,” ucap Papa Gibran, mengingatkannya sembari menarik napas beratnya.
Fathi menggenggam erat alat kejut yang ada ditangannya, hatinya seperti dihantam oleh batu yang begitu besar, sungguh luar biasa sakitnya.
“Isi 200 joule, Pah,” pinta Fathi tanpa melihat wajah papanya, lantas pria tua itu menuruti permintaan Fathi.
“Baiklah Jihan, kalau memang ingin menyusul kakak kamu silakan saja, tapi jangan salahkan aku jika Ezra akan mendapatkan ibu tiri yang tidak menyayangi seperti dirimu, kamu tega meninggalkan Ezra! gumam Fathi begitu lirih dan agak putus asa sebelum dia kembali menempelkan alat kejutnya.
Tubuh Jihan kembali tersentak ke atas saat Fathi kembali menempelkan alat kejutnya, dan air mata Fathi semakin deras, namun pria itu langsung menutup netranya agar tak terlihat oleh perawatnya, kali ini hatinya remuk dan hancur sehancur-hancurnya setelah mendengar suara monitor detak jantung masih sama, masih tak berdetak. Semua sudah dia lakukan yang terbaik, tapi rupanya istri barunya enggan untuk kembali ke dunia.
Kedua alat kejut tersebut terlepas lah dari kedua tangan Fathi, untung saja perawat segera menangkapnya jadi tidak sampai terjatuh ke lantai. Lalu, tangan pria itu bertopang pada tepi ranjang, dan akhirnya tubuh pria dewasa itu ambruk di lantai.
“Aku menyesal ... aku benar-benar menyesal! Kenapa dia harus ikut pergi juga. Iya ... Aku sangat jahat! Tapi tidak menginginkan dia mati ... argh!” teriak Fathi begitu kencang dan meraung, tangisannya pun pecah, kepalanya pun menghantam tepi ranjang berkali-kali, tak peduli semakin lama ada luka darah di keningnya.
“Kenapa Jihan! Kenapa kamu benar-benar pergi!” teriak Fathi begitu memilukan dan sangat menyayat hati. Para perawat yang berada di sana ikutan bingung sekaligus sedih melihat atasannya.
Bukan hanya Fathi yang sangat terpukul, Papa Gibran dan Mama Erina juga sangat terpukul dan sangat menyesal atas tindakannya yang sudah memaksakan kehendak mereka agar Jihan mau menikah dengan putranya demi cucu mereka. Bukan kebahagiaan yang mereka berikan untuk Jihan, tapi kematian yang merekar berikan untuk Jihan. Mama Erina menangis histeris melihat kenyataan yang ada di depan netranya sendiri, Jihan telah pergi untuk selamanya.
“Ya Allah Jihan, maafkan Mama,” gumam Mama Erina dalam tangisannya.
Jihan tersenyum lalu menatap ke semua arah yang ada di dalam ruang observasi, netranya yang agak buram semakin jelas saat ada cahaya yang sangat menyilaukan pandangannya, dan tampaklah sosok yang sangat dia kenal.
“Kak Embun!”
Bersambung ... ✍🏻