Haura, seorang gadis pengantar bunga yang harus kehilangan kesuciannya dalam sebuah pesta dansa bertopeng. Saat terbangun Haura tak menemukan siapapun selain dirinya sendiri, pria itu hanya meninggalkan sebuah kancing bertahtakan berlian, dengan aksen huruf A di dalam kancing itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MGTB And CEO BAB 14 - Lepaskan Kebencianmu
Keesokan harinya, Adam dan Luna pergi ke Surabaya. Mendatangi kampung halaman Haura dan menemui Hasan.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di rumah Hasan. Rumah sederhana dengan cat dinding berwarna biru, nampak sudah kusam.
"Tunggulah disini, aku akan masuk sendiri," jelas Adam dan Luna mengangguk patuh.
Berpenampilan biasa, Adam turun dari dalam mobilnya. Meninggalkan jas yang selalu ia bawa di dalam mobil.
Mengetuk pintu, namun lama tak dibuka-buka.
Tapi Adam tak menyerah, hingga beberapa saat kemudian pintu itu terbuka. Seorang pria yang nampak seusianya membuka pintu itu, matahari sudah tinggi, namun nampak jelas jika pria ini baru bangun tidur.
"Siapa Anda?" tanyanya dengan tidak ramah.
"Saya Adam, teman Haura."
Hasan berdecih, kenapa banyak sekali orang yang mencari Haura, Haura dan Haura. Benar kata istrinya, Haura itu wanita tidak benar, nyatanya banyak laki-laki yang selalu mencari sang adik.
"Dia di Jakarta, jangan cari disini," jawab Hasan tak suka, lalu dengan cepat pula ia kembali menutup pintu.
Adam bergeming, ia mengepalkan tangannya kuat.
Makin mencari Haura, entah kenapa ia makin merasa iba pada wanita itu. Tanpa perlu penjelasan, Adam sudah bisa merasakannya. Jika Haura, tak diinginkan oleh sang kakak.
Dalam hati kecilnya Adam berjanji, ketika ia sudah menemukan Haura. Ia akan mengangkat derajat wanita itu tinggi-tinggi. Hingga orang-orang yang sudah menghina Haura, akan mendongak dan menatap keatas, dan hanya telapak kaki Haura lah yang dapat mereka lihat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa kini seminggu lagi tanaman cabai Haura akan segera di panen.
Seperti kesepakatan antara Azzam dan Shakir. Hari ini pedagang tersohor dari negeri Jiran itu datang ke desa Parupay, menemui Azzam dan memeriksa cabai yang akan diborongnya.
Disambut sekedarnya, di rumah sederhana milik Aminah.
Haura menyambut antusias, sebelumnya Azzam sudah menceritakan semuanya pada sang ibu. Jika Labih berhasil mendapatkan pemborong untuk membeli cabai mereka.
Tak tanggung-tanggung, semuanya akan dibeli oleh tuan Shakir. Bahkan jika produk cabainya memenuhi standar, Shakir akan menjadi pembeli tetap.
Bak gayung bersambut, usaha Haura mendapatkan kemudahan yang beruntun. Tak hanya berhasil panen, mereka pun langsung mendapatkan pemborong.
"Perkenalkan, saya adalah ibu Azzam, Haura Tuan," jelas Haura, seraya mengatupkan kedua tangannya didepan dada, memberi hormat dan tersenyum ramah pada Shakir.
Tersenyum, Shakir memandang Haura dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Wanita sederhana, lengkap dengan hijab panjangnya.
Tak ada yang istimewa, namun sorot matanya begitu teduh.
Siapapun yang menatap mata itu, akan ikut terhanyut.
"Jangan panggil Tuan, panggil saja Shakir," jawab Shakir tak kalah ramah, sebagai pedagang bukan hal yang sulit baginya untuk dekat dengan orang.
Kala itu Shakir tak datang sendiri, ia datang bersama tangan kanannya, Mail.
Setelah perkenalan dan bercerita panjang lebar. Haura mengajak Shakir untuk melihat perkebunan mereka. Azzam dan Azzura pun setia mengikuti.
Shakir memandang takjub pada kebun itu, semua tanaman nampak tumbuh subur dan merata. Bahkan buahnya pun lebat dan memiliki ukuran yang pas.
"Beruntung aku bertemu denganmu Zam," jelas Shakir pada anak kecil itu.
"Jika cabaimu seperti ini, aku akan menambah harganya," timpal Shakir lagi, hingga membuat Azzam, Azzura dan Haura yang mendengarnya tersenyum lebar.
Berulang kali mereka mengucapkan syukur di dalam hati.
Saat itu, Haura memutuskan pulang lebih dulu. Sementara Azzam dan yang lainnya masih di sana.
Azzam dan Azzura asik memandangi cabai mereka, sementara Shakir asik memandangi punggung Haura yang menjauh.
"Cantik," gumamnya dengan bibir tersenyum tipis.
"Siapa yang cantik Tuan, Acik Haura?" tanya Mail menebak, karena hanya ada satu wanita saja di sana, Haura.
"Ya, siapa lagi?" jawab Shakir balik bertanya.
"Tapi masih kalah cantik dengan wanita wanita di kota Tuan," jelas Mail sesuai penglihatannya.
Mendengar itu, Shakir terkekeh.
"Kamu tahu Tere Liye? seorang penulis ternama." Shakir kembali menatap ke arah kepergian Haura.
"Disalah satu kutipannya dia berkata, 'Kecantikan seorang wanita tidak dilihat dari wajahnya, fisiknya, apalagi dari pakaiannya. Tapi lihatlah dari matanya," jelas Shakir dan Mail bergeming.
"Wanita yang sederhana, teguh, berwawasan, berakhlak baik, berprinsip, mandiri dan jujur sungguh menyenangkan melihat bola matanya. Begitu menawan, membawa kedamaian." Shakir tersenyum, lalu kini melihat kearah Azzam dan Azzura.
"Ternyata benar yang dituliskan penulis itu, kini aku merasakannya."
Mail yang mendengar itu hanya mampu tersenyum. Menyadari satu hal, Tuannya sudah jatuh cinta.
Pada seorang janda dipelosok Kalimantan, bernama Haura. Padahal di kota sana, banyak pula gadis-gadis yang memperebutkan dirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam hari, selepas mengaji Haura dan semua keluarganya mulai merebahkan diri diatas ranjang.
Ranjang dari kayu yang berukuran cukup besar, menampung mereka semua di atas sana, Haura, Aminah, Azzam dan Azzura.
"Alhamdulilah, usaha kita diridhoi oleh Allah," ucap Haura penuh syukur, seraya memeluk Azzura yang berada di sebelahnya.
"Kalian tidak akan meninggalkan nenek kan, jika sudah berhasil nanti?" tanya Aminah, sendu.
Jujur saja, ia merasa takut Haura akan pergi meninggalkannya, membawa Azzam dan Azzura pergi jauh. Mereka semua sudah jadi belahan jiwa Aminah. Tanpa mereka, Aminah merasa hampa.
Azzam yang lebih dekat dengan sang nenek pun langsung memeluk Aminah erat.
"Apa yang nenek katakan? itu tidak akan terjadi," jawab Haura.
"Kenapa kami meninggalkan Nek Inah, Nek Inah kan nenek kami," cetus Azzura tidak terima, mana mungkin sesama keluarga saling meninggalkan.
Keempat orang itu lalu saling memeluk, erat.
"Nenek jadi teringat saat kalian lahir dulu. Malam itu, ibu dan nenek melewati gelapnya malam menuju rumah bidan Sanja. Saking cemasnya, kami sampai tidak membawa senter," terang Aminah mengingat masa lalu, ia tersenyum kecil ketika mengingat itu.
"Sampai saat ibu dan nenek pulang, kami baru sadar kalau kaki kami sama-sama banyak luka," timpal Haura ikut tersenyum.
"Tapi kami tidak merasa sakit sedikitpun, rasa sakit kami hilang saat menatap wajah kalian berdua," Aminah kembali bercerita.
Azzam dan Azzura setia mendengarkan, ibarat dongeng yang dibacakan sebelum tidur.
Malam itu Aminah dan Haura terus berbincang, meski Azzam dan Azzura sudah terlelap. Aminah menceritakan, jika ialah yang sudah memungut kancing baju berlian yang Haura buang.
"Kebenaran haruslah diungkap suatu saat nanti, dan hadapilah kebenaran itu," ucap Aminah pada Haura, yang sudah dianggapnya seperti anak.
Haura terdiam, tak tahu menanggapi bagaimana. Kebencian itu masih melekat kuat dihatinya.
"Jika kamu masih membenci pria itu, berarti kamu juga membenci Azzam dan Azzura."
Haura menoleh, menatap sang nenek yang juga menatapnya lekat.
"Lepaskan Haura, lepaskan semua kebencianmu. Ihklaslah, terimalah bahwa pria iblis itu adalah ayah dari anak-anakmu."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa Like dan komen ya, dukung novel ini semoga bisa menang di lomba Anak Genius 😊😊😊