Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Aku Detektif
Kalian pikir Yeon akan berhenti begitu saja? Oh, tentu tidak.
Ia tetap menjadi Yeon yang selalu dihantui rasa penasaran. Ia mengikuti Justin dan Abigail dari belakang dengan mobilnya. Beberapa perhentian dan lampu merah membuatnya kesulitan untuk mencari tempat aman untuk melepaskan rasa penasarannya.
Ia terus mengikutinya hingga ia menemukan sesuatu yang mengusik jiwanya. Sesampainya di rumah Abigail, Yeon tidak merasakan kejanggalan apa pun. Abigail, seperti biasa, turun dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang mengantarnya pulang.
Tunggu, ada yang mencurigakan. Gerak-gerik Eliza memancarkan kebahagiaan yang luar biasa. Jadi, benar mereka sudah mendapat restu? Eh, tunggu.
Di ujung jalan, dengan raut wajah datar, Yeon menyadari sesuatu.
"Kok aku malah yakin kalau hubungan mereka cuma settingan?" gumam Yeon. Ia memperhatikan postur tubuh dan raut wajah Justin. Ingatannya kembali ke beberapa minggu yang lalu, ketika ia mengatakan bahwa Justin adalah reinkarnasi dari Matthew.
"Sudahlah, tidak apa-apa!" Yeon menghibur dirinya sendiri. Meskipun ia tahu Abigail menjauhinya karena pacar barunya, ia berbisik, "Tidak apa-apa. Asal mereka bahagia saja!" Dari situ, Yeon tancap gas dan pergi dari depan rumah Abigail.
Ponsel Justin bergetar di saku celananya. Ia membungkuk dan berpamitan. "Kalau begitu, saya pulang!"
Eliza tersenyum lebar. "Terima kasih, Nak Justin. Hati-hati di jalan, ya!"
Justin mengangguk, lalu berbalik dan kembali mengendarai motor kesayangannya. Di rumahnya, Aurel datang lagi. Sebenarnya, ia begitu gembira menyambut kedatangan John dan Grace dari Meksiko beberapa bulan yang lalu. Namun, saat ini ia menghadapi masalah Justin yang sudah dewasa. Justin telah melenceng jauh dari dirinya.
"Tante selalu menanyakan kabar putra kesayangan Tante di Indonesia. Hanya saja Tante merasa salah karena yang Justin butuhkan dari kami ternyata bukan uang, tetapi waktu dan kasih sayang!"
"Tante menyayangkan dulu Justin pernah membentak Tante dengan keras, lalu bilang kalau selama ini saya tidak memiliki orangtua. Itu adalah kesalahan Tante dan Om kamu,"
Aurel terdiam sejenak. Ruang tamu dengan interior mewah dan elegan. Tentu, jika dibandingkan dengan dirinya, Justin kalah jauh. Bukan dari urusan harta atau keluarga, tetapi dari segi mental dan kestabilan. Aurel sangat menjaga dirinya. Hal itu membuat aura positifnya semakin terpancar.
"Justin kecil, sudah bisa marah?" Grace mengangguk.
"Dia marah karena dia kehilangan masa kecilnya yang seharusnya dia abadikan bersama keluarganya." Grace kembali bercerita.
"Tapi kamu tahu, apa yang Tante lakukan ini justru membuat hubungan kami semakin renggang dan semakin jauh?" Aurel menggeleng.
"Iya betul, tekanan. Bagaimana kami sebagai para wanita harus berusaha, bagaimanapun keadaannya. Untuk Tante, orang yang tidak enak, kurang tegas, sehingga memiliki celah untuk dituntut supaya mampu menjaga kestabilan mental anak dan pasangan. Karena buruknya kesehatan mental pasangan kita, seorang laki-laki, punya dampak buruk juga untuk anak kita kelak!"
"Laki-laki mewariskan kesehatan mentalnya pada anaknya!" pesan Grace.
"Tingkat stres perempuan setelah menikah bisa meningkat lebih tinggi, ini berhubungan dengan kestabilan dan pengeluaran!"
"Tante kaya raya!" puji Aurel. Grace menggeleng. Ia ingin menceritakan satu hal, tetapi agak kesulitan. Kemudian, ia yang duduk berhadapan dengan Aurel di ruang tamu memutuskan untuk duduk di sampingnya, lalu bercerita lebih lanjut.
"Sebenarnya Tante tidak nyaman, terlebih dengan latar belakang—"
"GRACE!" John berteriak dari belakang. Ia baru masuk rumah melalui pintu belakang, lalu berjalan dengan kasar tanpa mempedulikan Aurel.
"Kenapa, John?"
"Mana Justin?" tanya John.
Grace terdiam. John membanting pintu, lalu kembali keluar dengan tas yang ia gunakan untuk pergi ke kantor. Ia pergi ke suatu tempat dengan mobil kesayangannya. Ia hanya datang untuk menunjukkan emosinya, lalu kembali lagi.
Selama itu juga, Aurel menunduk. Ia merasakan tekanan yang amat tinggi yang dialami oleh Grace, namun Grace tidak bisa berbuat apa-apa atau melawan. Ia hanya terus lagi dan lagi menjadi samsak emosi dari John.
"Latar belakang, siapa Tante?" Raut wajah Grace berubah panik. Banyak kesedihan yang tergurat di garis wajahnya.
"John dan ibunya. Mereka sangat keras dan kasar
"John dan ibunya. Mereka sangat keras dan kasar kepada Justin. Ternyata ibu John, atau neneknya Justin, adalah pengaruh besar yang merusak mental Justin, bahkan selama ia tinggal di dalam rumah ini selama bertahun-tahun." Grace berbisik sangat pelan.
Aurel terdiam. Ia merasakan aura dingin yang menguar dan menyadari bahwa nenek kandung Justin mungkin ada di sini.
"Aku boleh memeriksa kamarnya Justin, Tante? Untuk berjaga-jaga takut ia menyembunyikan barang terlarang seperti narkoba dan sebagainya? Kalau iya, aku mau memberikan jaminan!" tanya Aurel. Grace mengangguk sebagai tanda mengizinkan.
Aurel berjalan menuju kamar Justin. Saat masuk, ia langsung disambut aroma rokok dan alkohol yang sangat menyengat. Ia mengipas-ngipas udara dengan tangannya, karena tidak tahan dengan bau alkohol dan rokok.
Ia buru-buru mengambil parfum dan menyemprotkannya ke udara. Senyumnya terukir saat ia menyelesaikan tindakan konyol pertamanya. Sejenak, ia mengedarkan pandangannya ke segala arah.
Hanya ada satu hal di kamar itu yang membuatnya tersenyum: foto Justin yang tengah tersenyum. Ia tampak sangat bahagia. Mungkin ini adalah sesuatu yang hilang dari dirinya selama ini.
Aurel mengambil foto yang terpajang di dinding. "Justin, senyumanmu masih begitu manis!" pujinya.
"Inikah yang hilang dari dirimu selama bertahun-tahun?"
Aurel sangat merindukannya. Ia begitu menyayangi Justin, meskipun statusnya hanya sebagai mantan kekasih. Tetapi, ah, ia begitu menyayanginya. Ia kemudian memeluk foto itu berulang kali.
"Haha," Grace tertawa di ambang pintu. "Kamu ternyata dewasa dan penyayang sekali ya, Aurel!"
"Usia kamu bahkan lebih tua dari Justin, kamu benar-benar mampu menggambarkan sosok pengganti ibu untuk Justin!" puji Grace. Hidung Aurel kembang kempis.
"Hehe, Tante aman?"
"Apa maksudnya?" tanya Grace, merasa pertanyaan Aurel terlalu ambigu.
"Tidak ada neneknya Justin di sini?" tanya Aurel sambil memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, matanya mencari keberadaan seseorang.
Grace menggeleng. "Tidak ada. Ia sedang di kantor, mungkin menemani John. Hmm, memangnya kenapa?"
Aurel ingin mendengar cerita dari mulut Grace secara langsung, tetapi jujur saja, ia masih takut. Terlebih dengan aura dan pembawaan John yang menurutnya cukup kejam.
"Kalau Tante merasa begini, kenapa tidak—" Grace terdiam mematung.
Sepulang sekolah, tubuhnya masih berkeringat lelah setelah kepanasan. Justin masuk ke dalam rumahnya dan berjalan terus ke arah kamarnya hingga ia menemukan Aurel.
"Kenapa pada ngumpul di sini?" tanya Justin. Aurel sedikit mati kutu. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi Justin sudah keburu pulang.
"Kenapa?" tanya Justin lagi.
"Tidak ada apa-apa. Kalau begitu, aku izin pamit ya?" pamit Aurel. Kemudian ia berlalu pergi.