NovelToon NovelToon
Aletha Rachela

Aletha Rachela

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Delima putri

Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22:Menjalani

Aletha berjalan masuk ke rumahnya, dengan langkah yang terasa lebih ringan dari biasanya. Meski hatinya masih sedikit berdebar setelah pertemuan tadi, ia mencoba menenangkan diri. Suasana di dalam rumah yang tenang membuatnya bisa berpikir lebih jernih. Ia duduk di ruang tamu, mengeluarkan buku catatan dan membuka tugas kelompok mereka. Matanya sesekali melirik ponsel, berharap ada pesan dari Dafit, meskipun ia tahu itu tak akan datang begitu saja.

Namun, tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

Angkasa

["Gimana, Tha? Tugasnya udah selesai? Kalau ada yang belum, bisa ngobrol besok ya."]

Aletha tersenyum, menatap pesan itu beberapa saat sebelum membalas.

Aletha:

["Belum selesai, tapi kayaknya kita butuh waktu lebih banyak. Makasih ya udah bantuin tadi."]

Beberapa detik setelah itu, Dafit membalas lagi.

Angkasa:

["Gak masalah, kita bisa terusin kapan aja. Tapi, lo tau kan kalau gue bakal selalu bantuin lo."]

Aletha merasa hangat membaca pesan itu. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan, seperti sesuatu yang semakin mendalam setiap kali ia berinteraksi dengan Dafit. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, namun perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.

Sementara itu, Dafit di sisi lain juga merasa gelisah. Sesuatu yang baru mulai tumbuh dalam dirinya, yang ia tak tahu pasti bagaimana cara menghadapinya. Saat ia melihat pesan terakhir Aletha, ia merasa senang, tapi juga bingung dengan perasaan yang baru ia rasakan.

____

Keesokan harinya, mereka kembali bertemu di sekolah, dan suasana antara Aletha dan Dafit tampak sedikit berbeda. Mereka berdua lebih sering bertatap mata, tetapi ada rasa canggung yang tak biasa. Rara dan Rere, yang menyadari perubahan itu, kembali menggoda mereka dengan tawa kecil. "Kalian berdua kayaknya makin deket ya," goda Rara dengan senyum nakal.

Aletha hanya bisa tersenyum canggung, meskipun hatinya mulai lebih tenang karena tugas mereka hampir selesai. "Kita emang sering bareng, kan? Tugas kan," jawabnya, berusaha terdengar biasa.

Dafit, yang duduk di sebelahnya, hanya mengangguk sambil mencoba menyembunyikan senyuman. "Iya, tugas, kok," jawabnya dengan nada sedikit mengelak, tapi tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia yang terbit di dalam hatinya.

Hari itu berlalu dengan lebih ringan. Mereka akhirnya menyelesaikan tugas kelompok dengan baik dan mempresentasikannya di depan kelas. Setelah kelas selesai, Aletha merasa ada kelegaan, namun juga perasaan yang tak terucapkan yang menghinggapinya sepanjang hari.

---

Saat mereka berdua berjalan menuju pintu keluar kelas, Dafit memutuskan untuk mengajak Aletha berbicara lebih serius. "Tha," katanya, mencoba memulai percakapan yang telah lama ingin ia lakukan, "tentang tugas kemarin... gue senang banget bisa kerja bareng sama lo. Gue merasa kayak ada yang beda, lo tahu gak?"

Aletha berhenti sejenak, melihat ke mata Dafit. "Apa maksud lo?" tanyanya dengan hati-hati, merasakan sesuatu yang mulai terungkap antara mereka berdua.

Dafit menghela napas, lalu mengangguk. "Gue gak bisa bohong, Tha. Perasaan gue ke lo lebih dari sekedar teman. Gue mulai ngerasa ada yang beda, dan gue gak tahu harus gimana... tapi gue senang kalau bisa deket sama lo."

Aletha terdiam, perasaan yang sama mulai membanjiri dirinya. Ia merasa bingung dan cemas, tapi di sisi lain, hatinya terasa lebih ringan, lebih bahagia. "Angkasa..." kata Aletha, berusaha mencari kata-kata yang tepat, "Gue juga... merasa ada yang beda. Tapi, kita udah lama berteman. Gue gak tahu gimana kalau semuanya berubah."

Dafit tersenyum kecil, menggenggam tangan Aletha dengan lembut. "Kita bisa coba, Tha. Gue janji bakal tetap jadi teman lo, meskipun kalau kita berdua bisa lebih dari itu. Gue gak mau ada yang jadi canggung, gue cuma mau lo tahu kalau gue peduli."

Aletha menatap Dafit, dan untuk pertama kalinya, ia merasa yakin dengan perasaannya sendiri. "Oke, kita coba," jawabnya, merasa ada kelegaan dalam hatinya. "Tapi, kita ambil waktu, ya? Jangan buru-buru."

Dafit mengangguk, senyum manis terukir di wajahnya. "Gue janji, Tha. Gak ada yang buru-buru. Kita bisa berjalan bersama, perlahan."

Mereka berjalan keluar dari sekolah bersama, lebih dekat dari sebelumnya, dengan perasaan yang lebih jelas satu sama lain. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, mereka tahu bahwa mereka sudah siap menghadapi apa pun yang datang.

---

Beberapa minggu kemudian, hubungan mereka mulai berkembang lebih dalam. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, tidak hanya untuk tugas, tetapi juga untuk berbicara tentang kehidupan mereka masing-masing. Aletha yang awalnya ragu, mulai merasa nyaman dengan Dafit. Ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.

Di sisi lain, Dafit semakin menyadari betapa berartinya Aletha baginya. Ia merasa dirinya lebih baik ketika berada di dekatnya, dan ia tak sabar menunggu masa depan bersama gadis yang selama ini sudah begitu dekat dengannya.

Keduanya, dengan perlahan dan pasti, mulai membangun sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan—sesuatu yang penuh dengan kemungkinan dan harapan baru.

Aletha dan Dafit keluar dari gedung sekolah, berjalan berdampingan menuju parkiran, di mana mobil-mobil mewah milik keluarga mereka terparkir dengan rapi. Langit sore itu mulai berubah menjadi jingga keemasan, seiring matahari yang semakin rendah di ufuk barat. Suasana di luar sekolah terasa sangat tenang, meskipun ada ketegangan yang tersisa di antara mereka, seakan-akan ada sesuatu yang belum terucapkan. Beberapa siswa lain sudah lebih dulu pulang, meninggalkan halaman yang sepi, hanya ada beberapa yang masih tertinggal, berjalan menuju kendaraan mereka.

Dafit yang biasanya terlihat cuek dan santai, hari ini tampak lebih serius. Ia mendekati mobil sport hitamnya dan membuka pintu untuk Aletha, mengangguk pelan saat Aletha duduk di kursi penumpang. Sementara ia masuk dan duduk di kursi pengemudi, mobil meluncur perlahan meninggalkan area sekolah, menembus jalanan yang mulai sepi.

Suasana di dalam mobil terhitung sunyi, hanya terdengar suara mesin mobil yang tenang dan musik instrumental yang mengalun pelan. Sesekali, Dafit melirik Aletha, mencoba mencari kesempatan untuk membuka percak okapan, namun ia tak tahu harus mulai dari mana. Aletha yang biasanya ceria dan mudah berbicara, kali ini lebih diam. Mungkin ini adalah momen yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak mereka, tetapi suasananya terasa rumit.

Dafit akhirnya memecah keheningan itu, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, “Tha, lo ngerasa aneh nggak, sih, setelah beberapa hari ini?” Tanyanya dengan nada sedikit ragu, meskipun jelas bahwa ia merasa ada sesuatu yang berubah antara mereka.

Aletha menoleh ke samping, mendapati Dafit yang kini fokus mengemudi, wajahnya tampak serius. Ia merasa sedikit terkejut, seolah baru menyadari bahwa hubungan mereka memang telah berubah. “Aneh gimana, ka?” tanya Aletha, matanya masih tertuju pada jalan yang dilalui.

Dafit menarik napas panjang, sedikit mengatur kata-katanya. “Maksud gue, kita kan udah lama temenan, Tha. Tapi akhir-akhir ini rasanya hubungan kita berubah. Gue nggak tahu, gue ngerasa agak bingung dan nggak tahu gimana ngomongnya. Jadi gue nanya lo aja.”

Aletha terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Ia memang merasakannya, hubungan mereka memang mulai berbeda. Rasanya ada semacam ketegangan yang tak biasa, seperti perasaan yang tak terucapkan tapi selalu ada di udara. “Gue juga ngerasain itu, ka,” jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Awalnya gue pikir itu cuma perasaan gue aja. Tapi semakin sering kita ngobrol, semakin sering ketemu, rasanya semuanya jadi agak beda. Mungkin kita jadi lebih terbuka satu sama lain, ya.”

Dafit tersenyum kecil mendengar jawaban Aletha, merasa sedikit lega karena ternyata ia tidak salah paham. Namun, masih ada ketegangan yang menggelayuti hatinya. “Gue juga ngerasain itu, Tha. Tapi gue nggak mau buru-buru atau salah langkah. Gue cuma nggak bisa bohong sama perasaan gue. Gue mulai ngerasain lebih dari sekadar teman. Tapi gue juga bingung gimana ngomongnya, karena ini agak berat buat gue.”

Aletha menatapnya sejenak, matanya mulai lembut. Ia bisa merasakan kegelisahan Dafit, dan entah kenapa, hatinya terasa hangat. Meskipun ia takut jika semuanya berubah menjadi rumit, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang berkembang dalam dirinya. “kaaa... gue nggak tahu harus gimana,” katanya perlahan, menundukkan kepala sedikit, seperti mencari keberanian untuk melanjutkan kata-katanya. “Gue takut kita jadi canggung kalau hubungan kita berubah, tapi di sisi lain, gue juga mulai ngerasain hal yang sama. Gue cuma nggak mau semuanya jadi rumit.”

Dafit menghela napas pelan, melihat Aletha yang terdiam, matanya sedikit terpejam seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Ia tahu bahwa Aletha membutuhkan waktu untuk mencerna perasaannya, dan ia tidak ingin memaksakan apapun. “Gue ngerti, Tha,” jawabnya dengan suara lembut. “Gue nggak akan memaksakan apapun. Gue cuma pengen lo tahu, gue bakal ada buat lo, apa pun keputusan lo. Kita bisa tetap teman, atau lebih dari itu, gue siap.”

Aletha menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. Ada kelegaan yang muncul, seolah-olah berat yang selama ini ia rasakan sedikit berkurang. “Gue nggak mau kehilangan lo, Angkasa” katanya dengan suara lirih. “Tapi gue butuh waktu, kita jangan buru-buru. Gue takut kalau kita buru-buru, kita malah nggak bisa menjaga apa yang sudah ada.”

Dafit mengangguk, meskipun sedikit kecewa, ia tahu ini adalah keputusan yang bijak. “Iya, Tha. Gue sabar kok. Gue ngerti banget. Yang penting, kita terus ada buat satu sama lain, entah itu sebagai teman, atau lebih.”

Setelah itu, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang. Meskipun mereka tidak berkata banyak lagi, ada semacam pemahaman yang dalam di antara mereka. Aletha merasa sedikit lebih ringan setelah percakapan itu, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak perasaan yang campur aduk. Tetapi ada juga rasa aman, bahwa mereka masih bisa menjaga hubungan ini dengan cara yang baik.

Beberapa hari setelah percakapan itu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di luar sekolah. Terkadang mereka pergi ke taman, duduk bersama, berbicara tentang hal-hal kecil yang mereka nikmati, atau sekadar berjalan-jalan tanpa tujuan. Setiap momen itu terasa menyenangkan, meskipun ada rasa hati-hati yang tetap ada, seperti ada jarak yang sengaja dibiarkan. Namun, ada juga sesuatu yang membuat Aletha merasa nyaman, membuatnya ingin terus melangkah maju.

Suatu sore, setelah mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengerjakan tugas bersama, Dafit mengajak Aletha untuk berjalan-jalan di taman yang lebih jauh dari sekolah, tempat yang lebih sepi dan tenang. “Kita butuh waktu buat santai, kan?” tanya Dafit sambil tersenyum, membuka percakapan setelah beberapa waktu mereka hanya bekerja diam-diam.

Aletha mengangguk, merasa setuju. “Iya, gue setuju. Gue juga butuh waktu buat berpikir tentang semua ini.”

Mereka berjalan bersama di jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rindang, menikmati udara sore yang sejuk. Di sepanjang perjalanan, Aletha merasakan beberapa kali tatapan penuh makna dari Dafit, namun ia tidak menghindar. Mungkin inilah saatnya untuk membuka diri sedikit lebih banyak.

Akhirnya, setelah beberapa lama terdiam, Aletha memutuskan untuk berbicara. “Angkasa,” katanya dengan suara pelan, “Gue pikir kita bisa coba jalani ini pelan-pelan, tanpa tekanan. Kita nggak perlu buru-buru, tapi kita juga nggak bisa terus-terusan ngelawan perasaan kita, kan?”

Dafit menatapnya dengan penuh harapan, matanya sedikit berbinar. “Jadi, lo siap?” tanyanya, suara penuh keyakinan.

Aletha tersenyum, “Gue siap, tapi kita coba jalanin ini dengan hati-hati. Pelan-pelan aja, ya?”

Dafit mengangguk dengan wajah yang tampak lebih lega. “Pelan-pelan aja, Tha. Gue bakal sabar. Gue janji.”

Mereka terus berjalan, kali ini lebih dekat. Meskipun jalan yang mereka tempuh masih penuh ketidakpastian, ada keyakinan baru yang tumbuh di antara mereka. Mereka tahu bahwa apapun yang akan datang, mereka akan menghadapinya bersama, perlahan-lahan.

1
Febrianto Ajun
cerita ini bisa bikin saya menangis! Tapi juga sukses bikin saya tertawa geli beberapa kali.
Hitagi Senjougahara
Boss banget deh thor, jangan lupa terus semangat nulis ya!
Dear_Dream
Senang banget bisa menemukan karya bagus kayak gini, semangat terus thor 🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!