Gus Shabir merasa sangat bahagia saat ayah Anin datang dengan ajakan ta'aruf sebab dia dan Anin sudah sama-sama saling menyukai dalam diam. Sebagai tradisi keluarga di mana keluarga mempelai tidak boleh bertemu, Gus Shabir harus menerima saat mempelai wanita yang dimaksud bukanlah Anin, melainkan Hana yang merupakan adik dari ayah Anin.
Anin sendiri tidak bisa berbuat banyak saat ia melihat pria yang dia cintai kini mengucap akad dengan wanita lain. Dia merasa terluka, tetapi berusaha menutupi semuanya dalam diam.
Merasa bahwa Gus Shabir dan Anin berbeda, Hana akhirnya mengetahui bahwa Gus Shabir dan Anin saling mencintai.
Lantas siapakah yang akan mengalah nanti, sedangkan keduanya adalah wanita dengan akhlak dan sikap yang baik?
"Aku ikhlaskan Gus Shabir menjadi suamimu. Akan kuminta kepada Allah agar menutup perasaanku padanya."~ Anin
"Seberapa kuat aku berdoa kepada langit untuk melunakkan hati suamiku ... jika bukan doaku yang menjadi pemenangnya, aku bisa apa, Anin?"~Hana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tiga
Membunuh wanita itu sangatlah mudah Tuan, cukup kau katakan jika kau mencintai wanita lain, maka runtuh lah dunianya. Tak perlu raga yang kau sakiti, karena wanita tidak selemah itu, cukup kau lukai dengan ucapanmu, maka kau akan lihat dia menangis pilu.
Walau telah berusaha kuat, tapi hati wanita mana yang tak akan sakit jika saat yang paling dinantikan, malam pertamanya, sang suami menyebut nama wanita lain.
Shabir yang ingin mandi wajib melihat sang istri menangis mendekatinya. Duduk di samping Hana. Dia lalu menggenggam tangan wanita itu.
"Apa kamu merasa sakit? Maaf, memang yang pertama itu akan terasa tak nyaman. Sekali lagi, maafkan aku," ucap Gus Shabir dengan lembut.
"Kalau sakit fisik yang aku rasakan, mungkin masih bisa aku tahan, Mas. Apa lagi ini memang kewajibanku. Imbalannya pahala jika aku melayani dengan ikhlas. Tapi sakit yang aku rasakan saat ini lebih dari sekedar fisik. Kamu telah menyakiti hatiku, Mas," jawab Hana.
Hana akhirnya jujur mengatakan semuanya. Dari tadi dia telah menahan rasa sesak di dada sejak sang suami menyebut nama Anin.
"Hana, katakan apa yang membuat kamu sakit hati?" tanya Gus Shabir. Dia belum juga menyadari apa yang telah dia lakukan tadi.
"Mas, apa kamu benar tidak sadar atau pura-pura tak sadar?" tanya Hana dengan suara terbata karena menahan Isak. Dia takut suara tangisannya terdengar sama kedua mertuanya.
Dua bulan sejak pertemuan dengan Ghibran, suaminya sudah mulai tampak berubah. Dia tidak kaku lagi. Sudah mulai mau menyentuhnya. Puncaknya tadi, akhirnya mereka melakukan penyatuan. Hana sangat bahagia, tapi semua tak berlangsung lama. Dia dihempaskan dengan kenyataan jika anak suami masih menyimpan nama Anin dalam hatinya.
Seburuk apakah dia di mata sang suami, sehingga sulit bagi Gus Shabir untuk dapat mencintai dirinya. Dia telah melakukan berbagai cara untuk meluluhkan hati pria itu.
"Aku benar-benar tak tahu, Hana! Katakan saja, agar aku dapat merubahnya," ujar Gus Shabir.
"Apakah sulit bagimu untuk melupakan Anin? Padahal gadis itu belum tentu mengingat namamu apa lagi dirimu. Tapi kamu selalu saja dibayangi olehnya. Aku ini Hana, bukan Anin. Aku ini istrimu yang sah, bukan gadis yang haram untuk kau ingat karena tidak ada ikatan di antara kalian. Apakah saat tadi berhubungan kamu membayangi Anin, sehingga menyebut namanya saat pelepasan?" tanya Hana dengan penuh penekanan.
Gus Shabir melepaskan genggaman tangannya. Dia terkejut saat Hana mengatakan semua itu.
"Astaghfirullah, maafkan aku, Hana. Aku tak bermaksud membuat kamu sakit hati. Aku tak ada niat menyebut dan mengingatnya. Dua bulan ini aku telah berusaha mengubur nama Anin dan menerima kamu. Aku mengaku khilaf. Maafkan aku, Hana!" ucap Gus Shabir dengan penuh rasa penyesalan.
Gus Shabir mengusap wajahnya dengan kasar. Dia terduduk di lantai. Tak percaya jika itu dilakukan. Padahal dia telah berusaha melupakan Anin dan menerima Hana sebagai jodohnya. Dia menatap wajah sang istri yang masih berlinang air mata. Pria itu lalu berdiri dan memeluk erat Hana. Mengecup pucuk kepalanya.
"Maafkan aku, Hana. Sekali lagi maafkan, aku!" ucap Gus Shabir merasa sangat bersalah.
"Walau kamu tak bermaksud menyakiti hatiku, tapi tetap itu sangat menyakitkan Mas. Cobaan apa pun bisa wanita terima dengan lapang dada, tapi saat mengetahui sang suami masih menyimpan nama wanita lain, itu sangat menyakitkan. Jangan buat aku menyerah, padahal aku tahu kita telah berada dipertengahan jalan," ujar Hana.
"Seperti yang sering aku katakan, kita sama-sama berjuang, Hana. Aku berusaha menghapus nama Anin dan mengganti dengan namamu, sedangkan kau berjuang dengan keikhlasan mu menerima kekuranganku ini. Aku telah berusaha selama dua bulan ini, Hana. Aku juga tak ingin menyerah."
Hana menghapus air matanya. Benar yang dikatakan Shabir, dia jangan menyerah. Mereka harus sama-sama berjuang. Mungkin Allah sengaja memberikan ujian dalam rumah tangga mereka agar dia dan Shabir tahu, jika menikah itu bukanlah sesuatu yang indah. Banyak cobaan yang akan dihadapi.
"Sakit memang sakit rasanya, kecewa memang kecewa yang kudapatkan, tetapi akulah yang memilih untuk mencintaimu. Tuhan, jika harus aku bersabar dan bertahan, apakah akan ada akhir yang indah untukku dan dia? Aku mungkin masih bisa menunggu kehadiran cintamu, tapi jika aku telah lelah, mungkin itu saatnya aku akan mencoba melepaskan sekaligus melupakanmu untuk selamanya," gumam Hana dalam hatinya.
Setelah cukup lama mengobrol, dan saling menguatkan. Gus Shabir masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya sehabis melakukan hubungan badan.
Hana masih duduk di tepi ranjang. Dia jadi teringat Anin. Telah lebih dari dua bulan mereka tak ada komunikasi lagi. Jika Ghibran masih mau menghubunginya. Bertanya kabar, walau tak bertemu, tapi Anin, komunikasi antara mereka benar-benar telah terputus. Sepertinya gadis itu juga menutup akses media sosialnya. Hana sempat mengintip, berharap Anin membagi kegiatannya di kampus, tapi ternyata nihil. Postingan terakhir saat mereka lulus pondok pesantren.
"Anin, pasti kamu sangat membenciku. Itu memang pantas aku dapatkan. Percayalah Anin, aku sebenarnya tak menginginkan ini terjadi. Tapi semua harus aku lakukan, demi pertahankan apa yang telah menjadi milikku. Sekali lagi, maafkan aku," gumam Hana, dan air matanya kembali membasahi pipi.
...----------------...
Selamat sore. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
jadikan itu menjadi dewasa,bijak dan sabar serta luas memaafkan,jgn lebai,egois dan kekanak kanakn
jdi ingat alm papamu saat menikahkanku, alm nangis terus😭😭