“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23 ~ Serangan ....
“Pak Fabian, lepasin tangan aku.”
Rasanya aku ingin berteriak atau menendang pria ini, tapi kehebohan akan membuatku tersorot dan Pak Krisna bilang masih ada pencari berita di sini. Pak Fabian pun akhirnya melunak, dengan berhenti menarik tanganku.
“Ke mana kamu semalam?”
“Ke mana?” Aku balik tanya.
“Kamu aku minta ambilkan barang di kamar tapi nggak ada balik lagi.”
Aku menggaruk kepalaku mendengar ucapan Pak Fabian, sedangkan menurut Pak Gentala kalau semalam aku tertidur di depan kamarnya. Yang benar yang mana dan sebenarnya ada apa sih denganku.
“Berarti kamu tidur di sini? di kamar siapa?”
Waduh, aku harus jawab apa ya. Apa sampaikan saja yang paling jujur kalau semalam terdampar di pulau kapuk bersama Pak GM dan berakhir harus menikah dengan pria itu.
“Ajeng!”
Aku tersentak mendengarnya agak berteriak memanggil namaku.
“Pak Fabian kenapa sih?”
“Justru aku yang tanya, kamu kenapa?”
“Sepertinya ancaman aku semalam tidak berhasil dan nyalimu besar juga,” ujar seseorang dari belakangku.
Aku segera menarik tanganku yang masih berada dalam cengkraman Pak Fabian, tidak ingin membuat kesalahpahaman. Sedangkan Pak Gentala sedang menatap aku dan Fabian bergantian dan tatapannya seperti singa yang lapar.
“Om Yasa, aku hanya ….”
“Om Yasa,” ujarku saat mendengar Fabian memanggil Pak Gentala dengan sebutan Om.
“Bukankah aku bilang untuk tunggu aku di mobil, Pak Budi menunggu di depan.”
Sang Prabu kembali bertitah, padahal aku masih penasaran tapi apa boleh buat dari pada ocehan Pak Gentala semakin kena mental.
“Ck, iya Pak iya.”
“Ingat ucapanku semalam, di luar urusan pekerjaan jangan coba mendekati Ajeng karena dia calon istriku.”
Huft, refleks aku menutup mulut kalau tidak pasti sudah terpingkal-pingkal. Penasaran ingin melihat wajah Pak Gentala yang mengakui aku sebagai calon istri pada Pak Fabian, tapi mereka ada masalah apa ya. Kenapa pakai ancaman segala.
Aku sudah berada di lobby dan percakapan dua pria itu tentu saja sudah tidak terdengar lagi.
“Mbak Ajeng kenapa, dari tadi saya tunggu. Padahal tadi sudah lihat jalan mau ke luar kenapa pas ditunggu gak ada juga,” seru Pak Budi.
“Iya Pak, tadi ke toilet dulu,” sahutku dusta.
“Tunggu di dalam saja Mbak.” Pak Budi membuka pintu mobil untukku.
Tidak lama sang Prabu pun datang dan duduk di sebelahku, aku menetap keluar melalui jendela di samping pria itu.
“Cari apa?”
“Pak Fabian nggak bareng Bapak?”
Nah, ini kebiasaan Gentala yang suka bikin aku greget pengen gigit. Kadang dia mengabaikan pertanyaanku, seperti kali ini malah bicara dengan Pak Budi. Aku mendengus kesal dan kembali duduk bersandar.
“Kita mau ke mana sih?” Akhirnya aku kembali membuka suara, padahal tadi sempat terpikir untuk mode merajuk tapi seperti bukan gayaku.
“Apartemen.”
“Hah, maksudnya apartemen Pak Gentala?”
“Hm.”
Hanya berdehem dan fokus pada ponselnya.
“Mau ngapain?”
“Bicara. Banyak yang harus dibicarakan,” sahut pria itu masih asyik dengan gadgetnya.
“Nggak ah, kalau mau ngobrol jangan di apartemen Bapak.”
Kali ini ucapanku sukses mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh dan mengernyitkan dahinya. Segalak dan searogan apapun, memang Pak Gentala tetap tampan dan berkharisma, aku harus mengakui itu. Seperti saat ini, biar kata tampangnya kayak orang keheranan tetep aja … ganteng.
“Semalam saja kita berujung dinikahi karena tidur seranjang, lah ini mau ngobrol aja pake berduaan di apartemen,” ujarku lirih dan tentu saja bisa didengar oleh Pak Gentala tapi tidak oleh Pak Budi.
Yes, akhirnya Pak Budi mendapatkan titah untuk ke tempat lain.
Mobil yang membawa kami sudah berbelok ke sebuah restoran. Tentu saja bukan restoran sederhana apa lagi terlihat biasa tapi jelas kemewahannya sudah tampak bahkan hanya dari bangunannya saja. Sepertinya aku harus membiasakan diri untuk tidak membuka mulut karena takjub kalau Pak Gentala mengajakku ke tempat yang mungkin terbayangkan pun tidak.
Ternyata Pak Gentala ingin private room untuk kami. Serahasia apa yang mau dibicarakan sampai harus cari tempat private.
“Kamu pesan apa?” tanya Gentala saat kami sudah berada di ruangan dan ada pelayan menunggu mencatat pesanan.
Aku bingung dan hanya menjawab samakan dengan yang dipesan oleh Pak Gentala.
“Mau bicarakan apa sih Pak?”
“Mulai sekarang, batasi hubunganmu dengan Fabian.”
“Ya memang saya membatasi hubungan dengan dia, memang dipikir saya ada hubungan apa.”
“Ck, kalau nggak ada hubungan kenapa kamu nangis-nangis waktu Fabian dengan perempuan lain.”
“Ini beda kasus Pak. Saya bukan masalah dia sama perempuan lain, tapi dia dekat dengan saya hanya pura-pura. Katanya, mana mungkin dia suka sama saya yang begini. Saya jeleknya kebangetan ya pak?”
Rasanya kedua mataku sudah memanas dan berkaca-kaca, kalau bicara lagi sudah pasti bakal mewek.
“Dulu Gio tinggalin saya, alasannya juga gitu dan Pak Fabian juga bilang gitu. Sehancur apa penampilan saya di mata laki-laki.”
Ah, bener ‘kan. Mewek ‘kan? Bahuku muai terguncang dan pipiku basah dengan air mata tapi si duda nggak ada gerakan untuk menenangkan aku. dasar pria nggak romantis, katanya yakin bisa buat aku bahagia.
“Kamu jelek kalau nangis.”
What? Ya, Tuhan. Ini serius aku harus menikah dengan pria di hadapanku ini? Coba dicek lagi Tuhan, takutnya jodoh aku tertukar.
“Bapak tahu nggak kalau Bapak nyebelin?”
Dia hanya mengedikkan bahunya. Sabar Ajeng, sabar.
Pelayan datang membawakan pesanan. Aku langsung menyambar gelas dan menyeruput isinya. Bicara dengan Pak Gentala akan sangat butuh energi.
...***...
Aku membuka gerbang rumah, setelah mobil Pak Gentala sudah menjauh. Akhirnya aku bersedia diantar sampai rumah, walaupun menolak aku yakin Pak Gentala sudah tahu di mana aku tinggal. Kami hanya bicara masalah pekerjaan dan aku harus siap resign ketika kami menikah.
Setelah itu Pak Gentala bawa aku ke salon kecantikan. Somplak bener, itu artinya dia memang mengakui kalau penampilanku ancur. Hm, tapi nggak masalah deh yang penting perawatan gratis.
“Nah itu dia orangnya.”
Huft. Padahal aku baru sampai teras tapi kedatanganku sepertinya sudah ditunggu-tunggu.
“Eh, lo serius mau nikah sama duda kaya?” tanya Vina sambil berteriak. “Lo sengaja ngeledek gue ya?”
Kalau dia tidak sedang hamil sudah pasti aku ladeni, apa coba maksudnya.
“Kak Vina kenapa sih? Ngeledek gimana?”
“Vina, sudahlah. Ajeng, kapan Pak Gentala akan bayar hutang-hutang ayah?”
Ini lagi manusia yang isi otaknya hanya uang.
“Nggak tahu dan aku nggak mau tahu.”
“Eh, kamu jangan kurang ajar ya. Mentang-mentang sekarang ada keluarga terhormat mendukung kamu, lalu kamu mau semena-mena dengan kami?” Ibu bicara sambil menunjuk wajahku.
“Nggak salah Bu, bukannya kalian yang semena-mena denganku.”
Aku masih fokus pada Ibu saat Vina ternyata mendekat dan menarik rambutku.
“Aaaa,” teriakku sambil menahan tangannya karena rasanya sakit, apalagi ini rambut baru dapat perawatan gratis.
“Kenapa sekarang nasib lo lebih baik dari gue, hahh. Gue mau tukar posisi.” Aku masih mendengar teriakan Vina, Ayah dan Ibu sedangkan aku sendiri masih berusaha melepaskan tangan Vina dan rambutku.
Bugh.
Aku tersungkur karena tendangan seseorang dan wajahku terantuk ke sofa.
“Vina, kamu sedang hamil.”
“Biarin, rasakan itu.”
Aku rasa keningku terluka. Saat aku beranjak berdiri, rambutku kembali dijambak dari belakang. Rasanya aku mau … mati sampai aku dengar suara teriakan dan tangan meraih tubuhku. Dari wanginya aku sangat kenal dan aku menangis dipelukannya.
ato jangan-jangan .....