Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Tabah
Mobil yang dikendarai Andre berbelok masuk ke rubanah rumah sakit umum. Sedikit sulit untuk menemukan tempat memarkir kendaraan karena kondisi rubanah yang penuh sesak. Beruntung masih ada tempat kosong di bagian ujung.
Setelah memarkir mobilnya, Andre bergegas ke ruang IGD dimana Sang Bunda sebelumnya sudah ditangani perawat dan ditemani Bi Irah. Beberapa kali handphone di saku celana Andre bergetar. Namun dia mengabaikannya. Fokusnya kini tertuju pada kondisi Nurma, perempuan yang paling dia sayangi se dunia.
Setelah Andre selesai mengurus administrasi, Nurma ditempatkan di kamar rawat vvip lantai 3. Kondisi sudah stabil dan perempuan itu terlihat tidur dengan lelap. Andre duduk di depan ranjang Nurma, memandangi wajah yang penuh kerutan dan terlihat pucat. Tanpa disadari, cairan bening menetes dari sudut mata Andre.
"Mas?" panggil Bi Irah lirih. Andre terkesiap dan menoleh.
"Biar Bibi yang menunggui Bunda. Mas Andre silahkan cari makan. Bibi tahu Mas Andre belum makan malam sepulang kerja tadi. Jangan sampai karena telat makan, Mas Andre jatuh sakit juga. Kasihan Bunda nanti," pinta Bi Irah.
Andre menyadari ususnya terasa melilit minta diisi. Apa yang dikatakan Bi Irah memang benar. Jangan sampai Andre ikutan sakit. Siapa nanti yang akan mengurus segala keperluan Bundanya?
"Bibi mau dibelikan apa? Bibi belum makan juga kan?" tanya Andre kemudian. Bi Irah tersenyum hingga kerutan di pipinya semakin terlihat jelas.
"Bibi sudah makan. Jangan belikan Bibi apapun Mas. Orang seumur Bibi sebaiknya menghindari makan di jam yang terlalu malam. Metabolismenya sudah lambat kata orang-orang," jawab Bi Irah sedikit bergurau. Andre sekilas ikut tersenyum.
"Baiklah Bi. Kalau Bunda bangun dan butuh apapun, Bibi bisa menelponku. Aku cari makan di sekitar sini saja," ucap Andre. Bi Irah mengangguk setuju.
Andre pun meninggalkan kamar perawatan Nurma. Dia memilih menggunakan tangga untuk turun ke lantai satu. Meskipun tersedia lift yang bisa digunakan, tetapi Andre memilih untuk sedikit menggerakkan kakinya.
Sembari melangkah, otak Andre menerawang jauh ke masa lalu. Tidak banyak kenangan bahagia bersama Sang Bunda. Dulu dia sempat berharap Nurma dapat kembali sehat raga dan jiwanya. Namun harapan itu pupus seiring berjalannya waktu. Andre menyadari pengkhianatan Sang Bapak telah merenggut kehidupan Nurma. Cintanya sudah habis di dunia, bahkan Andre buah hatinya sendiripun tak mampu menjadi pengobat luka lara di hati Nurma.
Sampai di anak tangga terakhir lantai satu Andre sedikit sempoyongan. Dia nyaris kehilangan keseimbangan. Andre berpegangan pada besi stainless yang terpasang sepanjang tangga. Setiap kali mengingat masa lalu, hati Andre merasakan perih. Energinya seolah habis untuk meratap dalam kesedihan.
Andre memilih warung makan padang yang paling dekat dengan rumah sakit. Saat memilih tempat untuk duduk, pandangannya tertuju pada seorang laki-laki di bagian sudut yang sedang menghisap sebatang rokok. Andre mendekatinya.
"Aku tahu saat dirimu merokok, dunia sedang tidak baik-baik saja," ujar Andre. Laki-laki di hadapannya tampak terkejut.
"Ndre, bagaimana bisa kamu ada disini?" tanya laki-laki yang sedang merokok. Tidak lain adalah Tabah.
"Bunda masuk rumah sakit. Kamu sendiri sedang apa disini Pak Dhe? Lagipula kamu merokok?" Andre duduk di samping Tabah.
"Pantas saja kutelpon tidak kamu angkat," sela Tabah.
"Anakku masuk rumah sakit." Tabah menghela napas. Aroma tembakau menyeruak dari bibirnya.
Andre sangat hafal dengan Tabah. Seniornya itu bukanlah perokok aktif. Namun saat pikirannya buntu atau saat banyak masalah yang dia pikirkan, Tabah selalu merokok. Memilih rokok kretek harga murah yang ada di warung-warung.
"Siska sakit apa?" tanya Andre kemudian. Dia belum memesan makanan akhirnya. Dilihatnya piring makanan di hadapan Tabah hanya berkurang sekitar tiga sendok. Tabah memesan makanan tetapi selera makannya lenyap.
"Aku tidak tahu anakku sakit apa Ndre. Pokoknya badannya panas," keluh Tabah. Raut wajahnya terlihat nyaris menangis.
"Tenanglah Pak Dhe. Aku memang belum punya anak. Tetapi bukankah wajar anak sakit demam? Bukankah itu hal biasa? Kamu terlihat sangat frustasi saat ini," sergah Andre.
"Tutup mulutmu Ndre. Kamu nggak ngerti!" Tabah tiba-tiba saja membentak. Andre terkejut dan berusaha menenangkan.
"Kumohon tenanglah Pak Dhe. Ini tempat umum. Kamu tadi menghubungiku. Adakah yang bisa ku bantu?" Andre berusaha mendinginkan kepala Tabah. Semua perhatian pengunjung warung makan mengarah pada dua petugas kepolisian itu.
"Kamu ingat cerita tentang anak Totok yang meninggal?" tanya Tabah. Kini suaranya terdengar seperti berbisik. Raut wajah Tabah tampak tegang. Andre diam menyimak.
"Anak Totok meninggal setelah sebelumnya memiliki luka di pahanya. Dan anakku hari ini, tiba-tiba saja memiliki luka di paha. Entah, luka darimana. Dia tidak ingat," jelas Tabah.
Andre masih tetap diam mengamati. Dia sadar, Tabah benar-benar sedang terguncang. Masukan ataupun saran belum tentu bisa diterima. Hal yang paling tepat bagi Andre sekarang adalah mendengarkan.
"Mungkin kalau hanya soal luka bisa saja sebuah kebetulan. Tapi masalahnya Ndre, setelah pulang dari villa aku diikuti oleh sosok perempuan," lanjut Tabah.
"Perempuan? Seperti apa Pak Dhe?" tanya Andre penasaran.
"Aku sedari kemarin memilih untuk tidak membicarakannya. Tapi kurasa semua ini berhubungan. Perempuan itu memakai kebaya putih. Aku tidak melihat rupa wajahnya. Bahkan perempuan itu jugalah yang membuatku kecelakaan pagi tadi. Aku yakin sosok itu memang membuntuti ku. Kurasa jika aku saja yang celaka tidak jadi masalah. Tapi sekarang Siska Ndre, anakku. Bocah itu tertawa sendirian di ruang televisi. Bahkan tiba-tiba berani membentakku. Dan aku dapat melihat sorot mata yang berbeda. Seolah dalam tubuh Siska, bukanlah jiwa dari putri kecilku." Tabah memegangi kepalanya. Dia ketakutan.
Andre menghela napas panjang. Dia baru tahu jika ternyata Tabah menyimpan sebuah ketakutan dari kemarin. Andre mengambil handphone di sakunya. Di layar terlihat terdapat banyak panggilan tidak terjawab dari nomor Tabah.
"Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantumu Pak Dhe," ucap Andre sambil membuka galeri foto di handphone.
"Dia adalah sahabat almarhum kakekku. Usianya sudah sangat tua. Tapi kurasa, untuk hal-hal seperti ini, tidak ada yang lebih baik darinya di wilayah ini," lanjut Andre menunjukkan poto laki-laki tua yang mengenakan ikat kepala.
"Dukun?" tanya Tabah memastikan. Andre mengangguk meyakinkan.
"Dia tinggal di ujung selatan kabupaten ini. Rumahnya di atas bukit, di tengah hutan pinus. Aku akan mengirimkan alamat lengkapnya padamu nanti. Kapan kamu mau kesana Pak Dhe?"
"Secepatnya. Mungkin besok pagi. Aku akan minta ijin tidak masuk kantor," jawab Tabah cepat. Putung rokoknya sudah dibuang di asbak. Sepertinya setelah bercerita pada Andre, beban di pundaknya sudah berkurang.
"Maaf, kalau besok aku tidak bisa ikut serta. Bawalah kembang telon atau bunga tiga warna, kemenyan merk tatah, dan rokok xxx biru. Itu prasyaratnya. Untuk ongkos, terserah kamu Pak Dhe. Orang ini tidak mematok harga," pungkas Andre. Tabah mengangguk mengerti.