Ini novel klasik, ya ...
"Puncak ilmu pedang tertinggi itu bukan terletak ketika kau bisa membelah rambut menjadi tujuh bagian tanpa banyak bergerak. Melainkan terletak saat kau bisa menyatu bersama dengan pedang itu sendiri. Pedang adalah aku, dan aku adalah pedang,"
###
Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang pemuda yang merupakan anak dari pendekar tersohor dalam dunia persilatan.
Pemuda yang dimaksud itu bernama Zhang Fei. Ia adalah anak tunggal dari Zhang Xin. Dalam dunia persilatan, ia mempunyai julukan si Pedang Kilat. Alasan kenapa Zhang Xin diberi julukan seperti itu, tak lain adalah karena ilmu pedangnya sudah mencapai tahap yang sangat tinggi.
Menurut kabar yang tersiar, kalau pedangnya sudah bergerak, maka kecepatannya bisa lebih cepat daripada sambaran kilat.
Sayang sekali, si Pedang Kilat bersama isterinya harus tewas dalam sebuah pertarungan sengit yang melibatkan banyak tokoh-tokoh besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nnot Senssei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saudara Kembar yang Mencari Mati
Di tengah malam yang sepi sunyi itu, puluhan nyawa manusia sudah melayang di tangan orang tua bernama Pek Ma. Waktu yang dibutuhkan untuk membunuh dua puluh anggota Partai Panji Hitam tidaklah lama.
Kalau dihitung secara pasti, mungkin ia hanya membutuhkan sekitar lima belas menit untuk melakukan hal tersebut.
Entah sejak kapan, kotak kayu yang sebelumnya dipegang di sebelah tangan, sekarang pun sudah berada di belakang. Kedua sisi kotak kayu diikat oleh kain. Sehingga ia hanya tinggal membawanya saja. Seolah-olah kotak kayu itu merupakan sebatang pedang.
Puluhan mayat manusia sudah terkapar di atas tanah. Bercampur dengan abu gosong dan puing-puing bangunan yang telah menyatu dengan tanah.
Di antara mereka tidak ada yang mengeluarkan darah. Kecuali hanya sedikit.
Hal itu terjadi karena si Telapak Tangan Kematian sudah melepaskan jurusnya untuk membunuh orang-orang tersebut.
Jangan lupa, ia sudah hampir sempurna menguasai jurus Sembilan Telapak Sesat.
Di dunia persilatan dewasa ini, manusia mana yang tidak mengenalnya? Tokoh rimba hijau yang mana pula, yang tidak mengetahui kehebatan jurus hasil ciptaannya itu?
Lima tokoh sesat yang sudah berada di bawah kendali Partai Panji Hitam masih berdiri mematung. Mereka seakan tidak percaya melihat apa yang telah disaksikannya barusan.
Orang-orang itu tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menguatkan tekad.
"Siapa lagi yang ingin mencoba jurusku?"
Si Telapak Tangan Kematian bertanya sambil memandangi mereka dengan tatapan mata tajam.
Ia sudah nekad, kalau kelimanya ingin bertindak, maka dia akan membunuhnya tanpa ampun.
Sementara itu, ditanya demikian, kelima orang itu tentu saja menjadi bingung setengah mati.
Di hadapannya, Tiga Setan Kanglam pun tidak dapat berbuat banyak. Mereka tahu sampai di mana kehebatan si Telapak Tangan Kematian.
Karenanya, kalau tidak terpaksa, orang-orang itu tentu tidak mau mencari masalah.
"Tuan Pek, bolehkah aku bertanya?" tanya Biksu Seribu Tasbih memecahkan keheningan.
"Apa pertanyaanmu?"
"Kenapa kau tidak mau memberikan kotak kayu itu? Dengan kemampuanmu yang sudah setinggi ini, aku rasa kau tidak butuh lagi senjata atau kitab pusaka apapun juga,"
Sebagai orang yang hampir satu angkatan, Biksu Seribu Tasbih tentu saja tahu sampai di mana tingginya ilmu si Telapak Tangan Kematian.
Apalagi dia juga merupakan orang persilatan yang berada di jalan sama. Tentunya, ia sangat mengenal betul orang tua satu ini.
Kalau mau, hanya dengan kedua telapak tangannya saja, si Telapak Tangan Kematian bisa melakukan sesuatu yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang lain.
Hanya mengandalkan jurus Sembilan Telapak Sesat saja, rasanya ia bisa dengan mudah membunuh banyak tokoh-tokoh persilatan.
Biksu Seribu Tasbih tahu betul akan hal itu. Tapi, kenapa orang tua itu masih membutuhkan kotak kayu tersebut?
Ia jelas merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh si Telapak Tangan Kematian. Maka dari itu dirinya memutuskan untuk bertanya.
"Hemm, sebelum menjawab, aku juga ingin bertanya kepadamu," kata orang tua itu.
"Apa itu?"
"Kalian pun mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Tapi kenapa masih ingin merebut kotak kayu ini dariku?"
"Asal Tuan Pek tahu saja," kata Tombak Setan mendahului. "Walaupun kami berusaha merebut kotak kayu itu darimu, tapi sebenarnya benda itu bukan untuk kami. Kami sama sekali tidak membutuhkannya,"
"Apakah kotak kayu ini akan diserahkan kepada seseorang?" tanyanya memastikan sambil tersenyum sinis.
"Ehmm, bisa dibilang begitu," jawabnya seraya menganggukkan kepala.
Orang tua itu sudah tahu bahwa lima tokoh sesat di hadapannya sekarang, sebenarnya mereka sudah berada di bawah kendali Partai Panji Hitam.
Tapi karena tidak ingin banyak bicara, maka dirinya memutuskan untuk bersikap tidak tahu apa-apa.
"Jika begitu, maka aku pun sama seperti kalian. Aku membawa kotak kayu ini, sebenarnya bukan untukku. Aku akan menyerahkannya kepada seseorang,"
Ia berkata dengan tegas. Sehingga setiap orang yang mendengar ucapannya, mau tak mau harus percaya.
"Jadi, kau pun berada di bawah kendali seseorang?" tanya Pengemis Gila ikut nimbrung.
"Tidak," jawab Pek Ma sambil menggelengkan kepala.
"Apakah seseorang sudah memerintahkanmu?"
"Juga tidak,"
"Lalu?"
"Ini semua adalah kemauanku sendiri. Dan aku akan memberikan kotak kayu ini kepada dia yang lebih hak,"
"Dia yang lebih hak? Apakah kau bisa memberitahukannya lebih jelas?" tanya Biksu Seribu Tasbih kembali.
"Aku tidak bisa menjelaskannya. Lebih daripada itu, aku pun tidak bisa bicara lebih jauh bersama kalian. Sekarang aku harus pergi, tolong beri jalan,"
Selesai bicara, si Telapak Tangan Kematian segera melangkahkan kakinya ke depan. Dia tidak memperdulikan lagi lima orang yang berdiri di depannya.
Ia berjalan seolah-olah bahwa di tempat itu hanya ada dirinya seorang. Seakan-akan di sana tidak ada orang lain lagi.
Melihat keputusan yang sudah tidak bisa diganggu gugat, Tiga Setan Kanglam pun mau tidak mau harus menyingkir dan memberikan jalan untuknya.
Mereka sudah tahu bahwa kalau dirinya membantah, bukan hal mustahil jika si Telapak Tangan Kematian akan membuat mencabut nyawanya dengan paksa.
Orang tua itu akhirnya sudah berada dalam jarak yang cukup jauh. Sampai sekarang, tidak ada orang yang berani menghadang langkah kakinya.
Siapa sangka, saat jarak yang terpaut mencapai sekitar lima belas langkah, mendadak dua bayangan manusia melesat secepat kilat.
Pendekar Permata Kembar sudah bertindak! Mereka langsung melancarkan jurus golok yang tiada duanya itu.
Bayangan golok meliputi langit yang gelap. Cahaya keperakan merona di bawah terang bulan.
Serangannya cepat dan telengas. Dengan gerakan yang sangat mendadak, dengan jarak yang begitu dekat, rasanya di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu menyelamatkan dirinya.
Jangankan begitu, menghindar dari serangan pun rasanya tidak mungkin.
Sayang sekali, si Telapak Tangan Kematian merupakan pengecualian.
Sebelum dua batang golok mengurung dirinya lebih jauh, tiba-tiba ia membalik badan dan langsung mengeluarkan salah satu jurus andalannya.
Blamm!!
Suara yang keras dan berat terdengar. Gelombang kejut menyebabkan debu mengepul tinggi.
Dua batang golok langsung patah dan terpental jauh. Sedangkan dua pemiliknya terlempar ke tempat semula.
Mereka langsung ambruk ke tanah dengan kondisi mengenaskan. Pakaian di bagian dada robek. Di sana juga ada bekas telapak tangan.
Bekas itu bisa dilihat jelas.
Lebih daripada hal tersebut, dua orang yang berjuluk Pendekar Permata Kembar itu, saat ini sudah berada dalam keadaan tidak bernyawa.
Mereka telah tewas! Tewas hanya dengan satu serangan saja!
Setelah berhasil membunuh keduanya, si Telapak Tangan Kematian segera melanjutkan kembali langkah kakinya. Jangankan perduli, bahkan menengok ke belakang pun tidak.
"Dia benar-benar iblis," gumam Tombak Setan perlahan.
"Malang sekali nasib dua saudara kembar itu," timpal Pengemis Gila.
"Keduanya tewas karena tingkah laku sendiri. Padahal mereka sendiri sudah tahu siapa orang tua itu. Siapa sangka, ternyata Pendekar Pertama Kembar memang bodoh," sahut Biksu Seribu Tasbih.
Ketiga orang tersebut kemudian segera menghilang dibalik gelapnya malam. Tepat setelah bayangan tubuh Pek Ma tidak nampak lagi.
tidak asik...
sebut saja netral gitu thor
wkwkwk
ceritanya gak menarik lagi
klo sama pendekar yg baru turun gunung aja udah keok, pantasnya hanya berpangkat komandan