"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. Dua Kursi Kosong
'Kamu bisa turun ke bawah, kan? Atau aku yang naik?'
Degh!!!!
Galih serta merta di serang panik!
'Ya, aku saja yang turun!' Sahut Galih dengan tegang sembari meraih celananya dari lantai dengan gerakan tergesa, mengenakannya dengan secepat kilat sementara ponselnya masih melekat di telinga di sangga oleh bahunya.
"Sayang..." Ratna melotot padanya dengan alis yang naik tinggi, penuh tanya.
"Sttt...!" Galih meletakkan telunjuknya di bibirnya.
'Ada apa, sayang? jika kamu sibuk aku bisa saja naik sebentar menemuimu lalu pergi sendiri..."
"Tidak perlu eh malsudkuTidak usah naik, aku bisa turun! meetingnya sudah selesai--" Seru Galih dengan panik. Dia mengancingkan kemejanya dengan terburu tanpa memperdulikan Ratna yang melompat dari atas tempat tidur berusaha menahannya.
"Ada apa? what's wrong?"
Galih tak menjawab pertanyaan Ratna lalu menyambar tas kantor yang biasa di jinjingnya.
"Dia di bawah, aku harus pergi!" Galih memberi kode dengan mulutnya sebelum kemudian seperti orang kesetanan membuka pintu dan memburu lift yang nyaris tertutup, di bawah tatapan heran seorang lelaki dan perempuan setengah baya yang juga akan turun.
Begitu sampai di lantai dasar, Galih berlari menuju parkir dan mendapati Anin sedang berdiri membelakanginya dengan payung hitamnya. Gerimis menguarkan hawa dingin tetapi peluh Galih sebesar biji jagung nafasnya tersengal.
"Haiii..." Anim berbalik dengan senyumnya yang maha manis, rambutnya di gelung tinggi, anak-anak rambutnya beterbangan di dahi dan leher jenjangnya. dress floral yang di gunakannya berwarna cream cerah dengan bunga-bunga kecil berwarna merah cherry. Sungguh kontras dengan cuaca yang kurang bersahabat sore ini.
"Kenapa kamu begitu terburu-buru? seperti di kejar hantu?" Alis Anin yang rapih mengernyit.
"Aku...aku takut kamu kelamaan menunggu." Jawab Galih dengan salah tingkah sambil mengatur nafasnya yang masih memburu.
"Oh, ya? Tidak harus berlari juga. Aku tak kemana-mana." Anin tersenyum melihat ke arah suaminya yang ngos-ngosan, wajahnya seperti kepiting rebus, merah merona seperti baru saja menyelesaikan marathon.
"Pakaianmu sangat acak-acakkan, meeting kali ini pasti membuatmu sangat stres, sampai-sampai..." Anin menyapu pandangannya ke sekujur tubuh Galih.
"Sampai-sampai apa?" Sambut Galih berusaha bersikap senormal mungkin, meski dadanya masih bergemuruh tak karuan.
"Sampai-sampa kancing kemejamu salah lobang, bajumu itu ujung nya tak sama rata dan..." Mata Anin tertumbuk pada bagian bawah perut Galih.
"Dan resleting celanamu lupa kamu tutup dengan benar." Lanjut Anin, masih dalam nada santai, nyaris tak berubah ekspresi.
"Astaga!" Galih melepaskan tas di tangannya, bahkan ponsel yang di genggamnya nyaris jatuh. Dengan buru-buru berbalik dan merapikan pakaiannya seperti orang yang baru kepergok sesuatu.
"Aku...aku hanya dari toilet dan aku lupa." Galih beralasan, suaranya tergagap berusaha menjelaskan.
"Tak perlu menjelaskan apapun, aku tahu kamu tak berbohong." Sahutan Anin seperti sebuah nada sindiran, begitu datar tak terobsesi sama sekali dengan apa yang terjadi pada Galih.
"Hari hampir hujan, sebaiknya kita bergegas..." Anin berucap lagi sambil menunjuk sebuah toko bakery di seberang jalan raya.
Galih segera membuka pintu mobil dan mempersilahkan istrinya itu masuk.
"Sebentar..." mata Anin tertumbuk pada mobil merah milik Ratna.
"Sepertinya Ratna juga di area ini. Apakah kamu melihatnya?"
"Tidak! Tentu saja tidak!" Jawab Galih dengan gugup tanpa sadar dalam volume yang tinggi.
"Oh, ku kira kamu bertemu dengannya. Tak perlu berteriak begitu menjawabnya, aku hanya bertanya. Kalau memang dia juga ada urusan di sini, apa salahnya? kita bisa ngopi sebentar bersama atau---"
"Tidak usah, sayang. Ke toko bakery itu lebih penting." Galih meraih lengan Anin, setengah menyeret istrinya itu masuk ke dalam mobil. Anin tak lagi berkata apa-apa, hanya sesungging senyum tipis mengiringi tingkah suaminya yang terlihat tegang bukan main.
Dari sebuah jendela, terlihat Ratna menatap ke bawah dengan raut kesal dan cemburu. Dia merapikan sendiri bajunya yang amburadul dengan kesal.
Istri sah selalu menang dan di utamakan, bahkan dia barusan di tinggalkan seperti seonggok sampah di atas pembaringan. Rasanya bukan main menusuk ke hati Ratna. Tapi, apa dayanya, mencintai suami orang bukankah kah begitu resikonya? Sekedar persinggahan adalah salah satu hal yang tak bisa di pungkiri, seperti halte bis, tempat orang datang dan pergi.
Melihat Galih menggandeng Anin masuk ke mobil, perasaan Ratna seperti di cubit. Dia menghentakkan kakinya dengan kesal lalu berjalan menjauhi jendela kaca apartemen itu.
...***...
Malam itu, Anin ternyata telah menyewa sebuah ruangan privat pada sebuah restoran, di mana sebuah meja makan besar tersedia.
Perayaan Aniversarry itu memang sepertinya di rencanakan begitu matang oleh Anin.
Orangtua Galih tiba lebih dulu, di antar oleh Reno, sopir Galih. Anin sendiri telah tiba lebih awal, Gita tak nampak di sana, puteri semata wayangnya itu di titipkannya ke rumah om Haryo, ayah angkatnya. Dia tak mengatakan ada acara apa pada ayah angkatnya itu, hanya menghadiri sebuah makan malam bersama suami, belum waktunya om Haryo tahu kalau rumah tangganya di ujung karam.
Galih menatap kagum pada penampilan Anin malam ini, istrinya itu terlihat berbeda dari biasa
Last but not least! Tubuh istrinya itu yang ternyata baru di sadari oleh Galih lebih kurus dari yang di ingatnya terakhir terbungkus dress hitam klasik tanpa motif. Warna kelam tetapi netral itu memberi kesan Klasik serta minimalis pada penampilan Anin.
Sebuah kalung gold membuatnya terlihat lebih fancy, kalung itu seingat Galih adalah hadiah pernikahan mereka dari Galih sendiri.
Dan high heels warna senada serta clutch untuk kesan yang lebih feminin dan formal, menyempurnakan tampilan Anin.
Sesaat Galih tak bisa mengalihkan pandangannya dari istrinya itu.
Anin tampil simple, sederhana tetapi mewah dalam waktu yang bersamaan!
"Pemborosan! Ini berlebihan, buang-buang uang suamimu saja! Bisa saja kamu masak di rumah, tidak perlu mahal-mahal makan malam mewah begini di restoran hanya untuk merayakan ulang tahun pernikahan!" Masih saja ibunda Galih ini mengomel panjang pendek.
"Ibu, ini bukan sekedar pesta perayaan pernikahan untuk aku dan mas Galih." Anin menyunggingkan sebuah senyum.
"Lalu apa?" Cecar mertuanya itu sembari duduk di atas kursi yang di tarik oleh seorang pelayan dengan seragam hitam putih.
"Hari ini adalah ulang tahun ibu juga, kan? aku ingin memberikan ibu hadiah yang tak terlupakan untuk ibu." Ucap Anin dengan santai tetapi misterius sambil menunjuk sebuah kue ulang tahun besar di tengah meja yang bertulis 'happy birthday ibu mertua ke 59'.
Wajah mertuanya yang semula kesal itu seketika memerah.
Saat semua sudah duduk, ayah dan ibu Galih, tentu saja Anin dan Galih, masih ada dua kursi kosong di sana.
"Ini kursi untuk siapa?" Tanya Galih menunjuk sebuah kursi di seberang meja yang masih kosong itu.
"Untuk dua orang tamu penting." jawab Anin pendek, sudut bibirnya membentuk senyuman, terlihat sekelebat pilu tetapi hatinya telah sedingin es.
Masi ngelak aja ya. . emosi gw bacanya...