“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 07
“Aku seperti ini juga karena mu, Mbak. Mbak selalu menyuruh belajar, belajar, dan belajar! Selalu itu yang dibahas. Tidak sekalipun memberikan perhatian lebih! Aku capek, muak dengan kehidupanku yang monoton,” adu Nirma pilu.
“Mbak tidak tahu bagaimana sulitnya hari-hari ku di ibu kota. Harus ekstra hemat, untuk sekedar membeli sepotong baju baru pun nggak mampu. Sedangkan teman-temanku yang lainnya selalu mengenakan busana berbeda-beda. Pakaianku paling ketinggalan zaman, Mbak!” Nirma menumpahkan isi hatinya, ia merasa hidupnya terlalu miskin.
Amala terkekeh, suara tawanya terdengar sumbang sarat kekecewaan. Gadis berhijab abu-abu panjang itu lantas masuk ke dalam kamarnya, kemudian keluar membawa setumpuk pakaian, menjatuhkan kain yang tak seberapa jumlahnya ke atas meja. Dia membentangkan satu persatu baju panjang yang terdapat beberapa tambalan di sana sini.
“Kau lihat! Inilah pakaian yang aku kenakan selama kau berkuliah di kota! Bukan cuma aku, ibu juga mengenakan baju banyak tambalan. Dan kau tengok dinding tembok rumah ini! Penuh keropos dimakan rayap. Kursi yang kau duduki sekarang pun, sudah hampir roboh dimakan Semut putih!” pekik Amala menggebu-gebu.
“Dongak kan lah kepalamu! Agar kau bisa melihat atap daun rumbia itu tidak lagi rapat menutupi bangunan tua rumah peninggalan Bapak. Bahkan sebelum di lapisi dengan plastik, kami kalang kabut menadah air hujan akibat atap yang bocor. Jadi, masihkah kau mau menyalahkan kami demi menutupi kelakuan tak bermoral mu, Nirma?!”
Lidah Nirma kelu, tenggorokannya tercekat, dia tak mampu berucap. Ternyata dirinya kurang bersyukur selama ini, disini keluarganya hidup serba kekurangan. Tapi, mereka tidak pernah memberitahunya sama sekali.
Melihat Nirma yang tidak bisa menyanggah apalagi membalas perkataannya, Amala kembali mencecar sang adik.
“Kau bilang aku tidak perhatian, hanya tahu menyuruhmu belajar dan belajar. Tahukah kau? Kalau posisimu itu pernah aku idam-idamkan. Aku berdoa siang malam meminta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Namun, semesta tak merestui. Doaku gagal menembus langit. Apa kau kira aku marah, menangis, protes apalagi sampai menyalahkan Mamak?” netranya menatap nyalang wajah sang adik yang senantiasa menunduk.
“Tidak Nirma! Sedikitpun tak pernah ku sesali nasib ini, nggak juga menyalahkan takdir. Aku berlapang dada menerima kenyataan tanpa membenci keadaan. Karena memang inilah jalan hidupku. Aku ikhlas hanya lulusan SD, dengan begitu memiliki kesempatan untuk membiayai sekolahmu. Mewujudkan keinginan Bapak yang ingin melihat putrinya berpendidikan tinggi. Tak mengapa aku gagal, asal kau jangan! Semaksimal mungkin aku berjuang, bekerja tak kenal waktu demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar kau tak putus sekolah. Namun ….”
Amala menghela napas panjang, dia tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Suaranya bergetar, buliran bening jatuh membasahi telapak tangannya.
“Aku nggak pernah memintamu untuk balas budi. Keinginan terbesarku hanya ingin melihatmu mengenakan pakaian wisuda lengkap dengan topi toga, tetapi hal sederhana itu saja kau tak mampu mewujudkannya. Sampai hati kau renggut harapan Mamak yang ingin menyaksikan dan mendampingi putrinya di acara kelulusannya. Aku sampai kehabisan kata, Nirma. Tak tahu lagi hendak berucap apa.”
Amala menjatuhkan diri duduk di sandaran kursi ibunya. Dia benar-benar terlihat putus asa. Tak habis pikir dengan cara berpikir adiknya yang lebih memilih keluarga Yasir untuk menemaninya wisuda.
Hanya ada keheningan serta suara tangisan lirih Mak Syam dan juga Nirma.
Amala menghapus kasar buliran air mata yang lancang keluar tanpa permisi. Matanya memerah, wajahnya sembab. Hatinya terasa kebas akibat rasa sakit yang terlampau perih.
Sedangkan Yasir yang tadi terlihat garang serta menggebu-gebu menyerang Amala, sekarang tidak lagi bersuara. Baru pertama kali ini dirinya melihat Amala emosi, menangis dan terlihat putus asa.
Mak Syam sudah tidak mampu berkata-kata, hanya air mata yang menunjukkan bagaimana terpukulnya ia. Ini pertama kalinya dia melihat putri sulungnya meluapkan perasaannya. Amala bukanlah gadis yang terbiasa menunjukkan perasaannya, dia lebih suka menjadi pendengar serta pengamat.
Rinai hujan masih membasahi bumi, suara tetesan air terdengar keras pada plastik atap rumah yang tak tertutup daun rumbia.
“Semuanya telah terjadi, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Maka, tidak lagi dapat kembali ke bentuk semula. Aku tahu kau kecewa, Amala. Namun, darah tetaplah lebih kental daripada air. Kendatipun Nirma yang salah, dia tetaplah adik mu. Tolong jangan musuhi istriku! Sejatinya dia sosok yang baik, penurut. Kau sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan di kota, disana sangatlah keras. Adikmu tidak bisa menanggungnya sendirian, karena itulah kami menjadi dekat,” setelah lama terdiam, Yasir mencoba menjelaskan.
Amala mendengus, dia tersenyum miring mendengar kata-kata mantan tunangannya yang tidak tahu malu. Seakan apa yang sudah terjadi hanyalah hal sepele.
"Sebab itulah kalian menjadi nyaman satu sama lainnya, nyaman pula bercinta sampai menghasilkan benih tidak halal,” cibir Amala.
“Kau tidak berhak mengecam anak kami, Amala. Dia tidak salah!” tampik Yasir, dia mulai tersulut emosi lagi.
“Dia memang tidak salah. Yang salah itu kalian! Akibat nafsu layaknya binatang, bukan cuma kami yang akan mendapatkan malu dicibir sana sini. Tapi, anakmu kelak akan kena getahnya juga. Pasti ada saja mulut-mulut tak bertanggung jawab yang akan menghujat keturunan kalian,” cemooh Amala.
“Biarkan itu menjadi urusan kami!” kilah Yasir.
“Ayo Dek, kita pulang! Keluarga mu sungguh keras kepala. Tak mengapa mereka enggan menerima mu, masih ada Mas dan keluarga besar yang menyayangimu dengan tulus.” Yasir menarik lengan Nirma.
Namun, celetukan Amala menghentikan langkah mereka yang hampir mencapai ambang pintu.
“Tulus? Omong kosong! Seandainya saja Nirma tidak berpendidikan tinggi. Sudah pasti kau, apalagi ibumu itu langsung mendepaknya. Dan kau Nirma, aku katakan dengan jelas … mulai detik ini, kau buka lagi tanggung jawabku. Kedepannya bila ada apa-apa, jangan pernah mengeluh apalagi meminta bantuan ke sini. Kami lepas tanggung jawab. Jadi, masalahmu bukan lagi menjadi urusan kami!” tegas Amala, dia tetap bergeming duduk di samping ibunya.
Yasir memeluk pundak Nirma, agar istrinya tidak memalingkan wajah ke belakang. Mereka keluar dari gubuk Mak Syam, masuk ke dalam mobil minibus. Kemudian berlalu dari sana.
Sepeninggalan Yasir dan Nirma, rumah Mak Syam kembali sunyi. Amala berulangkali menarik napas panjang, netranya menatap sayu foto hitam putih almarhum bapaknya.
‘Nur … gagal menjadi seorang Kakak, Pak. Tolong maafkan Nur yang tidak becus ini,’ batinnya menangis pilu.
‘Nur, kau putri kebanggaan keluarga Abidin. Semenjak ibumu mengandung mu, kehidupan kami selalu bersinar. Rezeki datang dari arah mana saja, sampai kita mampu membeli kebun karet. Maka dari itu Bapak memberimu nama ‘Nur Amala’ yang artinya Cahaya - anak perempuan dicintai.’
Obrolan hangat antara dirinya dan bapaknya kembali terngiang. Dia sangat merindukan sosok bapaknya yang selalu memanggilnya Nur.
“Nak ….” Mak Syam mendekap erat punggung Amala.
“Mak, Mala tidak apa-apa. Sudah ya jangan menangis lagi! Mala mau kebelakang dulu, buat teh hangat untuk kita.” Mala melerai pelukan mereka, dia mencium lembut pucuk kepala sang ibu yang tertutup songkok hitam. Lalu berjalan ke belakang menuju dapur.
Amala menuang air panas dari termos plastik ke dalam gelas. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara dentuman lumayan kuat.
Bugh.
“Mamak?!”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu