Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan lelaki lemah
Dengan sangat hati-hati Amara memotong kuku di jari Dimas satu persatu. Dimas yang saat itu sedang dalam kondisi stabil tampak pasif tenang. Ia hanya diam dan pasrah membiarkan Amara melakukan tugasnya.
Namun lelaki itu tak mau menyahut saat Amara mengajaknya berkomunikasi. Pandangannya kosong menatap jauh ke depan sana. Bahkan saat Amara mencoba mencubit pun lelaki itu tetap tak bergeming.
"Hey Tuan, apa yang kau lihat di sana? Apa di sana ada gadis cantik, sehingga kau terpaku seperti itu?" Amara yang duduk di kursi kecil menatap Dimas dengan kepala miring. Matanya tak berkedip menanti pria itu menjawab. Tapi sepertinya sia-sia, Dimas masih juga tak menghiraukannya.
Huh karena bicara sendiri aku jadi merasa seperti orang gila saja. Apa aku harus gila juga untuk bisa bicara dengan orang gila? Gumam Amara dalam hati.
"Sudah selesai ...!" Amara berucap dengan nada riang, lalu menaruh tangan lemah Dimas ke pangkuan lelaki yang duduk di kursi roda itu.
Amara mengerutkan keningnya selagi menatap Dimas yang tak berkedip. Ia mendesah pelan, lalu bangkit dari duduknya dan melangkah mengitari pria yang berbalut piyama itu sebelum kemudian berhenti tepat di belakangnya.
Amara membungkukkan badan, mencari tahu sebenarnya apa yang sedang diperhatikan Dimas. Ia mengernyit bingung. Sebenarnya tidak ada apa-apa di sana, hanya pepohonan yang daunnya bergoyang oleh terpaan angin sepoi-sepoi sore itu.
Jadi dia sedang melamun? Atau pikirannya sedang melanglang buana entah kemana? Huffth, kalau sudah begini aku harus apa untuk membuat patung es ini bergerak?
"Jadi itu pacar anda?" Akhirnya Amara melancarkan ide gilanya. Mencoba tak ada salahnya bukan? "Cantik sekali, ya. Tapi apa gunanya cantik kalau dia itu berkhianat. Lihat dia Tuan, lihatlah! Dia pergi dengan lelaki lain. Dan anda membiarkannya begitu saja. Ck ck ck," Amara berdecak sambil menggelengkan kepala. "Anda lelaki lemah, Tuan. Sungguh sangat lemah. Seharusnya anda bangkit dan rebut kekasih anda lagi! Bukannya terpuruk seperti ini!" Amara berucap dengan nada memprovokasi, tapi tanpa maksud yang tersirat. Sebab Amara hanya meluapkan kekesalannya sendiri.
Namun tanpa Amara duga, ternyata ucapannya itu bagaikan sugesti yang merasuk ke otak Dimas dan membuat lelaki itu bergeming. Secara spontan ia bereaksi dengan meraih dagu Amara dan mencengkeramnya kasar.
Dimas menatap Amara dengan sorot mata tajam penuh kemarahan. Wajahnya merah padam dengan rahang yang mengeras.
Amara sontak membulatkan matanya lebar-lebar. Ia sangat terkejut dan lebih-lebih lagi merasa takut jika sampai lelaki itu bertindak jauh dengan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Ia memegangi tangan Dimas agar lelaki itu melepas cengkeramannya meski percuma.
"Aku bukan laki-laki lemah! Aku tidak terpuruk! Aku akan merebutnya lagi kedalam pelukanku. Ingat itu!" teriak Dimas tepat di depan wajah Amara sebelum kemudian melepaskannya dengan kasar. Setelah itu ia pun bangkit dan melangkah dengan lemas meninggalkan Amara yang masih tertegun bingung di tempatnya.
Baru setelah tersadar, Amara berlari dengan tergopoh mengikuti Dimas sambil mendorong kursi roda.
"Tuan! Anda masih lemah. Jangan berjalan dulu! Biar saya bantu anda." Amara meraih tangan Dimas untuk menghentikannya.
Bukannya berhenti, Dimas justru menepis tangan Amara dengan keras. "Lepasin gue! Gue bukan laki-laki lemah!" sentaknya dengan keras lalu mendorong tubuh Amara dengan kuat hingga gadis itu terhuyung ke belakang.
Entah apa yang dirasakan Dimas saat itu. Ia tampak membulatkan matanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dua tangannya bergerak bersamaan menyentuh dan memijat kepala dengan kasar. Ia mengerang sambil meringis. Dan tak lama kemudian tumbang dengan badan menindih Amara yang tak kuat menahan tubuhnya.
***
"Tidak perlu cemas Amara, dia tidak yang serius dengan kepalanya. Dia hanya sedang pingsan." Dokter Khanza menjelaskan dengan santai setelah melakukan pemeriksaan pada Dimas.
Amara memang segera melarikan Dimas ke rumah sakit pasca lelaki itu tergeletak pingsan saat memaksa berjalan tadi.
"Dokter Khanza yakin tidak terjadi hal buruk dengan Tuan Dimas?" Amara bertanya dengan nada khawatir. "Saya takut telah terjadi benturan keras di kepalanya saat jatuh pingsan tadi."
"Ini hanya kekhawatiranmu saja Amara. Nyatanya tidak ada yang mengkhawatirkan dari Dimas. Untuk lebih memastikannya lagi, kita lakukan pemeriksaan lebih lengkap setelah Dimas siuman nanti ya," tutur Dokter Khanza lagi untuk menenangkan Amara.
Amara mengangguk pelan. "Baik Dokter."
Dokter Khanza kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Amara mengantarnya sampai di depan pintu, lantas menutupnya kembali hingga rapat.
Kini hanya tersisa dirinya dan Dimas yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ruangan itu. Amara melangkah mendekati ranjang, dan menatap wajah Dimas penuh khawatir.
Memang berat memiliki tanggung jawab. Apalagi orang tua Dimas sudah mengamanatkan Dimas kepada dirinya. Lalu bagaimana jika kesehatan Dimas bukannya malah membaik tapi justru semakin memburuk?
Amara mendesah pelan sembari menekan pangkal hidungnya yang terasa pusing. Pikiran yang campur aduk membuatnya tak bisa tenang. Ia bahkan hanya mondar-mandir sambil berusaha memikirkan jalan keluar.
Disaat Amara sedang termangu bingung, terdengar lenguhan yang muncul dari bibir Dimas. Laki-laki itu mengerjapkan mata setelah siuman dari pingsannya.
Amara yang terkejut segera berlari mendekati ranjang dan berdiri tepat di sisi kepala Dimas. "Tuan Dimas sudah sadar? Apa kepala Tuan terasa pusing? Atau masih sakit? " Amara memberondong Dimas dengan pertanyaan.
Dimas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dengan ekspresi wajah bingung. Ia tahu ini bukan kamarnya. Lantas di mana? pandangannya pun beralih turun menatap punggung tangannya yang terpasang selang infus. Ia mendengkus. Pada akhirnya Dimas menyadari jika Amara telah membawanya ke rumah sakit.
"Ngapain lo bawa gue ke sini!" Dimas bertanya dengan nada tinggi sambil menatap Amara dengan sorot tajam. Tangan kanannya pun bergerak melepaskan selang infus itu dengan paksa. Darah segar mengucur dari sana. Dimas meringis sambil melempar selang infus itu.
Amara membulatkan matanya penuh kepanikan. "Tuan kenapa di lepas!" protesnya heran bercampur kesal. "Jangan gegabah!Anda masih butuh perawatan!"
"Gue nggak sakit! Gue mau balik." Dimaspun beringsut minggir ke tepi rajang, lantas bangkit dan berdiri.
"Tuan jangan memaksa, tubuh anda masih lemah." Amara berusaha membuat Dimas kembali berbaring di ranjang perawatan, namun laki-laki itu menepis tangannya.
"Sudah gue bilang, gue nggak apa-apa! Lo jangan maksa dong!" ucap Dimas setengah membentak. Lantas ia pun mengayunkan kakinya dengan lemah melangkah menuju pintu.
Amara menggeram kesal sembari mengikuti langkah Dimas di belakang. Dan merutuki sikap keras kepala lelaki pesakitan di depannya itu. Namun ia merasa khawatir juga saat berkali-kali Dimas terlihat memijat pelipisnya.
Amara setengah berlari untuk mengimbangi langkah Dimas yang lebar, hingga berada di sisi lelaki itu dan mereka berjalan beriringan. "Tuan, saya dorong pakai kursi roda ya, sepertinya Tuan masih merasa pusing," tawar Amara dengan penuh harap.
Namun bukannya mengiyakan, tatapan Dimas jurus menyalang tajam kearah Amara sebagai jawaban. Hingga membuat bibir Amara terkatup kaku tak berani bicara apa-apa lagi.
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨