Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persada International Hospital
Dua hari kemudian
Selama dua hari belakangan, pasca pertengakaran yang terjadi antara Arumi dan Mahesa di sebuah café, sepasang suami istri itu tidak saling menghubungi satu sama lain. Mahesa lebih memilih tinggal di rumah utama, menghindari pertemuan dengan Arumi. Entah karena ia takut diintrogasi oleh wanita itu hingga tak sengaja membocorkan sebuah kebenaran bahwa pria itu telah berselingkuh dengan Kayla atau memang ia sudah bosan tinggal bersama Arumi. Hanya ia dan Tuhan saja yang tahu. Sementara Arumi tetap tinggal di rumah yang dibeli olehnya bersama Mahesa.
Pagi ini, sinar mentari begitu cerah. Suara kokok ayam saling bersahutan, cicit suara burung yang bertengger di dahan pohon pun ikut meramaikan suasana.
Arumi mengerjapkan mata kala sinar matahari itu menerobos masuk melalui jendela kamar yang tidak tertutup oleh gorden. Tangan wanita itu terangkat ke udara, guna menutupi pantulan sinar yang menerpa wajahnya. Perlahan, ia membuka mata seraya memindai isi ruangan.
"Hufh, lagi dan lagi aku sendirian di kamar ini. Mas Mahes tak kunjung datang ke rumah setelah pertengkaran kami tempo hari," gumam Arumi. Tak ingin larut dalam suasana, ia menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuh.
Kaki jenjang itu membawa sang empunya masuk ke dalam kamar mandi. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu mengguyur seluruh tubuhnya di bawah air shower yang dingin.
Setelah membersihkan diri, ia menuju walk in closet, mencari pakaian yang pas untuk dikenakan. Kebetulan, pukul sepuluh pagi nanti akan ada pertemuan dengan beberapa dokter senior dan juga kepala poli bedah membahas rencana operasi besar yang akan dilakukan pada salah satu investor terbesar Rumah Sakit Persada International Hospital.
Oleh karena itu, Firdaus selaku direktur rumah sakit mengutus beberapa dokter terbaik untuk ikut andil dalam operasi nanti, salah satunya adalah Arumi dan Rayyan.
Arumi melirik sekilas arloji yang melingkar di tangan. "Sebaiknya aku ke bawah untuk sarapan. Setelah itu baru ke rumah sakit. Akan sangat merepotkan jika Dokter Rayyan tahu aku datang terlambat." Ia memasukan ponsel dan tidak lupa buku agenda ke dalam tas.
Kini, wanita itu sudah berada di meja makan. Mbak Tini sedang menata semua hidangan di atas meja.
"Bu Rumi, mau saya buatkan bekal untuk makan siang?" tanya Mbak Tini ketika wanita paruh baya itu meletakkan gelas berisi air putih hangat di hadapan Arumi.
Seulas senyuman terbit di sudut bibir wanita itu. "Boleh, Mbak. Namun, ingat, nasinya sedikit saja." Arumi mencoba mengingatkan asisten rumah tangganya itu untuk mengurangi porsi nasi sebab ia sedang menjalankan program diet untuk mengurangi karbo. Meskipun berat badan Arumi sudah ideal tetapi wanita itu ingin tetap menjaga penampilan agar terlihat seksi di hadapan suami.
Bergegas, Mbak Tini melangkah ke dapur menyiapkan bekal makan siang untuk sang majikan. Ia memilih wadah makan dari bahan plastik yang aman digunakan pada suhu setidaknya tujuh puluh lima derajat celcius.
Tepat pukul setengah delapan waktu setempat, Arumi sudah bersiap untuk berangkat. "Pak Burhan!" seru wanita itu.
Namun, pria yang bekerja sebagai sopir di rumah itu tidak merespon. Ia terlalu sibuk mengelap kaca mobil sambil memanaskan mobil.
"Pak Burhan." Arumi menepuk pundak Burhan dari belakang.
Burhan yang saat itu sedang memanaskan mobil terlonjak. Refleks ia menoleh seraya mengelus dada. Akibat suara deru mesin mobil yang keras menyebabkan suara Arumi tidak terdengar. "Astaga!' pekik pria itu sedikit meninggikan intonasi. Menyadari wanita yang menepuk pundaknya adalah Arumi, ia menurunkan nada bicaranya. "Ada apa, Bu?" tanyanya sopan.
"Hari ini saya ke rumah sakit sendirian. Sebelum pukul dua siang, Bapak tolong jemput Mama Nyimas di rumah ya. Hari ini beliau harus check up. Gunakan saja mobil yang di garasi," seru wanita itu.
Burhan menganggukan kepala sebagai jawaban bahwa ia akan menuruti perintah majikannya itu.
Detik berikutnya Arumi sudah berada di jalanan ibu kota. Pandangannya lurus ke depan sambil sesekali melirik kaca spion ketika hendak menyalip kendaraan di depan.
Tak perlu memakan waktu lama, kendaraan yang ditumpangi oleh Arumi sudah berada di parkiran rumah sakit. Ia memilih parkiran VIP yang disediakan khusus bagi dokter rumah sakit itu. Letaknya berdekatan dengan parkiran VVIP yang dikhususkan bagi para petinggi rumah sakit dan para investor.
Arumi turun dari mobil, bersamaan dengan Rayyan yang baru saja memarkirkan mobil di parkiran VVIP.
Saat wanita itu berjalan, ia tak sengaja berpapasan dengan Rayyan. Pria yang kini menjabat sebagai wakil direktur dan juga kepala poli tempat Arumi bekerja.
"Aduh, apa yang harus aku lakukan?" gumam Arumi. Sebab mereka berjalan dari arah bersampingan. Arumi berada di arah selatan, sementara Rayyan di arah timur. Sehingga mau tidak mau ia harus bertemu dengan pria yang akhir-akhir ini membuatnya kesal.
'Bagaimana kalau dia memalingkan wajah atau malah marah karena kusapa.' Wanita itu tengah berperang dengan dirinya sendiri.
'Terserah dia mau marah padaku atau tidak, yang penting aku sudah menyapa pria itu.' Ia meyakinkan diri untuk tetap menyapa Rayyan.
Makin lama Rayyan semakin mendekat, hingga jarak keduanya saling berdekatan.
"Selamat pagi, Dokter Rayyan," sapa Arumi. Ia masih menghormati pria itu sebagai atasannya. Meskipun tak jarang Rayyan bersikap galak dan selalu mengungkit kejadian beberapa hari lalu.
Rayyan menatap Arumi dengan sorot mata tajam, layaknya seekor binatang buas yang siap membunuh mangsanya.
Melihat ekspresi itu, bulu kudu Arumi meremang. Tak berani terlalu lama menatap bola mata coklat itu, ia menundukan wajah. 'Sial, kenapa pria itu malah menatapku dengan tatapan sinis. Memangnya aku salah apa hingga dia sangat membenciku,' batin Arumi.
Ucapan Arumi barusan hanya dianggap angin di musim gugur. Rayyan lebih memilih berjalan masuk ke dalam lobi rumah sakit.
Setelah memastikan Rayyan benar-benar masuk ke dalam lobi, Arumi bisa bernapas lega karena bisa terhindar dari atasan yang super galak, tegas dan berhati dingin.
"Untung saja dia sudah pergi. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi padaku. Bisa saja detik ini juga aku dijadikan daging panggang olehnya."
Ia pun menyingkap lengan blouse yang menutupi tubuh sintal Arumi. "Ya Tuhan, pukul sepuluh kurang lima menit!" pekik wanita itu kala melihat arloji sudah menunjukan pukul delapan lewat lima puluh lima menit. "Pantas saja pria itu berlalu begitu saja. Ternyata ia takut kesiangan."
Wanita itu mengambil jurus seribu yang acap kali digunakan olehnya ketika masa kuliah dulu. Ia akan berlari sekencang mungkin agar tidak terlambat masuk kuliah dan kebiasaan itu digunakan lagi olehnya saat ini.
Untung saja hari ini Arumi menggunakan flat shoes, sehingga bisa berlari kencang tanpa ada rasa takut terkilir, terjatuh atau pun terpeleset akibat high heels yang ia kenakan.
Dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki, ia berhasil masuk ke dalam rumah sakit. Napasnya tersengal-sengal. Berhenti sejenak untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin.
Setelah pasokan oksigen dalam paru-parunya terisi, Arumi melangkahkan kaki jenjang itu ke arah pintu lift. Wanita itu mengantri di depan pintu lift, menunggu hingga pintu besi itu turun ke lantai lobi. Ketika pintu lift terbuka, ia bergegas masuk dan berbaur dengan pengunjung rumah sakit yang lain.
Lift rumah sakit itu terbuat dari bahan transparan, sehingga para pengunjung rumah sakit atau pun tenaga medis bisa mengedarkan pandangan ke arah luar. Merasa bosan karena ia harus menatap kepala orang, Arumi memalingkan wajah dan memandang ke luar lift.
Tiba di lantai tiga, bola mata wanita itu melihat Naila dan Kayla duduk di kursi sedang menunggu antrian di depan poli kandungan.
Deg!
Jantung Arumi tiba-tiba berhenti kala melihat mertua dan sahabatnya berada di depan poli kandungan. Perasaannya semakin tak karuan, melihat sikap Naila yang begitu perhatian bahkan wanita itu rela memijat punggung Kayla.
Ada perasaan iri dan cemburu menyelinap masuk ke dalam relung hati. Bagaimana tidak, selama menjalin kasih dan memutuskan menikah dengan Mahesa, ibu mertuanya itu sedikit pun tidak pernah bersikap manis dan lemah lembut terhadapnya. Jadi tidak heran bila saat ini wanita yang berstatuskan sebagai istri dari pewaris tunggal Adiguna Properti merasa iri dan cemburu pada sahabatnya.
'Kenapa aku merasa sikap Mama Naila begitu perhatian pada Kayla. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Lalu, untuk apa mereka berada di poli kandungan?' Dalam benak Arumi dipenuhi berjuta pertanyaan yang membutuhkan jawaban secepatnya.
Arumi menarik napas dalam. Memejamkan mata sejenak, mengenyahkan pikiran negatif yang tengah menggerogoti kepalanya. "Aku harus menemui mereka secepatnya!"
Bersambung
.
.
.
Jangan lupa biasakan untuk meninggalkan jejak jika sudah selesai membaca. 😊
😢😭