Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Mandi Kebo
“Bukti? Bukti apa? Bukti kalau memang bisa berdiri? Iya?” Alih-alih takut, Aliya justru menantang Bagas bertindak lebih jauh.
Meski dia agak tidak menyangka bahwa Bagaskara akan bertindak semacam ini, tetap saja dia berlagak tenang. Sedikit munafik tidak apa, bohong jika Aliya tidak gugup atau mungkin takut benar-benar Bagas kasih paham sore ini.
Tak ayal, Bagaskara yang sejak tadi tersinggung berat lantaran dianggap tidak normal semakin bulat tekadnya untuk membuat wanita itu menyesal karena telah asal bicara.
Tanpa memberi aba-aba, Bagas menurunkan wajahnya perlahan. Hembusan napas hangatnya menyapu lembut kulit leher Aliya sebelum akhirnya kecupan pertama mendarat di sana. Lembut, tapi cukup untuk membuat Aliya membeku sesaat.
“K-Kak Bagash ....” Suara Aliya tercekat, begitu lirih terdengar.
Namun, laki-laki itu tidak berniat berhenti. Bibirnya kembali menempel, kali ini sedikit lebih dalam, menyusuri sisi leher hingga membuat tubuh Aliya menegang. Tangannya bergerak dengan percaya diri, menjelajahi setiap lekuk tubuh sang istri yang selama ini coba dia kendalikan.
Aliya tak kuasa menahan diri. Sedikit demi sedikit tubuhnya meliuk, mengikuti irama buai sentuhan Bagas. Handuk yang menempel di tubuhnya mulai terasa longgar, nyaris tak berfungsi menutup apapun.
“Masih berani bilang aku tidak normal?” bisik Bagas di telinganya, suaranya berat dan rendah, seolah membakar telinga Aliya.
Aliya menggigit bibir, matanya setengah terpejam. Dia tahu dirinya sudah terjebak dalam permainan yang diciptakan Bagaskara. Munafik kalau dia bilang tidak gugup, tapi ada rasa lain yang menyeruak, antara takut, malu, dan juga penasaran.
“Ahh ....” Suara kecil itu lolos begitu saja, menandakan bahwa tubuhnya mulai terbawa arus.
Tangan Bagas kian nakal. Dari bahu, meluncur turun ke pinggang, lalu menyelinap masuk di balik handuk yang menempel di perut. Aliya sontak meremas seprai, tubuhnya seketika bergetar oleh kejutan sentuhan itu.
Sementara Bagas semakin kehilangan kendali. Hanya dengan melihat istrinya seperti itu, rasa yang selama ini dia tekan akhirnya bangkit.
Dengan jelas dia merasakan tubuhnya merespons, miliknya menegang, berdiri penuh, seakan ingin membuktikan bahwa kata-kata Aliya barusan hanyalah tuduhan konyol.
Tepat saat Bagaskara hendak mendekat lebih jauh, semesta justru tidak mendukung keinginannya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu mendadak terdengar, memecah atmosfer panas yang baru saja tercipta.
Saat itu juga, Aliya sontak membuka mata lebar-lebar. Wajahnya memucat panik, dan dengan gerakan tergesa dia memperbaiki handuk yang sudah hampir jatuh.
“Kak! Ada tamu, coba lihat!” bisiknya cepat, penuh kepanikan.
Tanpa pikir panjang, Aliya bergegas bangkit, turun dari ranjang dengan langkah terburu-buru, lalu berlari menuju kamar mandi.
Handuknya dikencangkan, tubuhnya nyaris gemetar karena campuran antara malu dan takut kalau sampai ada yang masuk.
Sementara itu, Bagaskara terdiam, masih di tepi ranjang dengan napas memburu. Wajahnya panas, keringat dingin membasahi pelipis, dan miliknya jelas-jelas menyembul dari balik handuk yang melilit pinggang.
Sempat terbesit ingin ikut melarikan diri ke kamar mandi juga, akan tetapi, ketukan pintu itu kembali terdengar, kali ini lebih keras.
Tok! Tok! Tok!
Sontak Bagas menggeram, meninju kasur sebagai pelampiasan. “Arggh, sialan!! Kenapa juga harus datang pengacau di saat begini, hah?!”
Dadanya naik-turun, matanya menatap tajam ke arah pintu. Seandainya tidak ada ketukan sialan itu, barangkali sore ini dia sudah menunjukkan dengan sangat jelas pada Aliya bahwa dirinya masih lelaki seutuhnya.
“ADA PERLU APA?!”
.
.
“Heih? Kakak kenapa?”
Setengah berteriak Bagas bertanya, demi Tuhan pria itu sangat muak tatkala menyaksikan biang kerok di balik gagalnya rencana Bagaskara barusan, Rajendra.
Ya, tidak lain dan tidak bukan yang mengusiknya adalah Rajendra. Dengan wajah lesu, Bagaskara melayangkan tatapan sendu ke arah adiknya itu.
Ingin marah, tapi nyatanya tidak bisa hingga dia memilih menahan diri tanpa banyak bicara. Biar Rajendra sendiri yang menyimpulkan bahwa tindakannya salah dan tidak seharusnya.
“Kakak kenapa? Lagi sibuk kah? Aliya mana?” Pertanyaan beruntun itu terlontar dari bibir Rajendra sementara orangnya masih berdiri tepat di hadapan Bagaskara yang hanya memperlihatkan wajahnya.
Sengaja dia bersembunyi di balik daun pintu karena tidak ingin Rajendra jadikan topik pembicaraan di grup keluarga seperti biasa. Akan tetapi, sekalipun sudah berusaha nyatanya Rajendra tetap bisa menerka apa yang dilakukan kakaknya.
“Ah, lagi ngerjain proyek rupanya?”
“Proyek kepalamu!! Mau apa kau datang ke sini, Rajendra?” Bagaskara bertanya dengan nada yang tentu saja tidak bersahabat, murka malah.
Rajendra yang di hadapannya tidak menanggapi hal itu dengan serius. Sama seperti Aliya, dia juga terbiasa menghadapi sikap Bagas yang memang kerap kali tidak tertebak.
“Ah begini ... aku datang bukan tanpa alasan, ada yang ingin aku sampaikan, sini.”
“Dari sini saja, aku masih bisa dengar.”
“Eum?” Rajendra tersenyum tipis, seolah bisa menerka apa yang terjadi pada Bagaskara hingga membuat pria itu enggan keluar. “Aku tebak, pasti Kakak tidak pakai celana.”
“Jangan kurang ajar, Jendra.”
Sontak Rajendra tergelak, sama sekali tidak ada tanda-tanda takutnya pasca membuat kakaknya uring-uringan itu.
Belum sempat Rajendra bicara, Aliya sudah selesai dengan keperluannya di kamar mandi. Hanya, wajahnya masih terlihat seperti tadi siang dan menyaksikan hal itu, Bagaskara sontak kebingungan.
“Nanti saja kalau mau bicara, tunggu di luar.” Bagaskara mengingatkan dan Rajendra juga tidak membantah.
“Hem, aku tunggu di ruang tamu ya.”
Tanpa menjawab, pria itu kembali menghampiri Aliya yang katanya mandi, tapi tidak terlihat mandi.
“Kamu mandi?”
Aliya mengangguk, pelan sebelum kemudian berucap pelan. “Iya, mandi.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Bagaskara hanya menatap Aliya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Wajahnya masih full make-up, bedaknya bahkan belum geser sedikitpun. Sementara kaki, kakinya basah dan tentu saja hal itu menimbulkan tanya.
“Mandi? Mandi apa yang begitu?”
“Mandi ....” Ucapan Aliya sejenak terhenti, dia tampak berpikir sebelum kemudian kembali dia lanjutkan. “Mandi kebo.”
Tak kuasa menahan tawa, Bagas tergelak dan ini adalah kali pertama Aliya melihatnya tertawa lepas, juga puas hingga membuatnya berharap lebih.
Cara Bagas tertawa membuat hatinya menghangat, bahkan di saat pria itu berlalu dan bergegas mengenakan pakaiannya, Aliya masih diam di tempat.
Hingga, tepat di saat pria itu bermaksud keluar, Aliya masih terus melihat ke arah suaminya. Tak disangka, pria itu justru berbalik dan tepat di sisi Aliya, Bagaskara berbisik sangat pelan. “Tunggu di sini, jangan pakai baju dulu.”
Gleg
.
.
- To Be Continued -
Alhamdulillah ... tiga eps hari ini, ramaikan lagi komennya ya sistur 🫶🏻