Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Naik ke pangkuan Devan
Diana memijat pelipisnya pelan. Kesabaran seorang guru memang diuji setiap hari, tapi menghadapi Ares… itu sudah level lain.
Mata wanita itu menyipit, menatap lurus ke arah pemuda jangkung yang duduk santai seolah kelas itu ruang tamunya sendiri.
"Ares." suara Diana jelas, tegas, tapi masih berusaha profesional.
"Kalau kamu tidak menghargai ibu sebagai guru, minimal hargai teman-temanmu yang lain. Mereka datang untuk belajar, bukan melihat kamu membawa gadis itu. Kamu tahu dia sakit kan?" Tatapannya bergeser pada Gauri yang masih asik memainkan karet gelang.
Ares mengangkat dagu, malas-malasan.
"Bu, saya nggak bikin gaduh. Dia juga nggak ganggu. Santai aja, ini bukan baru pertama kalinya."
Nada suaranya sopan, tapi sikapnya sama sekali tidak. Semacam badai halus yang menggulung, tidak keras namun cukup membuat guru manapun merasa di langkahi.
Diana menahan nafas. Ia ingin marah, tapi pengalaman bertahun-tahun menghadapi murid nakal, terutama yang nakalnya sudah melebihi batas seperti Ares, membuatnya memilih jalur aman.
"Kamu tetap tidak boleh membawa orang luar ke kelas."
Ares mendengus kecil.
"Bu, kepala sekolah nggak masalahin. Masa ibu masalahin banget? Satu lagi, yang saya bawa bukan orang luar, dia yang punya sekolah ini." Ares terus melawan.
Beberapa murid cekikikan tertahan. Suasananya makin memanas.
Diana membuka mulut untuk bicara lagi, tapi akhirnya… ia menyerah. Bukan karena takut, tapi karena tahu persis karakter Ares. Pemuda itu bukan tipe yang akan tunduk kalau ditekan. Dan kelas bisa berantakan kalau ia terus memaksakan diri.
"Baik. Kalau memang begitu, duduk diam dan jangan ganggu pelajaran. Kalau anak itu mulai ribut, kamu bawa dia keluar." Diana akhirnya berkata, mencoba menutup topik itu agar kelas bisa dimulai.
Ares hanya memutar bola matanya malas, jelas menang dalam argumen kecil itu. Tapi setidaknya, ia diam.
Diana mulai mengajar. Suaranya kembali stabil, profesional, dan ia berusaha melupakan kekesalan karena perlawan Ares barusan.
Namun di sudut matanya, ia bisa melihat semua murid di baris belakang terus mencuri pandang ke arah Gauri, gadis sakit mental yang tampaknya sama sekali tidak peduli dengan dunia sekitar. Ia menggambar lingkaran-lingkaran kecil di buku catatan milik Ares, dengan lidah sedikit terjulur menandakan konsentrasi penuh.
Ares sendiri kini lebih fokus memperhatikan Gauri daripada memperhatikan pelajaran. Sesekali ia mengusap kepala gadis itu dengan gerakan lembut yang bertolak belakang sekali dengan image bad boy yang ia miliki.
Sayangnya, Diana belum puas.
"Ares," panggilnya tajam.
Pemuda itu mendongak malas.
"Silakan jawab soal nomor tiga di papan tulis." Diana menunjuk papan putih di belakangnya.
Ares mendecak.
"Saya nggak bisa, cari yang lain saja."
"Sekarang, Ares." nada Diana tidak memberi ruang untuk diskusi.
Kelas hening. Mereka semua tahu Diana biasanya tidak sekeras itu. Tapi hari ini, ekspresinya sangat jelas, dia sedang mantap ingin menundukkan Ares, setidaknya sekali.
Ares menatap wanita itu tajam. Ia bisa melawan kalau dia mau, tapi hari ini dia memilih tidak melawan masalah jawab pertanyaan. Dengan malas Ares bangkit. Ia meletakkan buku tempat Gauri menggambar dan menepuk kepalanya pelan.
"Jangan ke mana-mana," katanya pelan pada gadis itu.
Gauri tidak merespon, tidak menatap, hanya sibuk menggambar lingkaran ketiga belasan kali.
Ares maju, tangan satunya dimasukkan ke saku. Ia menuliskan jawaban di papan dengan gaya seenaknya. Tapi meski malas, jawabannya benar, dan cepat.
"Sudah?" Ares menoleh malas.
Diana mengangguk kaku.
"Kembali ke tempatmu."
Pemuda itu memutar badan … dan membeku.
Kursi belakangnya kosong.
Buku gambar ada di sana.
Tapi Gauri?
Tidak.
Wajah Ares langsung berubah. Hilang malasnya. Hilang santainya. Hilang sifat melawannya. Yang tertinggal hanya panik.
"Lo liat Gauri?" ia segera bertanya ke teman cowoknya yang duduk di seberang bangkunya. Temannya itu baru sadar juga.
"Gue juga baru sadar dia gak ada Res."
Ares berdecak kesal, kelas langsung ribut.
"Ares, duduk!" perintah Diana. Ares tidak mendengarnya.
"Ares!" Nada Diana keras, tapi Ares tiba-tiba menendang meja dengan keras, sangat keras.
"Lo diem, brengsek!"
Ares tidak peduli lagi. Masa bodoh dengan sikap kasarnya terhadap sang guru. Dia langsung berlari keluar kelas tanpa menunggu izin. Paniknya begitu jelas, membuat beberapa murid ikut berdiri spontan.
Diana membatu di tempatnya berdiri, ia masih syok mendengar muridnya mengasarinya seperti itu. Ares sudah menghilang di balik pintu.
Siswa-siswi jadi makin sulit ditenangkan, dan Diana masih diam akibat syok mendadak itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu…
Gauri berjalan mengikuti arah yang hanya dia sendiri yang tahu. Tatapannya kosong tapi kakinya mantap. Ia tidak berlari, tidak panik, hanya melangkah pelan seperti anak kecil yang tersesat menuju hal yang menarik perhatiannya.
Koridor sepi. Tidak ada satu pun murid. Semua sedang belajar. Gauri berhenti di depan pintu berlabel
RUANG GURU
Tangannya terangkat sendiri, membuka pintu perlahan.
Di dalam, Devan sedang duduk membaca bahan-bahan ajarnya. Dua guru wanita duduk di seberang meja, sibuk menulis laporan nilai, sesekali mencuri-curi pandang ke Devan karena guru baru itu terlalu tampan.
Begitu pintu terbuka, ketiganya menoleh.
Dan mereka semua membeku.
Gauri masuk tanpa suara, berjalan lurus ke arah Devan. Ia sudah lihat pria itu dari balik jendela kaca tadi, makanya dia masuk.
Tanpa ragu sedikit pun, ia naik ke pangkuan pria itu seperti seorang anak kecil masuk ke tempat paling aman di dunia.
Devan membatu.
Total membatu. Gadis itu lagi. Ini yang ketiga kalinya.
Kedua guru wanita serempak berdiri, mulut terbuka. Mereka kenal Gauri, tapi... Anak itu jarang sekali masuk ruang guru.
"Gauri, kamu kenapa di sini? Ares ke mana?"
Gauri tidak mempedulikan mereka. Ia hanya sibuk dengan Devan saja.
"Kakak ganteng,"
Devan menatap Gauri, menahan diri. Gadis itu menempelkan kepala ke dadanya, memeluk kemeja formal yang rapi itu seperti memeluk boneka kesayangan.
"Kenapa kamu di sini? Turun," suaranya tidak sekasar pertama kali karena mulai menyadari gadis ini memang sakit.
Gauri hanya menengok sebentar ... Lalu menempel lagi, memeluk lebih erat.
Seolah-olah Devan bukan guru killer yang tadi membuat satu kelas tercengang, tapi pelindungnya. Dua guru wanita saling pandang, salah satu di antara keduanya maju, hendak menarik Gauri dengan hati-hati.
"Gauri, kamu nggak boleh naik kayak gitu. Ayo sini ibu anterin ke Ares."
Guru yang lebih tua mencoba meraih Gauri tapi tangannya langsung di hempas dengan kuat.
"Jangan deket-deket! Gauri mau sama kakak ganteng!"
Tukasnya dengan mata liar, lalu berbalik lagi menyandarkan kepalanya di dada Devan, menghirup aroma pria itu.
"Hmm... Wangi susuu .." dan dalam sepersekian detik, ia malah tertidur.
Devan Ampe gak tenang disamping Gauri, terlalu banyak hal yg bikin degdegan ya Van 🤭
Tapi gimana Gauri ga tergantung sama bapak,, perhatiannya itu lho...,, Gauri ga tau sj kalo pak Devan sudah dag Dig dug ser....🤭