NovelToon NovelToon
Pawang Dokter Impoten

Pawang Dokter Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:18.2k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.

Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.

Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.

Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.

“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.

Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 22. Digrebek Dokter Umum

Beberapa jam kemudian…

Di balik jendela besar rumah megah bergaya modern Eropa, cahaya senja jatuh melukis siluet Dokter Arslan Han Mahardika yang berdiri membelakangi semua orang.

Tubuhnya tegap, kedua tangan berada di balik punggung, namun sorot matanya menusuk seolah menelanjangi kenyataan pahit yang baru saja ia telan.

“Aku tahu siapa pelakunya,” ujarnya datar, nyaris tanpa emosi.

Semua orang di ruangan terdiam. Yang terdengar hanya detik jam antik di sudut ruangan.

“Juwita Amanda,” sambungnya lagi. “Dia dalangnya.”

Nayaka spontan berdiri. Tangannya gemetar. “Apa… kamu yakin?” tanyanya pelan.

Arslan menoleh perlahan. Mata tajamnya mengurung Nayaka dalam tatapan beku.

“Aku tak pernah bicara tanpa bukti,” jawabnya pendek. Ia melirik Kenzi yang berdiri di belakang, memberi isyarat untuk menyerahkan dokumen.

Uwais dan Audra, yang ikut hadir, saling pandang. Wajah Audra tampak lebih keras dari biasanya. Uwais mengepalkan tangan di atas lututnya, rahangnya mengeras.

“Aku sudah bilang, aku nggak butuh kamu balas dendam untukku,” ujar Nayaka pelan, tapi suaranya tegas.

Arslan menatapnya. “Ini bukan soal dendam, Nayaka. Ini soal keamananmu.”

Perempuan itu menghela napas panjang. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depan pria yang akan menjadi suaminya.

“Arslan, aku tahu kamu terluka. Tapi aku lebih takut kamu kehilangan akal sehatmu,” ucapnya. Tangannya menggenggam tangan Arslan erat.

Untuk sesaat, keheningan jatuh lagi. Arslan menatapnya. Dingin, tapi ada gemetar di sudut mata. “Aku tidak kehilangan akal,” katanya lirih. “Tapi aku hampir kehilangan kamu.”

Nayaka menunduk. “Tapi kamu belum kehilangan aku,” gumamnya lembut. Ia menyentuh pipi Arslan. “Dan jangan sampai caramu mempertahankanku malah menghancurkanmu.”

Tiba-tiba, Bu Selma yang sejak tadi diam, angkat bicara. “Sudah cukup. Kalian berdua nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang ancaman. Kita nggak bisa nunggu lebih lama.”

Arslan dan Nayaka sama-sama menoleh.

“Sore ini, saya sudah hubungi Bu Dina. Dan Aylara. Kita adakan makan malam keluarga. Langsung bicara soal pernikahan kalian,” tegasnya.

“Tanpa pertunangan?” tanya Nayaka terkejut.

“Kita nggak butuh seremonial itu kalau keselamatan kalian dipertaruhkan,” jawab Bu Selma. “Kalian sudah cukup lama saling berjuang. Waktunya menyelesaikan semua dalam ikatan yang sah.”

 

Sore hari, di ruang makan utama rumah keluarga Mahardika…

Nayaka duduk di antara Bu Selma dan Aylara. Wajahnya gelisah. Sesekali ia melirik Arslan yang duduk sejajar di seberang. Masih dengan wajah datarnya yang khas, pria itu hanya diam, sesekali mengaduk tehnya tanpa benar-benar ingin meminumnya.

“Kamu yakin dengan keputusan ini?” bisik Aylara sambil menepuk bahu adiknya.

“Enggak ada yang aku yakin sepenuhnya, tapi aku lebih takut kehilangan dia,” jawab Nayaka pelan. “Dan aku percaya sama dia.”

Dari ujung meja, Bu Dina mengangkat gelas teh hangatnya. “Saya percaya sama Nayaka. Kalau anak saya sudah memutuskan, berarti dia siap. Saya sebagai ibunya hanya bisa mendoakan.”

Bu Selma tersenyum mengangguk. “Terima kasih, Dina. Kita langsung siapkan saja proses lamarannya. Minggu ini.”

Arslan akhirnya angkat bicara. Suaranya tetap dingin. “Aku akan urus semuanya. Tak perlu dibebankan pada siapa pun.”

“Tapi kamu tetap harus ikut semua adatnya,” timpal Bu Selma sambil tersenyum. “Ini bukan operasi bypass yang bisa kamu kontrol penuh. Ini pernikahan.”

Seketika Nayaka tertawa pelan. “Dokter galak harus jadi mempelai yang menurut, ini bakal jadi sejarah.”

Arslan mengangkat alisnya. “Kalau itu membuatmu bahagia, aku akan mencoba.”

Satu kalimat itu cukup membuat semua yang hadir terdiam. Sebab keluar dari mulut Arslan, itu bukan sekadar janji. Itu bukti dia rela mengubah dirinya.

 

Di balkon kamar Nayaka malam itu…

Angin malam mengelus pelan wajah Nayaka. Ia berdiri menyandarkan diri ke pagar balkon, memandang langit yang redup. Langkah kaki mendekat dari belakang. Arslan.

“Kamu nggak biasa datang ke kamar perempuan malam-malam,” godanya.

“Aku tahu kamu akan sulit tidur malam ini,” jawab Arslan. “Aku juga.”

Nayaka menatap wajah dingin itu. “Kamu takut?”

“Bukan takut. Tapi aku tahu… aku tidak bisa melindungimu kalau kamu masih jadi sasaran,” jawabnya jujur.

“Aku tidak butuh pelindung. Aku butuh kamu,” ucap Nayaka.

Arslan menatapnya. Kali ini, dalam dan penuh makna. “Aku milikmu,” katanya pelan.

Nayaka tersenyum, menggenggam tangan dingin pria itu. “Dan kamu milikku.”

Jauh di bawah balkon, lampu kota berkelip-kelip. Malam belum berakhir. Tapi dua jiwa yang sempat terombang-ambing itu kini berdiri berdampingan. Bersiap menghadapi dunia dengan cinta, tekad, dan perang melawan obsesi yang bisa saja mencabik kedamaian mereka kapan saja.

Angin malam menari lembut, menyusup di sela-sela tirai balkon kamar Nayaka. Lampu gantung di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding. Mereka berdiri berdekatan. Hanya suara detak jantung yang kini terdengar, bersahutan dengan bisikan malam.

Arslan mendekat pelan, menatap wajah Nayaka seperti menatap sesuatu yang tak ingin ia lepaskan seumur hidup. Matanya menyimpan luka, rindu, dan harapan yang enggan ia akui selama ini.

“Aku nggak pandai menunjukkan cinta,” ujarnya, suara serak, “tapi setiap hari aku takut kehilangannya.”

Nayaka tersenyum tipis. “Aku nggak butuh kata-kata indah, Ars. Cukup kamu tetap tinggal.”

Arslan menunduk perlahan. Jarak di antara mereka menguap. Saat bibirnya menyentuh bibir Nayaka, waktu seakan berhenti. Tidak terburu-buru. Tidak liar. Hanya satu sentuhan lembut yang mengucap janji dalam diam.

Bibir itu melumat perlahan. Tak ada dentuman. Hanya rasa yang mengalir. Hangat. Dalam. Laki-laki yang dikenal keras dan kaku itu kini mencair hanya untuk satu perempuan yang berhasil masuk ke celah-celah retak di hatinya.

Tapi kebersamaan itu tak berlangsung lama.

Klek.

Pintu kamar terbuka mendadak.

“Astaga—YA ALLAH! NAYAKA! KAU CIUM-CIUMAN DI KAMAR ORANG?!”

Suara Aylara meledak, seperti sirine ambulans di lorong rumah sakit.

Nayaka dan Arslan spontan menjauh. Jarak yang tadi hanya sehelai napas, kini menjadi tiga langkah tergesa.

Napas mereka masih memburu, bibir Nayaka masih basah, dan wajah Arslan tetap dingin, tapi kali ini jelas-jelas kaku.

“Aylara, ini bukan..” Nayaka membuka mulut, tapi Aylara sudah mendahului dengan tangan menunjuk Arslan dramatis seperti jaksa di sidang terbuka.

“Dokter spesialis bedah kelas langit tapi akalnya ilang waktu lihat adikku? Gimana ini?! Ini belum sah, bang!”

Arslan tak menjawab. Diam. Datar. Tapi bahunya menegang.

“Aku tahu kalian cinta. Aku tahu ini rumah orang tua calon suami. Tapi ciuman sebelum akad, di kamar, dengan lampu temaram dan bibir saling melekat INI APA?! INI DRAMA NETFLIX?!”

Nayaka menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Allah, Kak, tolong volume-nya turunin dikit...”

“Enggak bisa!” seru Aylara lagi, menunjuk wajah adiknya. “Kau tuh belum halal! Mulutmu belum dibayar mahar! Badanmu belum dijaga wali!”

“Ay, ini cuma... refleks,” gumam Nayaka lemas.

“Refleks? Refleksnya pake bibir?! Kau pikir ini fisioterapi?”

Arslan akhirnya angkat suara, suaranya tetap datar namun tegas. “Saya akan bertanggung jawab.”

“Oh tentu kamu akan, Dokter. Kalau perlu besok pagi juga kita langsung akad. Tapi malam ini?” Aylara mengangkat alis tinggi-tinggi, lalu melempar tas kecilnya ke sofa. “Aku tidur di sini. Di antara kalian. Biar tahu rasanya jadi penengah neraka.”

Nayaka terduduk di tepi ranjang, wajahnya tertutup bantal. “Malu banget sumpah.”

“Bagus, kalau malu. Itu tandanya masih waras,” ucap Aylara santai, lalu menatap Arslan. “Dan kau, Dokter Dingin, mulai besok jaga jarak. Kau boleh setia, boleh tanggung jawab, tapi jangan ngikutin hawa nafsu kayak cowok TikTok.”

Arslan hanya menatap tanpa ekspresi, lalu mengangguk pelan. “Saya mengerti.”

Dengan langkah tegas, ia berjalan keluar kamar. Tapi sebelum pintu tertutup, suaranya terdengar lagi.

“Terima kasih sudah mengingatkan.”

Begitu pintu tertutup, Nayaka berguling ke kasur, mengerang ke bantal. “Kakakku tuh bener-bener..”

“Penyelamat harga dirimu, Nduk,” sela Aylara sambil mematikan lampu. “Tidur sekarang. Besok kita bicarakan soal mahar.”

Nayaka menjatuhkan diri ke tempat tidur, wajahnya masih merah padam. Aylara duduk di sisi ranjang sambil nyengir puas.

“Astaga, Nay… kamu beneran udah nggak bisa diselamatkan. Ciuman pertamamu di kamar rumah orang, dong.”

Nayaka memeluk bantal, suaranya teredam. “Aku enggak nyangka bakal selembut itu dan itu bukan ciuman pertama kakak.”

“Ya iyalah, yang nyium dokter. Bukan mantan toxic kayak si Javas.”

Di tempat lain…

Di Dalam Kamar Mewahnya – Malam Itu

Langit-langit kamar terasa lebih rendah malam ini.

Lampu gantung kristal menggantung angkuh, menyinari sebagian ranjang berseprai putih yang tak tersentuh. Arslan berdiri membelakangi cermin besar, masih mengenakan kemeja hitam yang tak sempat dilepas sejak pulang dari rumah sakit. Semua terasa biasa. Kaku. Teratur. Kamar itu diam. Tapi pikirannya kacau.

Ia menunduk, menatap jemarinya yang bersandar di sisi meja. Napasnya tak teratur, meskipun wajahnya tetap datar, seperti biasa. Ia mencoba menyangkal, namun sensasi itu masih membekas—mengendap dalam tubuh, menolak dibungkam.

Ciuman itu.

Sentuhan bibir Nayaka, singkat tapi berani. Sifat nakalnya yang mengganggu batas, tapi justru itu yang menembus pertahanannya. Tak ada kata manis. Tak ada janji. Hanya bibir yang menempel, dan matanya yang tertutup.

Seharusnya tak terjadi apa-apa.

Ia didiagnosis impoten setelah terkena bola tepat di daerah selangkangannya dan itu sudah terbukti beberapa bulan lalu.

Tapi tubuhnya mengkhianatinya malam ini. Reaksi itu muncul. Liar. Tak terduga. Menyeruak seperti serangan panik, namun dari arah paling asing.

Arslan mengeraskan rahangnya. Ia benci kehilangan kendali. Tangannya mengepal. Dadanya naik turun perlahan. Ia berjalan ke arah jendela, menyingkap sedikit tirai.

Di luar, lampu kota berkerlap-kerlip seperti bintang palsu. Dunia terlihat normal. Tapi di dalam dirinya ada sesuatu yang goyah.

"Aku tidak mungkin berharap lagi," gumamnya.

Kalimat itu mengendap di ruangan. Ia tahu apa yang terjadi tadi bukan sekadar reaksi fisik. Itu refleks dari sesuatu yang lebih dalam.

Sesuatu yang selama ini ia kubur hidup-hidup hasrat, keinginan, bahkan rasa rindu untuk merasa seperti laki-laki utuh.

Namun harapan adalah musuh. Karena ia tahu, harapan bisa menggerogoti ketenangan yang sudah ia bangun dengan kerja keras, jarak emosional, dan pengendalian diri yang nyaris ekstrem.

Wajah Nayaka terlintas dalam bayangan kaca jendela. Senyumnya yang menyebalkan. Matanya yang terlalu jujur. Caranya memprovokasi tanpa malu-malu.

Dan bibirnya.

Arslan mengusap wajah dengan kedua tangan, lalu membiarkan tubuhnya duduk di pinggir ranjang.

Sepi menyergap lagi. Tapi bukan kesepian yang ditakutkan. Yang ia benci adalah kemungkinan.

Kemungkinan bahwa Nayaka bisa menyentuh bagian dirinya yang bahkan ia sendiri sudah menganggap mati.

"Berhenti," ujarnya pelan pada dirinya sendiri.

Namun tubuhnya tak mendengar. Karena malam ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tubuhnya mengingat rasanya menjadi hidup.

1
Midah Zaenudien
semngat berkarya jgn bt cerita x stuk2 d tempat x
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: siap kakak... kedepannya akan muncul konflik
total 1 replies
Ummi Sulastri Berliana Tobing
lagi donk 🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak sekitar jam 12 WITA sudah update
total 1 replies
Lukman Suyanto
lanjuttt
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah, besok makasih banyak masih setia baca
total 1 replies
Lukman Suyanto
lanjutt
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Sholikhah Sholikhah
wong mantune Bu Retno juga orang biasa gitu kok gak ngaca. tolong dong kirim kaca ke Bu Retno
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: irinya Segede gabang kak 🤭
total 1 replies
Sholikhah Sholikhah
yah nyindir nih, yg bisanya hanya baca dan like 😄😄😄😄
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Naya tersengat belut listrik nya pak dokter 🤣🤣🤣💓💓
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha mati dong 🤣
total 1 replies
Daeng
sangat menghibur
Yani
pwngantin baru oiii pengantin baruu.. yikes sapa dluan yg dpt bonusan malam pertama.. 😁😁
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semuanya dapat yang gede dan panjang 😂🤭
total 1 replies
Yani
pernikahan semua netizen ini Mah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: mewakili yah 🤣
total 1 replies
Yani
waduh Merissa tercubit diriku ha ha haha
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha 😂🤭
total 1 replies
Maulida greg Ma
hahaha segitunya
Maulida greg Ma
nggak apa-apa istri sendiri
Maulida greg Ma
nikahnya barengan semoga hamil juga barengan
Farhana
ya Allah mereka benar-benar random
Farhana
benar godaan istri luar biasa
Farhana
semoga samawa
Naila
haha kaget tapi penasaran 🤭🤣
Naila
akhirnya sah juga
Inha Khaerunnisa
Haha
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!