Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24~ AKU AKAN MENUNGGU SAMPAI KAMU SIAP
"Stev, jadi Pak Sean itu keluarga kamu?" tanya Cinta yang baru menyadari jika bosnya di cafe itu ada diantara keluarga Vano. Ia baru melihat Sean saat akan meninggalkan rumah tadi.
Vano tak menjawab, ia hanya sibuk bermain dengan Laura. Memasang ekspresi lucu dan membuat balita cantik itu tertawa cekikikan. Jika sebelumnya ia satu mobil dengan kedua orang tuanya dan adik kembarnya. Sekarang, di mobil itu hanya ada ia, Cinta, Laura dan supir.
"Stev, aku nanya." Cinta menyenggol lengan suaminya.
Vano berdecak pelan. "Jangan panggil aku Stev," ucapnya.
Cinta mengerutkan keningnya, kemudian tampak mengangguk pelan. Ia baru ingat jika nama itu digunakan suaminya saat menjadi seorang barista. Nama panggilan sebenarnya adalah Vano. "Ok, Vano." Ia tersenyum. "Jadi benar, Van. Pak Sean itu keluarga kamu juga?" tanyanya lagi.
Vano kembali berdecak pelan. "Jangan panggil aku Vano!"
"Lalu apa? Stevano, gitu?" Cinta tampak bingung.
"Bukan!" pungkas Vano tampak sedikit kesal.
"Lalu aku harus memanggil kamu apa?" tanya Cinta semakin bingung.
"Sayang. Panggil aku Sayang! Itu aja kok gak ngerti," ucap Vano.
Cinta terdiam sejenak, kemudian terkekeh. "Ok, Sayang," ucapnya mengalah.
"Yes, Honey!" sahut Vano sambil tersenyum. Ia melirik istrinya dengan mata berbinar.
Cinta geleng-geleng kepala sembari tersenyum. "Hem, sekarang jawab pertanyaan ku tadi."
"Sean itu keponakan dari Om Denis, suaminya Tante Kiara yang merupakan kakak tertuanya Papaku. Mamanya Sean dan Om Denis itu bersepupu, namanya Tante Liana dan suaminya Om Erick. Sean memiliki kakak perempuan bernama Shanum dan sekarang tinggal di luar kota ikut suaminya," papar Vano menjelaskan.
"Oh, begitu." Cinta mengangguk paham. Ia terdiam sejenak, kemudian memiringkan posisi duduknya menghadap sang suami. "Van, kamu masih ada hutang penjelasan padaku."
Vano memutar bola matanya. "Mulai sekarang jangan menyebut namaku lagi. Tapi panggil aku dengan sebutan Sayang!" tegasnya.
"Ok, ok." Cinta menghela nafas, lalu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang nampak terpaksa. "Sayang, kamu masih ada hutang penjelasan padaku."
"Nah, kan gitu enak dengarnya, Honey." Vano melirik istrinya, tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. "Em, untuk masalah itu, nanti saja aku jelaskan, ya. Jangan sekarang."
"Kapan?" tanya Cinta.
"Em," Vano mendekap erat Laura yang duduk di pangkuannya agar tak jatuh, kemudian memajukan wajahnya mendekati Cinta. "Setelah malam pertama kita nanti," bisiknya sambil mengedipkan mata.
Mendengar itu, Cinta dengan cepat memiringkan posisi duduknya. Jika sebelumnya ia menghadap sang suami, kini ia menghadap pintu mobil dan menatap keluar jendela.
"Honey," Vano menyentuh pundak istrinya. "Kamu kenapa?"
"Gak apa-apa," sahut Cinta.
Vano nampak berpikir, Cinta tiba-tiba bereaksi menghindarinya saat ia menyebut kata 'malam pertama' mungkinkah istrinya itu masih memiliki rasa trauma akan kejadian malam kelam saat itu. Tapi kenapa, Cinta sama sekali tidak mengenalinya.
"Oke, gak apa-apa kalau kamu memang belum siap. Aku bisa menunggu sampai kamu siap," ucapnya kemudian.
"Terima kasih," sahut Cinta tanpa menoleh menatap suaminya.
Vano menghela nafas. Jadi benar dugaannya, Cinta masih memiliki trauma atas perbuatannya. "Baiklah. Aku yang sudah membuatmu menjadi trauma seperti ini, maka aku juga yang akan menyembuhkannya," gumamnya dalam hati.
Tak berapa lama kemudian. Mobil yang ditumpangi sang pengantin baru sampai lebih dulu di rumah. Supir pun segera turun lebih dulu lalu membukakan pintu untuk sepasang pengantin baru tersebut.
"Terima kasih, Pak," ucap Cinta setelah turun dari mobil, lalu disusul dengan Vano yang menggendong Laura.
Tak berselang lama, mobil yang ditumpangi mama Kinan, papa Azka dan juga Vani pun akhirnya sampai. Sedangkan keluarga yang lain langsung pulang rumah masing-masing sebab hari semakin beranjak sore. Mereka cukup lelah, sebab acara yang seharusnya hanya lamaran tapi juga menjadi sekaligus pernikahan.
"Van, langsung ajak istri kamu ke kamar. Dia pasti capek," ucap mama Kinan yang telah berdiri di depan menantunya.
"Iya, Ma."
"Sini, Laura biar sama mama saja. Kalian berdua ke kamar istirahat." Mama Kinan mengulurkan kedua tangannya hendak menggendong cucunya. Namun, Cinta lebih dulu mengambil alih menggendong Laura.
"Mama juga pasti capek. Gak apa-apa, biar Laura sama aku saja," ujarnya.
Mama Kinan pun menarik kembali tangannya sambil melempar tatapan penuh tanya pada putranya, sebab menilai respon Cinta barusan agak berlebihan yang langsung merebut Laura lebih dulu sebelum sempat ia menyentuhnya. Vano menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban jika semuanya baik-baik saja.
"Ya sudah, sekarang kalian bertiga langsung ke kamar saja istirahat," ucapnya kemudian.
"Iya, Ma." Vano pun merangkul istrinya dan mengajaknya masuk ke rumah. "Sini, biar aku yang gendong Laura," pintanya ketika hendak menaiki anak tangga.
Cinta mengangguk lalu memberikan putrinya, sebab kedua kakinya pun masih terasa sedikit sakit untuk melangkah.
Sesampainya di kamar suaminya, Cinta disambut dengan aroma maskulin yang sama persis dengan aroma tubuh sang pemilik kamar. Kedua netranya berkeliling mengindai seluruh penjuru kamar yang sangat luas itu. Semuanya benda tertata rapi dan dan serba lengkap. Namun, ada satu hal yang cukup menggelitik baginya. Yaitu, warna cat dinding kamar. Biru yang dikombinasikan dengan warna pink. Cinta mati-matian menahan tawanya agar tak menyinggung suaminya.
"Ketawa aja kalau mau ketawa. Papa, Mama dan Vani juga suka ketawa kok kalau masuk kamar ini," ujar sambil terkekeh pelan.
Membuat Cinta pun akhirnya kelepasan, wanita itu tertawa pelan namun dengan segera menutup mulut untuk meredam tawanya. Seharusnya ia tidak menertawakan dua warna tersebut yang lebih dominan untuk perempuan. Mungkin Vano memiliki alasan tersendiri memilih dua warna itu.
"Yang baru pertama melihat warna cat dinding kamar ini pasti mengira kalau aku itu gak gentle, karena memilih warna-warna yang lebih dominan untuk wanita. Tapi dibalik alasanku memilih dua warna ini memiliki makna tersendiri." Vano melangkah menuju ranjang kemudian mendudukkan Laura di tengah-tengah tempat tidur, kemudian ikut duduk dipinggiran tempat tidur.
"Semua wanita pasti tahu, kalau warna pink itu melambangkan cinta. Dan aku meyakini siapapun yang memasuki kamar ini akan merasa dicintai," Vano melirik Cinta yang masih berdiri, ucapannya barusan tentu ditujukan untuk calon istrinya itu. "Dan Biru, melambangkan ketenangan. Sentuhan warna biru membuat siapapun betah untuk berlama-lama tinggal di dalamnya. Sebab hanya dengan melihat warnanya saja, penghuninya akan langsung tunduk."
Cinta mengangguk pelan membenarkan. Terbukti, meskipun warna kamar itu lebih dominan untuk perempuan, tapi ia sudah merasa nyaman padahal belum merasakan empuknya ranjang berukuran besar milik suaminya itu.
"Ayo duduk sini," panggil Vano sambil menepuk bagian pinggiran ranjang disebelahnya.
Cinta pun menghampiri sang suami dan duduk di sampingnya. "Terima kasih ya, karena sudah mau menerima aku dan Laura dengan tulus." Ia menjeda kalimatnya sejenak sambil meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya erat. "Tapi maaf, untuk sekarang aku benar-benar belum siap." Ia menatap suaminya dengan lekat. Berharap pria itu mau mengerti dirinya.
Vano mengangguk dan tersenyum. "Iya, gak apa-apa. Aku akan menunggu sampai kamu siap."
"Terima kasih, Van."
Vano seketika berdecak pelan sambil memutar bola matanya. "Sayang!" tegasnya.
Cinta terkekeh. "Maaf, aku lupa terus." Ia melepaskan genggaman tangannya lalu dengan cepat menenggelamkan tubuhnya ke dalam dekapan sang suami. "Terima kasih, Sayang."
"Sama-sama, Honey." Vano membalas pelukan istrinya dengan erat dan mencium pucuk kepalanya yang masih terbalut hijab berulang kali.