Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Dua Minggu Berlalu
Lidya menahan diri agar tidak terpancing. Ia kembali memotong daging di piringnya, seolah tidak mendengar. Tapi dalam diam, jantungnya berdetak cepat.
Arjuna memperhatikannya diam-diam. Gerak tangannya, cara ia meneguk air, bahkan cara ia menghindari tatapan — semua itu terlalu familiar.
Selama empat tahun menikah dengan Eliza, ia tetap tahu: tak ada satu pun perempuan yang mampu menatapnya dengan mata seperti Lidya dulu — mata yang jujur tapi terluka.
Pelayan datang membawa dessert — tiramisu mini dan segelas latte.
Arjuna mendorong piring ke arah Lidya. “Kamu suka yang manis, kan?”
Lidya menatapnya dingin. “Aku nggak suka basa-basi, Kak.”
Suasana hening lagi.
Arjuna menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pemandangan kota di balik kaca. Suaranya pelan tapi jelas.
“Kadang aku berpikir, kalau waktu bisa diulang, mungkin aku akan melakukan hal yang berbeda.”
Lidya tertawa kecil — getir dan dingin. “Terlambat, Kak. Dunia ini nggak pernah kasih tombol ulang.”
Mereka sama-sama diam.
Cahaya matahari menjelang sore menembus kaca, mengenai wajah Lidya yang kini tampak pucat tapi kuat.
Arjuna memperhatikannya sekali lagi, tanpa kata. Dalam diam, ia sadar — semakin berusaha melupakan, justru semakin jelas bayang itu di matanya.
Lidya meneguk sisa air putihnya, lalu berkata pelan, “Terima kasih untuk makan siangnya. Aku kembali ke kantor duluan, masih ada laporan yang harus aku selesaikan.”
Arjuna menatapnya lama, tapi tidak menahan.
“Baik. Aku akan menyusul ke lobi.”
Lidya berdiri. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi kecil yang justru terdengar nyaring dalam keheningan itu. Ia berjalan keluar dengan langkah mantap — tak lagi menoleh ke belakang.
Arjuna menatap punggung itu menghilang di balik pintu kaca restoran.
Tangannya mengepal di atas meja, rahangnya menegang. Ia menutup mata sebentar, menarik napas panjang, lalu tersenyum pahit pada dirinya sendiri.
Di luar sana, Jakarta terus berdenyut, sama seperti dulu.
Tapi bagi keduanya, setiap langkah hari itu terasa seperti menapaki batas antara masa lalu dan masa depan — antara cinta yang tak semestinya ada, dan tanggung jawab yang tak bisa dihindari.
Dan saat Arjuna akhirnya berdiri meninggalkan meja itu, tatapan matanya penuh campuran sesuatu yang tak bisa ia jelaskan —rindu yang ia tolak, dan kehilangan yang terlalu terlambat untuk disesali.
***
Tanpa terasa, dua minggu telah berlalu sejak makan siang yang penuh ketegangan itu.
Dua minggu sejak Lidya benar-benar menarik jarak. Ia tetap profesional di kantor — hadir tepat waktu, menyelesaikan laporan tanpa cela, menjawab perintah Arjuna tanpa nada pribadi sedikit pun. Ia seolah menegaskan bahwa batas antara mereka sudah kembali tegak.
Dan Arjuna, di sisi lain, hanya bisa memendam rasa yang sulit didefinisikan. Setiap kali melihat Lidya berbincang dengan Farel — teman kuliahnya yang kini sering menjemput di sore hari — dadanya terasa mengeras tanpa alasan. Ia tak punya hak melarang. Lidya bukan siapa-siapanya.
Ia tahu itu.
Tapi tetap saja, setiap kali melihat Lidya tersenyum di depan pria lain, ada sesuatu yang menusuk dalam diamnya.
Raffi sempat beberapa kali memperhatikan perubahan sikap bosnya.
Arjuna kini lebih pendiam, lebih sering menatap kosong ke layar laptop tanpa menyentuh keyboard. Tapi di rumah, ia justru tak bisa menemukan ketenangan.
***
Di rumah besar keluarga Adiwongso, hubungan Arjuna dan Eliza makin dingin. Dulu, Eliza selalu sibuk dengan perawatan wajah, arisan, dan belanja mewah. Sekarang, ia lebih sering pura-pura sibuk di rumah hanya agar suaminya memperhatikan.
Ia menata ulang ruang tamu, mengganti tirai, bahkan memesan parfum ruangan baru — berharap Arjuna sadar.
Namun setiap kali Arjuna pulang, hanya ada sapaan singkat.
“Sudah makan?”
“Sudah.”
Tak lebih. Tak kurang.
Dinding di antara mereka kini lebih tebal dari beton mansion itu sendiri.
Eliza tahu ada yang berubah.
Dan karena rasa curiga yang tak tertahankan, ia menyewa seseorang untuk diam-diam mengawasi Arjuna. Seorang mantan staf event planner yang kini jadi informan kecil baginya.
Namun hasil laporan itu justru membuatnya gelisah.
“Suami Ibu tidak pernah terlihat bersama perempuan lain, Bu,” lapor pria itu suatu malam.
Eliza hanya terdiam.
“Kalau bukan karena perempuan lain,” bisiknya pelan, “lalu kenapa sikapnya kayak menjauh?”
***
Sementara itu, di kantor, Adiwongso Group tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan acara family gathering ke Bandung. Semua divisi disibukkan dengan pembagian tugas, dan Lidya menjadi salah satu panitia utama.
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu pucat. Hujan tipis baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang samar terbawa angin. Di lobi utama, karyawan berlalu-lalang membawa dokumen dan perlengkapan rapat.
Lidya berjalan cepat menuju ruang rapat panitia di lantai sepuluh. Di tangannya ada map besar berisi daftar peserta dan anggaran. Namun langkahnya terasa berat.
Kepalanya berdenyut pelan sejak tadi, dan perutnya terasa mual entah kenapa.
“Pagi, Mbak Lidya!” sapa Raffi yang baru keluar dari ruang administrasi.
Lidya menoleh, tersenyum tipis. “Pagi, Mas Raffi.”
Tapi senyumnya tak seperti biasanya. Wajahnya pucat, dan matanya tampak sayu.
“Eh, Mak Lidya, kamu nggak apa-apa? Kelihatan lemes, deh,” ujar Raffi cemas.
Lidya menunduk sedikit, mengusap pelipisnya. “Nggak apa-apa, cuma pusing dikit. Mungkin belum sarapan.”
Raffi belum sempat menjawab, langkah berat seseorang terdengar dari arah belakang.
Arjuna baru saja keluar dari ruang direksi dengan jas rapi dan tablet di tangan. Wangi parfumnya langsung memenuhi koridor — aroma khas yang selalu membuat dada Lidya terasa sesak tanpa alasan.
“Raffi,” ucap Arjuna singkat, “mobil siap? Kita ada meeting di luar jam sepuluh.”
“Sudah, Pak. Tinggal berangkat.”
Arjuna menatap sekilas ke arah Lidya. Tatapan itu cepat — dingin tapi penuh tanya.
Keningnya berkerut halus. “Kamu pucat,” katanya tanpa ekspresi berlebihan.
Lidya segera merapikan rambutnya. “Nggak apa-apa, Pak. Hanya sedikit pusing.”
“Kalau begitu duduk dulu. Jangan dipaksakan.”
Nada suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu yang samar — perhatian yang berusaha disembunyikan di balik logika profesional.
“Terima kasih, Pak, tapi saya harus siapkan bahan rapat family gathering dulu,” jawab Lidya, berusaha tegas.
Mereka sempat saling bertukar pandang — sesaat saja, tapi cukup untuk membuat udara di koridor itu seolah berhenti. Raffi menatap mereka bergantian, bingung membaca situasi.
“Ehm … kalau begitu, saya ke bawah dulu, Pak.”
Arjuna mengangguk. “Ya. Aku menyusul.”
Lidya membungkuk sedikit, hendak beranjak, tapi langkahnya goyah. Kepalanya semakin berputar. Pandangan mulai buram, dan suara di sekelilingnya terdengar seperti gema jauh.
“Lidya?” Suara Arjuna terdengar tegas, namun ia belum sempat menoleh sepenuhnya.
Dalam hitungan detik, tubuh Lidya melemas.
Map di tangannya terlepas, kertas-kertas berserakan di lantai.
Bersambung ... 🔥🔥