Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.
Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.
Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Sakit?
Di hari pertamanya sebagai murid baru di SMA Bintara, Alvyna belum punya teman. Lebih tepatnya, dia memang tidak berniat untuk mencari teman.
Langkah kakinya tadi pagi terdengar ringan saat memasuki gerbang sekolah elit itu, namun matanya penuh kehati-hatian. Ia berjalan menyusuri koridor tanpa memedulikan pandangan para siswa yang penasaran. Dari cara dia membawa diri, orang-orang bisa menebak bahwa gadis ini bukan tipe yang mudah didekati.
Padahal sejak tadi pagi, cukup banyak siswa yang mencoba berkenalan dengannya. Ada yang tersenyum ramah, ada pula yang memberanikan diri menyapa lebih dulu. Tapi Alvyna, dengan ekspresi datarnya yang sulit ditebak, memilih untuk pura-pura tidak melihat. Ia bahkan tidak mengangkat wajah dari layar ponselnya.
Ia sudah terbiasa menyendiri. Selama lebih dari dua tahun, Alvyna menutup diri dari yang namanya pertemanan.
Bukan tanpa alasan. Ada masa lalu yang membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap yang disebut ‘sahabat’. Luka yang ditinggalkan masih membekas kuat dalam benaknya. Kepercayaan yang dikhianati dan rahasia yang disebar membuatnya tak ingin lagi menaruh harapan pada orang lain.
Saat ini, Alvyna duduk sendiri di salah satu sudut kantin sekolah, menikmati semangkuk bakso hangat. Posisinya menghadap jendela, sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi. Penampilannya yang cantik alami dan aura misteriusnya membuat banyak pasang mata diam-diam memperhatikannya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai sedikit acak, jaket hitam tipis yang ia kenakan membuat penampilannya semakin menarik perhatian.
Beberapa siswa laki-laki bahkan terang-terangan mencoba menyapa dan menggoda. Tapi Alvyna tetap bersikap dingin. Ia hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada makanannya atau layar ponsel.
Dia sudah punya pacar, walaupun kini mereka tak lagi satu sekolah. Bukan karena putus, tapi karena keadaan yang memaksa mereka berpisah sementara. Dan meskipun status mereka masih terikat, hubungan itu semacam jadi rahasia hanya mereka dan segelintir orang yang tau.
Tiba-tiba, suasana kantin yang semula tenang langsung berubah riuh.
"Aaaaa...!!!"
"Oh my God, pangeran gue datang!"
"El ganteng banget sih! Gue rela deh jadi selingkuhan asal cowoknya kamu!"
Suara para siswi membahana, penuh kekaguman dan histeria. Sumber kehebohan itu baru saja masuk ke kantin.
Alvyna tanpa sengaja mengangkat wajah. Matanya menatap ke arah pintu masuk. Sekelompok cowok tampan, dengan langkah percaya diri, masuk dan langsung menyita perhatian. Tapi hanya satu dari mereka yang berhasil membuat mata Alvyna terpaku sejenak El.
Ya, cowok populer SMA Bintara. Badannya tinggi rambutnya agak berantakan tapi justru terlihat keren. Senyumnya santai dan sorot matanya tajam, memancarkan aura yang membuat siswi-siswi di sekolah itu bertekuk lutut. Tiga sahabat dekatnya mengikuti di belakang, sama-sama menawan, tapi tetap saja El jadi pusat perhatian.
“Ck lebay amat. Padahal mukanya juga biasa aja,” gumam Alvyna pelan, memutar bola matanya sambil lanjut menyuap bakso.
Tangannya juga sibuk menggulir layar ponsel, berpura-pura tidak tertarik meski sempat ada sepersekian detik pandangannya tertahan.
Seseorang mendekat. Suara kursi yang ditarik paksa membuat Alvyna menoleh malas.
"Kiw kiw cewek. Sendirian aja nih? Boleh duduk bareng gak?" tanya Darian, salah satu sahabat El, sambil menampilkan senyum nakalnya.
Alvyna mendesah pelan. "Gak," jawabnya singkat, dingin, tanpa basa-basi. Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak sedang ingin bersosialisasi.
Sempat terjadi kontak mata sebentar antara Alvyna dan El. Hanya sedetik, sebelum Alvyna buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi cukup bagi El untuk menyadari keberadaannya.
Cowok itu tersenyum iseng, lalu mengedipkan sebelah mata padanya dengan gaya genit yang seperti sudah mendarah daging.
“Ck, pengen banget rasanya colok mata cowok itu,” gerutu Alvyna dalam hati, bibirnya mengerucut kesal.
“Pfftt syukurin lo dicuekin,” sahut Sethian sambil menepuk pundak Darian dan tertawa sebelum kabur, meninggalkan Darian yang mendecak kesal.
Alvyna kembali fokus pada layar ponselnya, mencoba mengabaikan semua kekacauan di sekitarnya. Namun tak lama kemudian, suara langkah cepat dan jeritan manja menarik perhatiannya lagi.
Seorang cewek dengan rambut panjang terurai, mengenakan seragam yang sedikit dimodifikasi, berlari menghampiri El lalu langsung bergelayut manja di lengannya. Suaranya cempreng namun manja, dan langsung membuat para siswi lain bergumam tidak suka.
Alvyna yang semula tak tertarik, kini memicingkan mata. Pandangannya menyipit saat mengenali wajah itu.
"Dia? Dia pacarnya El?" gumamnya dalam hati.
Tangannya mengepal di bawah meja. Mata Alvyna menajam penuh emosi. Dia masih menatap Lyra yang tampaknya belum menyadari keberadaannya.
Senyum miring perlahan muncul di sudut bibirnya. "Menarik. Gak nyangka banget kita bakal ketemu lagi. Tunggu aja pembalasan gue bitch." Alvyna tersenyum penuh rencana. Sorot matanya berubah dingin dan tajam.
“El siap-siap. Gue cabut kata-kata gue tadi pagi. Mulai hari ini, gue, Alvyna Rae Damaris, gak akan biarin lo berduaan sama cewek lo itu lagi.”
Drrtt Drrtt
Ponsel Alvyna bergetar di meja. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangkat telepon.
“Halo Alvyna? Ini Mama, mamanya El. Ini benar nomor kamu kan ya?” suara di seberang membuat Alvyna langsung terdiam.
“I-iya tante. Ada apa ya?”
“Kamu sudah jam istirahat kan sayang? Ke Rumah Sakit Mandiri sekarang ya. Mama kamu masuk rumah sakit.”
“APA?! Mama masuk rumah sakit?! Kapan? Kenapa? Kok bisa tan!” nada suaranya langsung panik. Kursi ditarik cepat sendok jatuh ke mangkuk, dan ia langsung berdiri terburu-buru.
Beberapa siswa menatapnya heran. El yang semula masih bersama Lyra ikut menoleh, memperhatikan gadis itu yang berlari keluar kantin dengan wajah pucat.
“Hmm? Kenapa tuh anak?” pikir El, matanya mengikuti punggung Alvyna yang menghilang dari pandangan.
Ponselnya ikut berdering. Nama mamanya terpampang jelas di layar.
“Halo Ma?” sapanya sambil berjalan keluar kantin.
“Cepat ke Rumah Sakit Mandiri sekarang. Gak pake nunda-nunda!” perintah mamanya langsung, tanpa menjelaskan apa-apa.
“Loh ada apa Ma? Mama kenapa?” tanya El khawatir.
“Nanti Mama jelasin. Sekarang langsung ke sana!” Tut. Telepon diputus sepihak.
El menatap layar ponselnya beberapa detik. Alisnya berkerut bingung. “Apa sih yang terjadi?”
“Sayang kenapa?” tanya Lyra manja, masih bergelayut di lengan El.
“Mama nyuruh ke rumah sakit. Katanya penting banget gue cabut dulu ya.”
Lyra langsung merengut. “Gak! Aku gak izinin kamu pergi! Kamu harus temenin aku di sini! Aku bakal ngambek!”
El menghela napas berat. Ini bukan pertama kalinya Lyra bersikap seperti ini. Sudah terlalu sering kata ‘putus’ keluar dari mulut Lyra hanya karena masalah sepele. Dan tiap kali penyelesaiannya selalu sama. Tanpa banyak bicara, El merogoh saku celananya mengambil kartu kredit, dan menyodorkannya ke tangan Lyra.
“Seratus juta cukup? Belanja puas-puas. Gue harus pergi sekarang.”
Seketika, wajah Lyra berubah cerah. “Makasih, sayang! Tapi kamu janji ya besok temenin aku belanja?”
“Hmm,” sahut El dingin, sebelum melepaskan diri dan berjalan cepat keluar dari kantin.
Ketiga sahabatnya Darian, Sethian, dan Arsenio hanya bisa menggeleng lelah.
Drama El dan Lyra selalu seperti itu. Dan selalu diselesaikan dengan satu solusi adalah uang. Sepertinya, kalimat “uang berkuasa atas segalanya” itu memang nyata.