Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memberi pelajaran
Emosi Nana semakin bertambah mendidih saat mendengar ucapan Samuel. Namun, kali ini dia harus berusaha untuk tidak terpancing emosi.
Meledak-ledak, hanya akan merugikan dirinya sendiri.
Nana kemudian melangkah mendekati Samuel. Dia tersenyum miring ke arah pria itu.
"Yakin, kamu sanggup bayar aku?" tanya Nana dengan suara penuh penekanan. "Secara, gaji kamu cuma belasan juta saja kan, perbulan? Bahkan, beli satu tas untuk aku saja, gaji kamu nggak akan cukup, Sam! Ngaca deh, makanya! Nggak semua perempuan bisa langsung gila hanya gara-gara kamu sodori uang receh kamu yang nggak seberapa itu."
Mata Samuel langsung melotot. Tinjunya mengepal dengan erat. Kata-kata Nana sungguh menghina dirinya.
"Jadi, kamu benar-benar jual diri, ya?" tanya Samuel sembari tertawa mengejek.
Namun, Nana tetap bersikap biasa-biasa saja. Semakin dia bertindak impulsif, maka semakin Samuel akan menghinanya.
"Mau aku jual diri atau nggak, apa hubungannya sama kamu?" ujar Nana balik bertanya.
Samuel langsung tertawa kencang.
"Dasar perempuan murahan kamu, Na! Kamu benar-benar perempuan nggak tahu malu. Tadi, kamu menyangkal dan sekarang kamu malah mengakuinya? Aku bilang juga apa? Kamu nggak akan pernah bisa hidup kalau bukan Edward yang menghidupi kamu."
"Lagi ngomongin diri sendiri, ya?" balas Nana dengan santainya. "Bukannya, selama ini kamu juga hidup dari hartanya Edward? Motor sport kamu, pakaian-pakaian branded kamu, bahkan apartemen yang sekarang kamu huni, bukannya semua pemberian Edward, ya?"
"Aku sahabatnya. Wajar kalau dia memberi semua itu untuk aku."
"Dan, aku istrinya. Perempuan yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya. Aku lebih berhak menikmati hartanya dibanding siapapun."
Lagi-lagi Samuel tertawa. Apa yang dikatakan Nana memang benar. Namun, Samuel tidak mau mengakui semua itu.
"Tapi, sayangnya kamu kalah sama Silva," ujarnya dengan nada meremehkan.
"Tentu saja aku kalah. Pelakor kan memang bersedia melakukan segalanya demi uang. Bahkan, jual harga diri saja, dia mau. Tidak tahu malu."
"Silva bukan pelakor. Dia berbeda dari kamu. Dia perempuan terhormat!" sergah Samuel yang tidak terima jika wanita pujaannya dijelek-jelekkan orang lain.
"Perempuan terhormat?" Kali ini, justru Nana yang tertawa kencang. "Perempuan terhormat mana yang selalu menempel pada suami orang, hah?"
Samuel langsung terdiam. Terlebih lagi, bisik-bisik pengunjung lain terlihat mulai menyudutkan dirinya.
"Aku," Nana menunjuk dirinya sendiri. "Sekalipun akan bercerai dari Edward, tapi aku nggak akan jadi pelacur, kok. Aku masih punya banyak sahabat yang bersedia menampung aku. Jadi, kamu nggak usah khawatir! Aku nggak akan jadi tunawisma sekalipun aku nggak tinggal di rumah Edward lagi."
Nana menjeda sejenak sebelum melanjutkan. "Daripada kamu sibuk mengurusi aku, mending kamu urusi diri kamu sendiri saja! Fokuslah supaya pelakor dukungan kamu bisa segera jadi istri sah! Dan, jangan lupa! Minta pada Edward untuk segera menandatangani berkas persetujuan cerai yang aku ajukan!"
Setelah puas mengajak Samuel berdebat, Nana pun berjalan meninggalkan pria itu yang kini hanya bisa terdiam karena kehabisan kata-kata.
"Sejak kapan Nana jadi bisa setenang itu? Bukannya, dia selalu meledak-ledak kalau sedang aku hina?" gumam Samuel dengan suara kecil.
Reaksi Nana sangat jauh dari ekspektasinya. Seharusnya, Nana bertindak seperti orang kesurupan saja seperti biasanya agar mempermalukan dirinya sendiri didepan orang-orang.
Namun, hari ini perempuan muda itu justru bersikap begitu tenang dan rasional bahkan tak segan-segan membalas perkataan Samuel dengan kalimat-kalimat yang tak kalah menohok.
*
*
*
"Kenapa beli makannya lama sekali?" tanya Rossa dengan wajah cemberut.
"Maaf, tadi ada insiden sedikit," jawab Nana. Makanan yang tadi dia beli di restoran, kini ia letakkan didepan Rossa.
"Insiden apa?" Rossa mulai membuka bungkus makanan itu dan memindahkannya ke atas piring satu persatu.
"Aku ketemu salah satu temannya Edward."
"Siapa?"
"Samuel."
"Si tukang julid itu?" tebak Rossa.
Dan, Nana mengangguk mengiyakan. "Kenapa lagi sama laki-laki mulut lemes itu?"
Nana menarik napas panjang. "Dia bilang kalau aku jadi pelacur semenjak keluar dari rumahnya Edward."
"What?" pekik Rossa dengan suara melengking. "Kurang ajar sekali manusia itu. Perlu aku kasih pelajaran, nggak?" tanya Rossa lagi.
"Kayaknya... memang perlu," angguk Nana setuju.
Rossa pun langsung tersenyum jahat. Ini momen yang dia tunggu-tunggu.
Sebenarnya, Samuel adalah salah satu manager di perusahaan keluarga Rossa. Selama ini, kinerjanya cukup buruk dan sering bolos namun mereka berusaha memaklumi karena menghargai Nana.
Kakak Rossa tahu bahwa Samuel adalah sahabat baik Edward. Dan, karena Edward adalah suami dari sahabat adiknya sekaligus menantu dari keluarga Howarts, maka Kakak Rossa menganggap bahwa Samuel juga salah satu orang yang harus dia hargai.
Namun, karena Nana dan Edward akan bercerai, bukankah seharusnya Rossa bisa meminta sang kakak untuk menindak tegas Samuel?
"Kalau dia dipecat, apa kamu akan keberatan, Na?" tanya Rossa.
Dia ingat, jika Nana selalu membela para sahabat Edward selama ini.
"Nggak sama sekali," jawab Nana. "Biarkan saja dia dipecat. Aku ingin lihat, apakah Edward dan Silva akan membantunya mencari pekerjaan atau tidak." Ia menyeringai sinis.
"Oke. Aku suka ini, Na! Sumpah!" ujar Rossa bersemangat.