Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Pulang sekolah Nahla mampir ke rumah ibuk, tentu saja disambut sumringah oleh perempuan yang telah melahirkan dirinya ke dunia itu.
"Nah gitu dong, sering-sering mampir, walau jangan keseringan juga. Bagaimana kabarmu Nduk?" tanya Ibu sumringah menyambut putrinya.
"Baik Buk, alhamdulillah baik. Ibu sehat? Bapak belum pulang ya?" tanya Nahla mengambil duduk. Tidak bisa sesuka hati berkunjung, niat hati ada tetapi kadang waktunya yang kurang bersahabat.
"Belum, sebentar lagi, ada pesan?" tanya Ibu memastikan.
"Nggak ada Buk, hanya saja mau pinjam motor Nahla, mau Nahla bawa untuk dipakai lagi. Di rumah ada sih, tapi Nahla lebih nyaman pakai itu. Nggak pa-pa kan Buk?" pinta perempuan itu sedikit tak enak.
"Loh ya nggak pa-pa, ambil aja, emangnya Hanan nggak nganter ya Nduk?"
"Bukan itu Buk, hanya saja jadwal pulang aku dan Mas Hanan beda, daripada Nahla naksi setiap hari, udah gitu malas nunggunya. mending bawa motor sendiri praktis," ujarnya penuh solusi.
"Owh begitu, yo ndak pa-pa ambil saja, toh di sini juga tidak dipakai, ibuk bisa dianter bapak, atau pakai motor Tio."
"Duh ... maaf ya Buk, apa ambil motor satu lagi aja, nanti ibuk repot lagi kalau mau ke mana-mana."
"Nggak Nduk, bawa saja."
Sebenarnya di rumah ada satu motor matic, hanya saja merasa tidak enak karena sering dipakai belanja simbok dan jemput sekolah Icha. Niat hati pengen beli, nggak sampai hati bilang ke suami. Iya, Nahla belum sedekat itu dengan suaminya walau sudah berminggu-minggu hidup bersama. Apalagi perangai Mas Hanan akhir-akhir ini yang cukup membingungkan, kadang membuat Nahla serba salah.
Sore itu setelah dari rumah Ibuk dengan motornya Nahla pulang. Seperti biasa berganti mengurusi Icha karena sore hari simbok pulang. Menemani belajar, dan mengurusi keperluannya. Gadis kecil itu pun sangat senang karena memang dari awal sudah lengket dengan Nahla. Bahkan, anak sambung itu berasa dengan ibu kandung. maklum, Icha kecil tidak pernah merasakan sedekat itu dengan ibunya.
Hanan yang pulang sedikit heran melihat motor yang tak asing itu sudah terparkir di garasi rumahnya. Pria itu langsung masuk kamar yang ternyata sepi. Beranjak ke kamar Icha, ternyata benar anak dan istrinya berada di sana.
"Baru pulang Mas?" sapa Nahla begitu mendapati suaminya menemuinya, lebih tepatnya berkunjung ke kamar Icha.
"Iya, itu motor kamu di luar?"
"Iya Mas, tadi pulangnya mampir bentar terus pulangnya bawa motorku sekalian," jawab Nahla yang tidak ditanggapi Hanan lagi.
"Sudah mau mandi? Biar aku siapkan air dan gantinya," ujar perempuan itu beranjak. Meninggalkan Icha yang masih bercengkrama dengan ayahnya.
"Iya, gerah," jawab Hanan jelas lelah dan kurang nyaman. Namun, bertemu dengan sikap lembut dan perhatian istrinya langsung seketika membuatnya nyaman.
"Icha tunggu dulu ya, papa mau mandi dulu habis itu main lagi," pamit Hanan beranjak.
Masuk kamar menemukan Nahla yang tengah sibuk menyiapkan ganti.
"Airnya sudah siap Mas, ini gantinya di sini," ucap perempuan itu menginterupsi.
"Makasih ya, aku mandi dulu," ujar Hanan beranjak.
Usai menyiapkan keperluan suaminya, Nahla bermaksud menyeduh kopi dan memasak untuk makan malam. Beruntung tadi sudah minta diberesin simbok lebih dulu jadi tinggal eksekusi. Perempuan itu mencoba menu lain yang agak pedas, menurut Mbak Ajeng, Mas Hanan menyukai pedas sedang.
"Hmm ... aromanya enak banget, masak apa Dek?" tanya Hanan menyusul istrinya ke dapur.
"Cumi Mas, suka nggak? Baru coba menu baru sih."
"Kayaknya enak, kalau yang ini apa?"
"Owh ... ini rawon Mas, Icha kan suka, makanya tadi aku minta simbok buatin. Itu kopinya di meja Mas," ujar perempuan itu sembari sibuk di dapur.
Usai bergelut dengan panci dan kawan-kawannya, Nahla menyiapkan di meja makan. Lalu perempuan itu kembali ke kamar untuk menukar pakaiannya dengan yang bersih. Takut suaminya tidak suka kalau nanti dirinya dekat masih bau masakan.
Perempuan itu kembali ke meja makan dengan tampilan lebih segar dan pakaian rumahan rapih. Hanan yang melihat itu merasa ada sedikit yang berbeda dengan tampilan istrinya yang lebih berwarna dari biasanya.
"Tumben, mau ke mana?" tanya Hanan sedikit pangkling. Ke mana saja itu orang, bukankah itu pakaian yang Nahla pakai setiap harinya. Hanya saja mulai berani sedikit terbuka dan juga memoles wajahnya jika di rumah saja terutama menunggu kepulangan suaminya pulang kerja.
"Nggak ke mana-mana, biasanya juga gini kan Mas, saking nggak pernah kenotice atau emang Mas Hanan yang nggak pernah merhatiin," jawab Nahla mulai gemas dengan tingkah suaminya yang belakangan sedikit hambar. Apakah dirinya tidak semenarik pertama, bahkan belum berbulan-bulan menikah sikap Mas Hanan kadang sangat membingungkan.
Pria itu terdiam, sepertinya sadar dengan apa yang Nahla ucapkan. Apakah benar dirinya terlalu dingin dan tidak sempat memperhatikan istri barunya. Hanan pikir, sama saja dengan hari pertama, cantik, dan sederhana. Walau tetap tidak menunjukkan sisi berlebihan.
"Icha, makan sayang! Mau sama apa? Atau minta dibuatkan menu lain?"
"Ayam aja Ma," pinta Icha menanti diambilkan.
Perempuan itu lebih dulu mengambilkan untuk Icha, dan juga suaminya. Lalu mengisi piringnya. Usai makan malam, Icha langsung kembali ke kamar, sementara Nahla mengemas meja dan piring kotor dibawa ke belakang. Setelah mencuci tangannya bersih, baru beranjak ke kamar. Mas Hanan sendiri masih di ruang tengah, sibuk sendiri dengan gawainya berteman kopi.
Sementara Nahla sibuk menyiapkan soal yang akan diberikan pada anak didiknya untuk ulangan besok.
"Belum selesai? Tidur yuk!" ajak Hanan merangkum bahunya. Menyusul ke kamar setelah mengecek pekerjaan hasil omset hari ini.
"Kamu duluan Mas, aku masih harus merampungkan beberapa soal lagi," jawab Nahla tanpa terusik. Fokus dengan apa yang telah dikerjakan.
"Masih lama nggak, aku nungguin loh," ujarnya mengecup pipi kanannya.
"Lumayan, nanggung," jawab Nahla tahu betul kalau suaminya sudah ngode-ngode begini.
Nahla tetap santai merampungkan pekerjaannya untuk besok. Terserah suaminya mau menunggu atau tidak, merasa kadang mendekati dirinya saat butuh saja, dan itu Nahla rasakan minggu-minggu ini. Padahal pernikahan mereka terbilang baru, masih berjalan tiga bulanan, kenapa Nahla rasa sedikit berbeda.
"Udah, sini!" seru pria itu menepuk sisi kasurnya.
"Maaf Mas, aku sedang datang bulan," jawab Nahla jujur. Ingin tahu juga respon suaminya kalau tengah menginginkan tetapi tertolak lantaran berhalangan tanpa memberitahukan lebih dulu. Apakah pria itu masih bersikap aneh, atau tetap lembut menginginkan dirinya.