Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Garis Takdir
Siang dilamar, malam menikah dan keesokan hari dia harus ditinggal pergi. Secepat itu dunia Nadin berbalik, dan pelakunya kini tengah termenung menatap Nadin yang terbaring dari kejauhan.
Jangankan melakukan malam pertama, hendak mencumbunya saja Zain tidak punya rencana. Bukan karena tidak sudi, bukan pula dia benci, tapi dia tahu jika nekat melakukan hal semacam itu sama saja dengan membunuh istrinya.
Tanpa perlu dijelaskan Zain tahu sebesar apa trauma yang membekas dalam diri Nadin. Walau memang tidak sehisteris pertama kali, tapi ketika didekati Nadin masih terlihat bergetar, dan Zain sadar betul akan hal itu.
Usai puas memandangi Nadin, perhatian pria itu beralih pada layar ponselnya. Zain tersenyum kecut begitu menatap wajah si cuek yang terus mengabaikan pesannya sejak beberapa hari lalu. Entah sesibuk apa Jessica saat ini hingga menjawab pertanyaannya saja tak sempat, padahal akun sosial medianya tetap aktif.
Zain tidak ingin mempermasalahkan hal itu, dia berpikir positif dan mungkin saja Jessica tengah menikmati waktu bersama rekan-rekan dokternya di sana. Satu persatu Zain menggeser foto Jessica, wanita tercantik di matanya saat ini setelah Amara, sang mama.
Senyumnya manis, gelak tawanya terdengar begitu bahagia di salah-satu video yang dia unggah di akun pribadinya. Semakin lama dia pandangi, rasa bersalah terhadap wanita itu juga semakin nyata.
Matanya mengembun, Zain agak cengeng sebenarnya. Bahkan, dia nekat sampai mabuk kemarin malam lantaran merasa diabaikan Jessica yang sudah begitu lama tak bertemu. Sepele memang, hanya karena Jessica tak menanggapinya, Zain marah hingga mencari kesenangan bersama teman-temannya.
Begitulah awal petaka yang pada akhirnya membawa Zain pada garis takdir yang tak dia duga, menikahi Nadin malam ini. Kendati demikian, dia tidak menyalahkan Jessica, pria itu tetap merasa bersalah pada akhirnya.
Malam ini Zain masih melihat dengan jelas sebahagia apa Jessica dengan pilihannya. Menjadi dokter di salah-satu rumah sakit negara maju di usia muda telah dia gapai, dan sebagai pasangan Zain turut bangga.
Akan tetapi, Zain tidak dapat menjamin Jessica tetap sebahagia itu andai tahu jika dirinya telah menikah. Seketika, Zain menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya.
"Maafkan aku."
Hanya kata itu yang Zain utarakan, hadirnya Nadin bukan termasuk bagian dari rencananya. Hanya saja, untuk lepas tanggung jawab juga tidak bisa, Zain akan merasa lebih berdosa andai tidak menikahinya.
Lama berselang, lamunan Zain buyar begitu menyadari pergerakan Nadin. Melihat sang istri yang berusaha bangun, Zain bergegas menghampirinya. "Mau kemana?"
Pertanyaan sederhana yang lagi-lagi membuat Nadin sedikit bergetar, tapi dia tidak menolak kala Zain menahan tubuhnya yang kebetulan masih terasa sedikit lesu.
"Ngigau?"
Nadin mendongak, walau pertanyaan Zain agak sedikit aneh, tapi pria itu masih menjawab serius. "Kamar mandi."
Tanpa bertanya dirinya bersedia dibantu atau tidak, Zain tetap menuntunnya untuk berjalan ke kamar mandi. Walau sebenarnya mungkin bisa, tapi dikhawatirkan sang istri jatuh atau semacamnya.
Begitu tiba di depan pintu, Zain juga cukup sadar diri dan tidak perlu menunggu diteriaki, dia menunggu di luar dengan sabar. Walau statusnya sudah jelas-jelas istri, tetap saja Zain tidak selancang itu.
Tak berselang lama, Nadin kembali dengan wajah yang tampak basah. Besar kemungkinan dia sengaja dan hal itu membuat Zain melayangkan protesnya. "Kenapa cuci muka?"
"Gerah," jawabnya singkat dan berlalu melewati Zain yang mengekor dan memantaunya dari belakang.
Hingga Nadin kembali berbaring, Zain terus awasi lantaran khawatir sang istri kenapa-kenapa. Malam ini memang keduanya belum banyak bicara, Nadin juga lebih banyak tidurnya sementara Zain yang tak bisa tidur terus terjaga hingga keesokan harinya.
.
.
Nadin tak tahu akan hal itu, dia pikir Zain istirahat juga setelah memeritnahkan dirinya tidur segera, nyatanya hingga matahari mulai meninggi dia belum tidur juga.
Padahal, jadwalnya cukup padat hari ini. Nadin tahu jika sang suami harus pergi ke luar kota seperti yang dia katakan kemarin, tapi pria itu masih meluangkan waktu mengantarnya pulang lebih dulu.
Tanpa mengeluh, Zain terlihat begitu tulus walau sesekali menguap di mengusap matanya. Sepanjang perjalanan dia berusaha untuk fokus, hingga tiba depan gang sempit yang dikelilingi penduduk nan padat di ibu kota, Zain terjaga sejaga-jaganya.
Tidak ada lagi rasa kantuk, matanya membola begitu Nadin benar-benar turun usai mengatakan jika mereka hampir tiba. "Kamu serius pulangnya kesini?"
"Iya, kamarku yang paling ujung ... kayaknya rada kotor bekas banjir kemarin, jadi Bapak nggak bisa kalau mau mampir."
"Hah?" Zain mengerutkan dahi, ucapan Nadin sedikit aneh terdengar di telinganya.
"Ma-maksudnya cukup antar sampai di sini, Bapak juga banyak kerjaan ... lagi pula bukannya Bapak sendiri yang bilang hari ini harus keluar kota?"
Diam, tidak ada jawaban dan hanya ada bisikan angin yang memecah keheningan. Entah kerasukan apa Nadin yang tiba-tiba kembali ke mode formal, padahal kemarin dia tidak begini. "Berhenti memanggilku begitu di luar, aku tidak setua itu sampai harus dipanggil bapak."
"Ehm, maaf."
Masih baru, jadi tidak apa dia melakukan kesalahan. Kembali fokus pada topik pembicaraan, Zain memerintahkan Nadin berkemas dan pindah segera.
"Hm? Kenapa begitu? Sayang uangnya, umi udah bayarin buat setahun," tolak Nadin tak bersedia jika harus pindah, dan hal itu jelas saja membuat Zain mengelus dada.
"Nanti aku ganti uangnya, kita cari tempat tinggal yang lebih layak dari tempat ini mau ya?" Sedikit lebih lembut, Zain merayu kali ini, tapi pendirian Nadin memang sekuat itu sialnya kemarin Zain iya-iya saja ketika sang istri mengatakan tetap ingin tinggal di sana.
"Kenapa tidak mau?"
"Di sini nyaman, dekat kampus jadi aku bisa santai dan ibu kostnya baik."
"Nyaman? Aku rasa tempat ini sangat sempit, rawan banjir lagi, apa nyamannya?"
"Banjirnya tidak tiap hari, hanya sesekali ... itu juga kalau sudah hujan deras."
"Sama saja, tetap tidak nyaman sepenuhnya."
Begitu banyak omelan Zain, tapi Nadin memilih mengabaikan sang suami dan tetap membuka kamarnya. Bagi Nadin, kamar itu sangat nyaman walau di mata Zain sempit atau semacamnya.
Saat ini Nadin lebih teguh pendirian, lagi pula andai pindah juga percuma, toh Zain harus pergi siang ini juga. Ketika masuk, Zain tampak memandang sekeliling ruangan, sebenarnya tidak begitu kecil, sangat cukup untuk berdua, dia saja yang berlebihan.
Juga, Nadin sempat mengatakan jika kost-nya kebanjiran, tapi nyatanya tidak begitu kotor, wajar saja jika Nadin sempat mengatakan ibu kostnya baik. Kendati demikian, tetap saja kamar Nadin terlihat apa adanya. Tidak ada fasilitas mewah di sini, hanya ada tempat tidur dan meja belajar di satu ruangan itu, sementara sisi kanan ada kamar mandi dengan ukuran kecil, seperti fasilitas kost-kostan pada umumnya saja.
"Dapurnya mana?"
"Tidak ada," jawab Nadin membuka tirai kamar agar cahaya yang masuk lebih sempurna.
"Lalu makanmu bagaimana? Beli?" terka Zain kini duduk di tepian tempat tidur demi memastikan seberapa nyaman kasurnya.
"Iya beli, aku tidak bisa masak soalnya."
Zain memijat pelipisnya, seketika dia mengingat ucapan dokter yang sempat memeriksa sang istri. "Pantas saja."
"Pantas? Apanya yang pantas?"
.
.
- To Be Continued -