6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Jalan Berdua
Senyum kecil terukir ketika teringat ucapan terakhir dari pria yang tidak dia kenali. Baik, tapi tak ada bedanya dengan adik juga persepupuannya, dingin dan datar. Lala lebih suka dengan pria yang hangat karena bisa diajak bertukar cerita juga bercanda.
Senyum itu seketika hilang ketika bayang Devan muncul. Dia membayangkan jika Devan tengah bersama Lea di Bandung. Lala memilih merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata daripada harus mengingat orang yang membuatnya terluka.
.
Bandung.
Seorang lelaki masih setia menunggu penghuni kos putri yang ingin dia temui malah pergi dan belum juga kembali. Waktu sudah hampir mau Maghrib, tapi Lea belum juga pulang.
Ojek online berhenti tepat di depan kosan. Devan segera berdiri dan segera memanggilnya.
"Lea!"
Perempuan itu terkejut ketika melihat siapa yang sudah ada di depan kosannya. Senyuman manisnya masih Lea ingat dan segera dia menghampiri temannya itu.
"Kok gak bilang mau ke sini?" tanya Lea yang juga terlihat bahagia.
"Mau ngasih kejutan." Lea malah tertawa dan matanya mulai mencari seseorang.
"Lala mana?"
Biasanya Devan datang ke Bandung bersama Lala. Dan mereka akan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan menikmati kulineran di Bandung.
"Gua sendiri ke sini."
Lea terkejut. Tidak biasanya Devan berani ke Kota ini sendirian.
"Ya udah, masuk yuk."
Kosan putri tersebut memang menyediakan ruangan khusus untuk menerima tamu.
"Mau minum apa?"
"Enggak usah, Le."
"Jangan gitu dong. Lu kan tamu gua."
Lea mulai sibuk menyiapkan minuman juga cemilan yang ada di dapur umum. Devan tersenyum karena ini salah satu hal yang membuat dirinya jatuh cinta pada Lea.
"Masih ingat aja minuman kesukaan gua."
Lea malah tertawa. Dan pandangan Devan tak bisa lepas dari wajah cantik Lea. Semakin dewasa kecantikan Lea semakin terpancar.
"Lu nyampe sini jam berapa?"
"Jam dua belasan."
Lea terkejut mendengarnya. Wajahnya mulai menunjukkan raut penuh rasa bersalah.
"Udah lama dong lu nungguin gua?" Devan pun mengangguk.
"Sorry," sesal Lea.
"Its okay. Lu gak salah kok," balas Devan dengan masih menyunggingkan senyum.
"Tapi, gua gak enak sama lu, Van."
"Enggak apa-apa, Lea. Beneran enggak apa-apa."
Tetap saja Lea merasa bersalah. Hingga sebuah kalimat terucap dari bibirnya.
"Sebagai permintaan maaf gua, besok gua akan temenin lu keliling Bandung."
"Serius?" Terlihat Devan sedikit tak percaya.
Lea menganggukkan kepala dengan senyum yang terukir indah. Kebahagiaan pun menyelimuti hati Devan.
.
Sudah tiba di depan kosan Lea dengan wajah yang begitu berseri. Menunggu sang pujaan hati menghampiri. Selang sepuluh menit Lea datang dengan senyum cantiknya. Tak segan Devan membukakan pintu mobil untuk perempuannya.
"Suka lebay deh," ucap Lea dengan senyum manisnya.
"Sekali-kali enggak apa-apa kan."
Selama di perjalanan banyak hal yang mereka ceritakan hingga tercipta gelak serta tawa ketika mereka mengingat hal lucu di masa SMA.
"Sakit perut gua, Van."
Wajah Lea sudah merah saking kerasnya ketawa. Banyak cerita di mana mereka masih menjadi remaja nakal.
Jalan-jalan berdua di Braga dengan Lea adalah keinginan Devan sejak lama. Pasalnya, jika ke tempat itu pasti bertiga. Devan melihat tangan Lea yang lengang, ingin sekali di genggam. Tapi, dia juga harus tahu batasan. Dan hanya sebuah hembusan napas yang mampu dia keluarkan.
"Gimana kuliah lu?"
"Sebentar lagi koas."
Lea memilih masuk ke fakultas kedokteran berbeda dengan Lala juga Alfa. Dia ingin seperti kedua orang tuanya.
"Berapa lama koasnya?"
"Paling sebentar satu setengah tahun," jawab Lala sambil menikmati cemilan yang sudah ada di tangan.
Di saat dirinya sudah lulus, Lea masih harus menjalani proses kedokterannya. Dan sudah pasti dia harus kembali sabar menunggu Lea.
"Gua akan nikah kalau gua udah menyandang titel dokter."
Devan masih ingat betul ucapan Lea. Namun, dia meyakini jika dia sanggup menunggu. Enam tahun saja dia bisa sabar, satu setengah tahun bukan waktu yang lama.
Di tengah asyiknya obrolan, ponsel Lea bergetar. Devan yang sedari tadi memperhatikan sedikit merasa curiga dengan mimik wajah Lea. Tangannya terus menari-nari di atas layar, juga bibirnya tak henti melengkungkan senyum penuh arti.
"Lagi chatan sama siapa?"
Cukup lama Devan didiamkan oleh Lea, deheman pun sengaja dia keluarkan. Pandangan Lea mulai tertuju pada Devan.
"Asyik banget," sindirnya.
"Sorry. Lagi bahas tugas."
Lea meletakkan ponselnya. Mimik wajah Devan sudah kesal.
"Oh iya, katanya ada yang mau diomongin?"
Semalam Devan mengirim pesan jika ada yang ingin dia katakan ketika pergi berdua. Lea mulai menanyakannya. Devan sedikit ragu, dia pun masih membeku.
"Van."
"Minggu depan lu bisa pulang ke Jakarta gak?"
Dahi Lea mengkerut mendengar pertanyaan Devan. Sorot matanya tengah menelisik wajah Devan yang berubah.
"Gua mau ajak lu ke suatu tempat."
Lea terlihat berpikir. Dia kembali mengecek ponsel di mana semua jadwal untuk satu Minggu ke depan sudah dia tuliskan.
"Sorry, Van. Minggu besok jadwal gua full banget."
"Weekend pun?" Lea mengangguk.
Siluet kekecewaan hadir di wajah lelaki itu. Biasanya Lea bisa saja pulang ketika dia atau Lala memintanya. Namun, kali ini jawaban Lea malah di luar ekspektasinya.
"Mendekati semester akhir gua harus belajar ekstra. Belum lagi persiapan koas. Jadi, gua gak bisa terlalu sering pulang ke Jakarta."
"Tapi, apa boleh gua sering main ke sini?"
Lea malah tertawa. Menatap Devan yang terlihat lucu.
"Sejak kapan gua ngelarang lu ke sini?"
Devan tersenyum dengan kepala yang mengangguk kecil. Dia kembali harus menunda ungkapan perasannya karena dia tak ingin membuat Lea tidak nyaman.
"Kayaknya harus lebih lama lagi buat deketin Lea."
Mereka kembali asyik berbincang. Di tengah obrolan yang ngalor ngidul, Lea mulai menatap Devan.
"Van, kok nomor Lala enggak aktif ya?"
"Serius?"
Devan nampak terkejut. Dia segera mengecek ponsel dan lengkungan senyum terukir di wajah Lea melihat sikap Devan yang tak berubah. Selalu mengkhawatirkan Lala.
"Van, gua ke toilet sebentar, ya."
Hanya anggukan kecil sebagai respon. Pikirannya masih terfokus pada Lala yang tidak biasanya sulit untuk dihubungi. Dan dia juga baru sadar ternyata sudah dari kemarin pagi ponsel Lala tidak aktif. Semua pesannya hanya terkirim.
"Lu ke mana, La?"
Panggilan aplikasi pesan maupun panggilan telepon biasa tak ada jawaban. Hanya suara operator yang menjawab panggilannya. Dia mencoba menghubungi Alfa, tapi Devan tidak bisa berharap banyak. Alfa tak pernah menjawab panggilannya.
Suara getaran ponsel di hadapannya membuat atensi Devan teralihkan. Dia mencoba melihat siapa yang menghubungi Lea.
Devan segera meletakkan ponselnya ketika melihat nama lelaki tersebut. Menelisik foto profil seorang pria tampan dan terlihat matang. Atensinya teralihkan ketika Lea sudah datang. Bibir mungil itu melengkungkan senyum ketika melihat layar ponselnya.
"Iya, A--"
"Aa?"
...**** BERSAMBUNG ****...
Mana atuh komennya?
next... pasti Lala makin posesif sama mas Bri , apalagi kalau ada feeling yang kurang baik .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍