Menjadi aktris baru, nyatanya membuat kehidupan Launa Elliza Arkana jungkir balik. Menjadi pemeran utama dalam project series kesukaannya, ternyata membuat Launa justru bertemu pria gila yang hendak melec*hkannya.
Untung saja Launa diselamatkan oleh Barra Malik Utama, sutradara yang merupakan pria yang diam-diam terobsesi padanya, karena dirinya mirip mantan pacar sang sutradara.
Alih-alih diselamatkan dan aman seutuhnya, Launa justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Barra, hingga ia terperosok ke dalam jurang penyesalan.
Bukan karena Barra menyebalkan, tapi karena ia masih terikat cinta dengan sahabat lamanya yaitu Danu.
“Lebih baik kau lupakan kejadian semalam, anggap tidak pernah terjadi dan berhenti mengejarku, karena aku bukan dia!” ~Launa Elliza
“Jangan coba-coba lari dariku jika ingin hidupmu baik-baik saja.” ~ Barra Malik Utama
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erma Sulistia Ningsih Damopolii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 22 Mual
“Awas!” Pekik pria itu saat preman tersebut hendak melayangkan sebuah tusukkan di punggung Launa. Beruntung pria yang sering dipanggil Bara itu, berhasil menendang tangan preman tersebut hingga pisau yang ia pegang terpental jauh.
Preman itu membeliak lalu hendak buru-buru mengambil pisau itu kembali namun dengan sigap Bara menendang kakinya hingga pria paruh baya itu tersandung.
“Launa cepat ambil pisaunya, jangan sampai ada korban lain lagi.” Pekik Bara yang langsung Launa tanggapi. Tanpa menunggu lama, benda tajam itu kini sudah beralih ke tangan Launa.
Melihat senjata tajamnya sudah ada di tangan Launa, wajah pria asing itu kian memucat lalu kemudian lari tunggang langgang tanpa berani melawan dengan tangan kosong meninggalkan dua orang itu di taman.
Petir mulai terdengar, menggelegar bersamaan dengan curahnya hujan. Launa maupun Bara berlari menuju halte untuk berteduh.
Pria itu bergegas membuka jasnya yang belum terlalu basah, untuk diselimuti ke tubuh Launa yang sudah basah kuyup.
Sepasang netra cantik itu menatap Bara dari jarak yang begitu dekat. Wajah tampan Bara nampak mempesona di bawah temaram lampu halte, namun begitu tersadar, Launa segera mengalihkan pandangannya. Deru nafas Launa yang kian tak menentu, karena masih takut dan syok akan kejadian tadi, terdengar jelas di telinga Bara hingga ia menatap lekat wajah pucat Launa.
“Tidak usah takut, ada aku di sini.” Ujar Bara dan Launa pun menoleh ke arahnya lagi hingga tatapan keduanya terkunci. Lagi-lagi, Launa menghindari tatapan Bara dengan kembali mengalihkan pandangannya.
“Terimakasih sudah menolong saya.” Ujar Launa namun tidak semudah itu, sejak kapan ada yang gratis? Bara pun mencekal pergelangan Launa. Tidak kasar, tapi bukan berarti lembut juga.
“Aku antar kamu pulang.”
“Tapi kan aku bawa mobil.” Ucap Launa menolak ajakan Bara namun pria itu tak mengindahkan ucapannya.
Tanpa kata, Bara menarik pergelangan tangan Launa dan memaksa wanita itu tetap masuk ke mobilnya yang kebetulan terparkir di depan halte. Tanpa peduli wanita itu mau atau tidak, yang jelas saat ini Bara akan segera mengantarnya pulang.
Baru saja saling mengenal, tapi pria itu sudah menggila dan memaksa Launa menjawab pertanyaannya.
“Bukan urusanmu.” Ketus Launa kembali ke setelan pabrik seakan lupa dengan kebaikan Bara yang tadi sempat menyelamatkan nyawanya. Hanya sesaat ia tersanjung, namun setelahnya Launa kembali ke mode ketus.
“Sudah makan?” Tanya Bara keluar dari topik utama.
Launa mengangguk namun perutnya tak bisa diajak bicara. Tanpa malu, anggota tubuh Launa yang satu itu berbunyi dan itu tertangkap jelas di telinga Bara hingga membuat pria itu mengukir senyum lebarnya.
Saat bersama Danu di cafe tadi Launa tidak sempat pesan makanan karena terlalu fokus memikirkan perasaannya terhadap Danu.
“Makanya kalau ditanya jujur, jangan sampai nanti anggota tubuhmu yang berbicara.” Celetuk Bara seraya menggeleng-gelengkan kepala dan tak henti-hentinya tertawa.
Jika saja Bara tidak berjasa dalam hidupnya malam ini, sudah Launa tendang pria itu dari mobil ini, tak peduli meskipun itu mobil siapa.
Akhirnya, tanpa bertanya ingin makan apa, Bara kini memilih salah satu restoran terdekat demi membuat wanita ini lebih baik. Perihal mau di bawa kemana dia nantinya, Bara juga tidak begitu peduli.
Sejak tadi Bara tidak mengalihkan pandangannya, wajah manis dan cantik. Begitu enak dipandang, cara makannya pun sama, tidak ada yang berbeda. Bara menopang dagu dan menarik sudut bib*r semanis mungkin tanpa Launa sadari. Mana mungkin dia berani bersikap sekonyol itu saat tertangkap mata Launa.
Entah karena terlalu merindu atau karena ada sosok Amelia di diri Launa hingga membuat Bara menganggap Launa kekasihnya. Meski demikian, dia tidak memperlihatkan betapa gilanya dia kala menemukan Launa.
Di saat keduanya sedang makan di sebuah restoran mewah, di sudut sisi yang lain dua pasutri paruh baya itu tengah panik-paniknya menunggu kabar Iva tentang Launa.
“Yah, itu ada telepon dari Iva.” Celetuk Salsa saat melihat nama Iva terpampang di depan layar ponselnya.
Dengan segera, Kevin menjawab telepon ponakan perempuannya itu dengan harapan ada Launa di sana. Pasalnya, ini sudah lewat tengah malam tapi Launa belum juga pulang.
“Halo Va, gimana?”
“Launa tidak ada di rumah Iva Yah.” Jawab Iva yang juga terdengar panik di seberang sana hingga jantung Kevin seakan terhenti.
“Lalu dia di mana sekarang?”
“Iva tidak tau Yah, Iva juga sudah coba hubungi tapi nomor Launa tidak aktif. Sudah Iva coba telepon ke bagian manajemen, katanya Iva sudah pulang empat jam lalu.”
Kevin pun mengusap wajahnya kasar dengan wajah memerah.
“Kemana anak itu?” Kevin bermonolog tanpa sempat mematikan telepon hingga Iva yang di seberang sana masih bisa mendengarnya.
“Launa kemana sebenarnya? Pak Bara juga semalaman ini tidak lembur di kantor padahal katanya akan ikut lembur.” Gumam Iva dalam hati yang mulai menaruh curiga pada keduanya.
Kembali di restoran tadi, Launa mulai merasa mulas di perutnya begitu ia baru menyuapkan sendok terakhir makanannya.
“Uwek!!”
Launa tiba-tiba mual saat baru selesai makan. Karena panik, ia sontak menutup mulut rapat-rapat dengan mata yang juga mendadak berair.
“Kenapa?” Tanya Bara mendadak khawatir dan melupakan kekagumannya sejenak.
Bara yang sejak tadi memang tidak makan segera memijat tengkuk leher Launa.
“Kenapa kamu?”
“A-aku mual.” Jawab Launa gugup. Pikirannya mulai kemana-mana.
“Mual? Apa karena_” belum selesai kalimat Bara, Launa segera berlari ke toilet untuk mengeluarkan semua isi perutnya.
Diikuti oleh Bara yang justru tersenyum simpul di tengah kecemasannya. Semakin cepat Bara melangkah semakin cepat juga kaki Launa berlari.
Dalam setiap langkah yang Launa pijaki, ia terus meratap dan mulai menangis tanpa suara. “Ya Tuhan, jangan sampai apa yang aku takutkan terjadi, padahal aku sudah minum obat yang Iva kasih.”
Setakut itu Launa, seketika wajah orang tuanya terbayang jelas di benaknya. Rasa bersalah menyeruak hingga membelenggu batinnya.
Tak bisa ia bayangkan bagaimana andai nanti wajah kecewa san ayah terlihat jelas di matanya. Pasalnya, trauma akan apa yang menimpah Geona di masa lalu membuat ayah Kevin kian mengkhawatirkan dirinya dan tak bosan-bosan menasehati Launa sampai ia hapal betul setiap kata yang ayah Kevin lontarkan.
Dan sekarang, nasibnya memang sudah sama seperti Geona. Hanya bedanya, Geona sudah bahagia dan menikah dengan pria yang menodainya. Sedangkan dirinya? Jangankan untuk menikah, dikejar-kejar seperti sekarang ini saja sebenarnya dia sudah risih. Pasalnya, Bara masih ada di belakangnya dan kian gencar mengikuti langkah kakinya. Andai memang benar dia hamil, Launa pastikan pria gila itu tidak akan mengetahuinya.
Setengah berlari Launa menuju toilet, begitu sampai di sana, ia buru-buru mengunci pintu toilet hingga Bara tak sempat ikut masuk ke dalamnya.
sorry tak skip..