Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan Menuju Hotel
Bab 9
"Tapi aku memegang kuncinya," ucap Diaz, mengacungkan kunci mobil miliknya di depan mereka. "Masuk!" perintahnya.
BLASH!
"Dan kini ada di tanganku!" seru Eriva. Secepat kilat kunci mobil sudah digoyang-goyang di depan wajah mereka.
Diaz mengatupkan rahangnya, jelas tidak suka diperlakukan seperti ini. Tapi ada sesuatu dalam nada bicara Eriva yang membuatnya mundur dengan enggan. Dia membiarkan Eriva masuk ke kursi pengemudi, meski rasa kesal masih menguasai dirinya.
Samir yang kini kebingungan, hanya bisa pasrah dan masuk ke kursi depan. Diaz duduk di belakang, merasa aneh berada di posisi itu.
“Kalau begini, aku jadi terlihat seperti tamu, bukan tuan rumah,” gumam Diaz sinis dari kursi belakang.
Eriva mendengar komentar itu, tapi hanya tersenyum tipis sambil menyalakan mesin mobil. “Kalau begitu, nikmati saja perannya untuk kali ini.”
Dalam perjalanan menuju hotel, suasana kembali hening. Eriva fokus pada jalanan, Samir sesekali melirik ke belakang dengan tatapan cemas, dan Diaz hanya diam, bersandar dengan pandangan kosong ke luar jendela.
Namun, keheningan itu akhirnya pecah ketika Eriva berbicara tanpa menoleh. “Tuan Diaz, kau sepertinya memiliki banyak cerita yang tidak ingin kau bagi dengan orang lain. Tapi aku penasaran, apa Naura benar-benar hanya masa lalu bagimu?”
Pertanyaan itu membuat Diaz menegang. Dia menatap punggung Eriva dengan tajam, tetapi wanita itu tidak memberikan reaksi apa pun, tetap tenang memegang kemudi.
“Kenapa kau ingin tahu?” tanya Diaz dingin.
“Karena dari caramu melindungi makamnya tadi, terlihat jelas bahwa dia masih menjadi bagian besar dalam hidupmu,” jawab Eriva dengan nada netral.
Diaz mendengkus, merasa tidak nyaman. “Itu urusanku. Tidak ada hubungannya denganmu.”
Eriva hanya mengangguk pelan. “Benar. Tidak ada hubungannya denganku. Tapi terkadang, membicarakan sesuatu yang membebani hati bisa membantu.”
Diaz terdiam, tidak membalas. Hatinya terasa penuh, tapi dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia tahu Eriva tidak sepenuhnya salah. Namun, di sisi lain, dia tidak siap membicarakan Naura dengan siapa pun, apalagi dengan wanita yang baru dikenalnya.
Perjalanan pun berlanjut dalam keheningan.
Suasana dalam mobil terasa semakin berat seiring dengan kemacetan yang sepertinya mulai membuat jalan terhenti total.
Diaz duduk di kursi belakang dengan wajah masam, sementara Samir mencoba untuk tetap tenang di kursi depan, meskipun dia tahu suasana hati Diaz sedang tidak baik.
"Em, Nona. Bagaimana jika kita bergantian menyetir. Anda jangan terlalu lelah." Samir berusaha mengambil hati Eriva.
"Tidak."
'Waduh. Wanita ini sangat teguh pendirian.'
Derrrt!
Derrrt!
Eriva melihat ponsel yang ada di dalam tasnya. "Ya, Kakek."
"Di sini macet."
"Baiklah, baik. Aku pindah ke belakang."
Eriva masih menelepon dengan kakeknya, tapi sambil membuka sabuk pengaman dan memberi kode pada Samir untuk mengambil Alih.
Kini Eriva duduk di belakang, bersama Diaz.
"Iya, Kakek. Maaf. Tidak akan aku ulangi."
Diaz melirik pada Eriva yang kini duduk di sampingnya. "Heh, kenapa? Dimarahi Kakek Guru? Hahaha, kaya anak kecil."
"Apaan sih?! Gak lucu."
"Menurutku itu lebih dari lucu."
"Ish."
Eriva sangat kesal, pada Diaz juga pada Kakek. Diaz yang selalu mengolok. Kakek yang menelpon tidak tepat situasi.
“Aku sudah bilang, Samir. Kenapa tidak ambil jalan lain?” Diaz menggerutu dengan nada kesal.
Samir, yang merasa dirinya jadi kambing hitam, menoleh ke belakang sambil berusaha tetap sopan. “Eh, kok jadi aku yang disalahin? Diaz, mana aku tahu akan ada kemacetan seperti ini? Biasanya jalan ini lancar saja.”
“Ya, biasanya,” Diaz menekankan kata itu dengan nada sarkastik, lalu memijat pelipisnya dengan frustrasi.
"Berhenti mengolok ku. Tuan Diaz, kau sedang menyindirku 'kan? Katakan langsung saja. Jangan Samir kau jadikan alat."
"Ah, kamu terlalu sensitif. Samir memang sering salah ambil jalur."
Eriva menghela napas panjang. Berdebat dengan Diaz tak mungkin selesai dengan baik. Meski dia yakin, Diaz sedang mengoloknya. Dia kan hanya mengikuti rambu lalu lintas, mana tahu jalan alternatif lain. Dan akhirnya Samir jadi sasaran olokan.
“Tuan Diaz, berhenti mengeluh. Kau membuat suasana makin tidak nyaman.”
Diaz melirik Eriva dari sudut mata. Teguran itu membuatnya kesal, tetapi dia memilih untuk tidak membalas langsung. Sebagai gantinya, dia hanya menghela napas berat, tangannya masih memijat pelipis. Namun, saat dia menoleh sedikit, matanya menangkap gerak-gerik Eriva yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah cokelat.
Diaz memperhatikan diam-diam, berpura-pura tetap sibuk dengan pelipisnya. Namun, pikirannya mulai mencari cara untuk mengusik wanita yang terlihat santai menikmati cokelat itu.
'Aku harus mengetesnya,' batin Diaz, senyum tipis mulai muncul di sudut bibirnya.
Dia memulai dengan sebuah dehaman kecil. “Ekhm… Kau suka cokelat, Nona Eriva?” tanyanya tiba-tiba.
Eriva menoleh sedikit, alisnya terangkat. “Tidak,” jawabnya santai.
Diaz mengerutkan kening. “Lalu kenapa kau memakannya?”
“Cokelat ini menggoda, padahal aku tidak suka,” jawab Eriva dengan nada ringan, lalu kembali menggigit cokelatnya.
Diaz menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperhatikan dengan tatapan penuh arti. “Bagaimana bisa cokelat menggoda kalau kau sendiri yang mengeluarkannya dari tas? Bukankah itu pilihanmu?”
Eriva berhenti mengunyah sejenak, lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Tuan Diaz yang terhormat, jangan banyak bertanya. Mengganggu saja. Aku sedang menikmati cokelat ini.” Kini giliran Eriva yang meledek.
Diaz terkekeh kecil, senyumnya penuh godaan. “Harusnya kau makan kacang yang tinggal itu dulu, baru cokelatnya.”
Eriva menoleh lebih tajam kali ini, seolah tersentak oleh ucapannya. “Tapi ini kan…” kata-katanya terhenti, nyaris saja dia keceplosan sesuatu. Dia buru-buru mengalihkan perhatian dengan menggigit cokelatnya lebih keras.
“Kenapa berhenti bicara? Lanjutkan,” sindir Diaz.
Eriva mendengus, mencoba menutupi kecanggungannya. “Sudah, jangan usik aku. Urusi saja kepalamu yang lemah itu. Macet segini saja sudah kelabakan.”
Samir menahan tawa di kursi depan, tetapi Diaz tidak membiarkan itu berlalu begitu saja. “Aku kelabakan ? Tidak. Aku cuma bete, dan itu juga karena kau. Macet ini jadi makin berat rasanya dengan ocehan-ocehanmu yang berisik."
Eriva menoleh lagi, kali ini dengan senyum mengejek. “Kalau begitu, anggap saja cokelat ini obat. Sayangnya, tidak untukmu. We.” Eriva menjulurkan lidahnya seperti anak kecil.
Diaz tidak membalas, hanya mendengkus dan kembali menyandarkan tubuhnya. Sementara itu, Eriva menikmati kemenangan kecilnya, meskipun di dalam hatinya dia mulai bertanya-tanya, bagaimana Diaz tahu tentang kebiasannya memakan kacang dulu yang timbul, sebelum cokelat.
"Tolong supportnya ya. Like komen dan favoritkan novel ini. Jangan lupa gift nya," ucap author yang benar-benar berharap banyak dukungan. Biar semangat menulisnya.
Bersambung...
NB :
Oh ya, kalau ada kata yang typo dan sulit sekali dipahami, tolong koreksi ya. Biar otor perbaiki. Makasih sebelumnya.