Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.29
"Ayah... apa yang terjadi ?" tanya Abrisam tak percaya, ketika melihat kondisi David sang ayah yang seolah tak bergerak.
Dadanya seperti dihempas seribu ombak, menelan pil pahit kenyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dengan mata berkaca-kaca, ia melirik ke arah mama Rani yang gemetar, berusaha menemukan jawaban atas misteri ini.
"Mama... kenapa ini bisa terjadi?" tanya Abrisam dengan suara parau, menatap dalam mata ibunya.
Mama tidak tahu apa-apa, Nak. Tapi mama mohon, tolong selamatkan Ayahmu."
Sebagai putra satu-satunya di keluarga David, dia merasa memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi dan menjaga keluarganya.
Namun, saat ini ia merasa tak berdaya, tidak tahu harus berbuat apa.
" Ya Tuhan, apa yang harus kulakuan ?" ucapnya, wajahnya begitu gusar. Meskipun dia seorang dokter, situasi yang membuatnya panik ini benar-benar menyulitkan untuk fokus. Di satu sisi, sebagai dokter, dia tahu apa yang seharusnya di lakukan.
"Bagaimana cara menenangkan pikiranku, dan menyembuhkan Ayah." pikirannya makin tak karuan.
Sebagai manusia biasa, ia pun bisa merasa takut, gugup, dan panik seperti yang dialami saat ini.
"Kenapa harus sekarang? Saya sudah belajar selama bertahun-tahun menjadi dokter dan kini, saat menghadapi situasi genting ini, saya malah tak mampu fokus untuk keselamatan ayahku sendiri?" batin ku dengan frustrasi.
" Jangan tinggal nangis aja Abi, lakukan sesuatu. Ayo cepat!" desak Rani semakin khawatir.
Rani menatap Abrisam dengan mata berkaca-kaca, tangannya masih gemetar memegang lengan putra kesayangannya. Dalam bibirnya yang pucat, terucap doa memohon pertolongan.
Isak tangisnya semakin keras, seolah menyiratkan betapa cemasnya hatinya.
Dalam detik itu juga, Abrisam membulatkan tekadnya.
Dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Ayahnya, yang selama ini menjadi tiang keluarga dan tempat sandaran bagi mereka semua, kini tengah memerlukan bantuan segera.
" Saya akan berusaha untuk menyelamatkan Ayah, Mama. Percayalah padaku," ujar Abrisam dengan keyakinan yang membuat sang mama bernafas lega. Bagaimanapun, ia harus mencari jawaban yang mereka butuhkan dan segera menyelamatkan ayahnya sebelum terlambat.
Dengan napas terengah-engah dan langkah terburu, Abrisam menggandeng tubuh ayahnya yang semakin lemah, dibantu oleh Pak Toni, sang sopir yang setia. Mereka berdua bergegas membawa sang ayah ke rumah sakit terdekat, seolah tiap detik adalah penentu antara hidup dan mati. Fasilitas medis di rumahnya yang tidak memadai ibarat belenggu yang mempercepat keputusan mereka untuk segera bergerak. Mata Abrisam berkaca-kaca, penuh ketakutan dan doa, agar waktunya tidak terbuang sia-sia dalam pertaruhan antara kehidupan dan kematian.
" "Ayah, bertahanlah!" bisik Rani dengan suara serak, sambil memegang erat tangan suaminya yang mulai dingin.
Kepanikan dan ketakutan akan kehilangan orang yang paling dicintainya membanjiri hatinya. Mata sembabnya tak mampu menyembunyikan ketakutan yang menggema di dadanya yang sesak, "Tidak lama lagi kita sampai di rumah sakit, Ayah. Tolong, jangan menyerah sekarang." Derungan mesin mobil berdengung di telinga, tapi bagi Rani, itu adalah irama paling menakutkan yang pernah dia dengar—detik yang terasa menjadi abadi dalam perjalanan menuju harapan yang semakin tipis.
" Ayah pasti baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir!" ucap Abrisam menenangkan sang mama.
Rasa cemas menggelayuti hati Abrisam, melihat ayahnya, David, dan kondisinya semakin lemah. Meski badai kekhawatiran mengamuk dalam dada, ia memilih untuk mengenakan topeng ketenangan demi menenangkan sang ibu. Dia sangat sadar, detak jantung ayahnya yang tak beraturan itu, seakan menghitung mundur detik-detik akhir kebersamaan mereka. Setiap tarikan nafas ayahnya serasa berat, seolah-olah bisa menjadi hembusan terakhir yang memisahkan nyawa dari raga.
Mobil meluncur cepat mendekati gerbang rumah sakit, ban berdecit saat berhenti tiba-tiba. Beberapa petugas bergegas, sigap membantu membawa David ke ruang IGD dengan penuh urgensi. Di sisi lain, Abrisam mengikuti setiap langkah dengan hati yang berdebar kencang, tak akan tenang sebelum ia dapat memastikan ayahnya mendapatkan pertolongan. Ketegangan terasa menggantung di udara, membayangi setiap detik yang berlalu.
" Mama tidak tahu apa yang terjadi jika terjadi sesuatu dengan ayahmu, Nak. Tolong selamatkan nyawanya.
Besar harapan Rani agar suaminya bisa sembuh dan bisa berkumpul seperti sediakala.
" Akan diusahakan, Ma." ucap Abrisam, ia tidak bisa memberikan janji dengan harapan begitu besar pada saat Mama.
***
Di tengah kesunyian kamar, seorang wanita menjerit seraya mengepalkan kedua tangannya dengan keras. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen paling bahagia kini terancam batal. Matahari menjelang tenggelam, dan begitu juga harapan yang hampir pupus.
"Mengapa semuanya harus berantakan seperti ini? Apa kesalahanku?" ucapnya dalam tangis yang menggema.
Sepuluh menit yang lalu, kabar petir menyambar kebahagiaan mereka, ayah Abrisam calon suaminya mendadak dilarikan ke rumah sakit. Rumah yang seharusnya dipenuhi tawa kini luluh lantak dibalut keheningan dan ketakutan akan hal yang tak pasti. Hatinya remuk, seolah tiap denyutnya mengingatkan betapa rapuhnya keadaan ini.
" Tenangkan dirimu, Sayang. Kita berdoa agar Tuan David segera sembuh dan kalian bisa melanjutkan pernikahan." Maya mencoba membujuk sang putri.
" "Mama, Abrisam pasti akan menolak melangsungkan pernikahan jika melihat kondisi ayahnya saat ini. Bagaimana nasibku? Segala persiapan telah matang, dan besok adalah hari pernikahan kami. Tapi, situasi ini mengancam akan menghancurkan segalanya lagi." Kata Hana dengan suara gemetar, sambil bersembunyi di pelukan ibunya yang hangat. Air mata mengalir membasahi pipi, menggambarkan ketidakberdayaan dan rasa takut yang menggelayuti hatinya.
"Aku tidak tahan jika ini terjadi lagi, Ma." Hana terisak, merasa dunianya berada di ambang kehancuran.
" Sabar sayang, mama dan ayah akan mencari cara agar pernikahan kalian tetap dilangsungkan." tegas Maya di depan putrinya.
Dengan langkah yang terhenti tepat di ambang pintu, Alena mematung sejenak mendengar perkataan Maya.
Air mukanya berubah, penuh kebingungan dan sedikit rasa jengkel terhadap sikap yang tak masuk akal.
“May, Ayah Abrisam sedang sakit parah, bagaimana bisa kalian tetap memaksa dengan tega? Dimanakah letak nurani kalian?” suara Alena menggema, meluapkan rasa tidak setuju atas keputusan tak berperikemanusiaan itu. Dengan setiap kata yang terucap, rasa frustrasi dan ketidakadilan bercampur menjadi satu, membuat suasana semakin tegang.
" Tante tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur dengan urusan keluarga kami?" Hana berdiri, dengan mata melotot ia membantah ucapan Alena.
" "Nak, Hana, Tante sama sekali tidak memiliki keinginan untuk ikut campuri urusan kalian, namun pahamilah keadaan calon suamimu. Ada begitu banyak kesempatan lain untuk menyelenggarakan pernikahan. Jangan terburu-buru," kata Tante Alena dengan suara lembut namun tegas.
Hana menatap Tante Alena dengan mata berkaca-kaca, seraya menjawab dengan suara yang bergetar, "Tapi Tante, bagaimana bisa saya menunda hari yang telah lama kuimpikan? Pernikahan ku tinggal besok, bagaimana mungkin hati ini rela membatalkannya di saat-saat terakhir?" Gelombang emosi menghantam ruangan itu, Hana merasakan guncangan di dadanya yang sesak, ia tetap ingin bertahan untuk melanjutkan pernikahan apa pun yang terjadi.
Dengan suara yang bergetar, pembantu itu mendekat dan menyampaikan kabar yang mengejutkan di tengah pertengkaran yang memanas.
"Nyonya, ada kabar buruk. Dokter Abrisam baru saja menelepon, kondisi Ayahanda semakin kritis. Mereka harus segera membawa Tuan David ke luar negeri untuk pengobatan darurat." Kata-katanya menyeruak bagaikan gelombang yang menyapu keheningan, memaksa semua yang hadir untuk menghentikan pertengkaran dan menyadari betapa gentingnya situasi yang mereka hadapi.
" Oh tidak mungkin, ini tidak boleh terjadi," batin Hana menahan rasa kecewa dalam dada.
" Sabar sayang, sepertinya situasi ini memang tidak memungkinkan, cobalah untuk bersabar lagi ya." Akhirnya Maya ikut membujuk sang putri untuk menunda pernikahan mereka.
" Maaf mama, Hana tetap pada keputusanku.