Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kantor Desa
...Nurhalina...
...────୨ৎ────...
"Buka, dong sayang!" senyum lapar terpancar di wajahnya. Wajah Om-om dengan kumis yang beruban. "Saya udah bayar mahal, loh. Sini!"
Aku masih tak habis pikir. Belum pulih rasa perih dan sakit di tubuhku, kembali aku harus melayani pria hidung belang ini.
Bagaimana bisa aku berada di tempat ini?
Di sini, di kantor ini dulu aku mengurus surat domisili, dan lelaki di sampingku, yang kini sibuk meraba-raba tubuhku, aku ingat betul, beliau lah yang menandatangani surat itu sebelum di cap basah.
Sebenarnya kantor desa sudah tutup dan gelap mulai jam 8 malam. Setelah Puan meninggalkan kami di koridor sambil membawa sejumlah amplop, aku di bawa pria ini menuju ruang kesehatan, di mana kalau pagi sampai sore digunakan untuk melayani masyarakat berobat gratis atau sekedar cek kesehatan.
Dan di sinilah malam yang menyeramkan mengganggu pikiranku. Aku sempat mendengar pembicaraan Puan dan Pria ini, kalau sebenarnya hari ini mereka merayakan 100 wanita yang berarti sudah 100 wanita yang berhasil ditidurinya dan nahas, semua wanita itu ternyata disuplay oleh puan yang dia seleksi dari kabupaten dan kota sekitar.
Jika dia berhasil meniduri 100 wanita, berapa persentase kemungkinan dia mengidap HIV/AIDS?
Ya, tuhan.
Bahkan sekalipun aku belum pernah berciuman dengan lelaki yang aku cintai, tapi kenapa aku harus menanggung penyakit ini jika itu benar akan terjadi.
Aku benar-benar takut. Selain karena takut tertular penyakit HIV, aku takut karena tampak pria berseragam dinas yang terbordir nama Bobbi di atas saku itu mengambil sebilah gunting bengkok yang biasa digunakan untuk menggunting kain kasa.
"Jadi, kamu suka kekerasan, ya?" pekik Bobbi. "Oke, aku juga suka!"
...Breeeetttt...
"Arrrggghhhh," mau sekuat apa pun aku mencoba berbicara tetap saja hanya suara tak jelas yang ku keluarkan, "aaauuuaargghh iiiiuuugggrhh."
...PLAKKKK PLAAKKK...
Dua telapak tangan mendarat di pipi kananku.
"Udah untung, kalian kita rawat!" bentak Bobbie sambil menggunting gaunku dari punggung. "Coba kalau kalian di Dinsos! Kalian bakal disuruh kerja, dilatih kerja, dipaksa bikin kerajinan yang kalian gak suka!"
...PPLAKKKK...
"Hadap sini, loh! Lihatin dadanya!" amuk Bobbi menarik bahuku menuju wajahnya. Aku berusaha sekuat tenaga melawannya, tapi apalah dayaku ketika dua tangan gempal itu memeluk dan meraih ujung gaunku.
"Kalian itu, beruntung. Kami rawat, kami rias, kami kasih makanan sehat biar kalian tetep semok kayak gini, dan tugas kalian itu cuma satu..." dia merobek semuanya, sehingga gaunku terbuka menyisakan kedua lenganku yang menutupi dada, "....ngangkang!"
...PPLAAAKKKK...
Kembali tangan itu menyerempet ujung hidungku dan rasanya begitu panas.
"Buka tangannya!" paksanya, sambil menarik kedua lenganku. "Ayo cantik, aku pingin lihat!"
Tak butuh waktu lama dia berhasil meraih kedua tanganku, membuatnya telentang ke atas, sedangkan lidahnya merayap ke leherku. Menghisap seperti vampir, meninggalkan jejak basah menuruni dada dan bersemayam di lembahnya.
Mungkin untuk sebagian wanita, mereka akan merasakan sensasi enak, nyaman atau mungkin membuatnya ketagihan, tapi jujur ini membuatku mual, ingin muntah, jijik, aku risih dengan semua ini. Apa lagi seseorang itu adalah seseorang yang bukan aku sukai atau cintai. Ini semua hanya menyiksaku.
"Benar-benar sempurna tubuhmu, cantik. Baru kali ini aku menemukan yang sepertimu. Pintar sekali Puan mencari ODGJ." cicitnya, sambil kembali melumat bibirku.
Bibirnya keras, kasar, dan bau asap rokok. Ketika lidahnya memaksa masuk ke dalam kerongkonganku, aku tersedak batuk dan ingin muntah. Baunya sungguh tak enak. Aku kira, ciuman itu rasanya manis, seperti yang sering kulihat di drama korea. Tapi ternyata, itu semua palsu.
"Sekarang, buka kakinya cantik!" Bobbi berhasil meraih lututku, dan melebarkannya. "Basah? Kamu udah basah?"
Dia tertawa puas.