"Kamu serius Jas? Kamu merestui mama pacaran sama Arjuna? Temen kamu?" tanya Cahaya tak percaya. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Lo nggak bohong kan Jas? Lo beneran bolehin gue pacaran sama nyokap Lo kan?" tanya Arjuna. Meskipun merasa aneh, tapi dia juga cukup senang. Berharap jika Jasmine tidak mengecewakan mereka.
Jasmine melihat sorot kebahagiaan dari mamanya dan Arjuna. Hatinya terasa sesak, benci. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa Mamanya bahagia bersama Arjuna.
*
*
*
Hmm, penasaran dengan kelanjutannya? baca sekarang, dijamin bakal suka deh:)))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Meminjam Uang
Setelah selesai berganti pakaian dengan seragam kerjanya yang tersimpan rapi di laci karyawan, Arjuna kemudian membuatkan minuman seperti yang diminta bosnya. Dengan nampan berisi kopi di tangan, ia melangkah menuju ruangan sang bos.
Tiba di depan pintu, Arjuna mengetuknya pelan. "Masuk," sahut suara bosnya dari dalam. Arjuna membuka pintu dan melangkah masuk, mengintip sosok sang bos yang tengah duduk di balik meja besar, wajahnya serius menatap layar laptop. Sorot matanya tajam, tertuju pada deretan angka dan grafik yang berkejaran di layar.
Arjuna meletakkan kopi di meja samping laptop bosnya.
"Silakan Bu kopinya," ujar Arjuna ramah, meletakkan cangkir kopi di hadapan Bu Cahaya. Bu Cahaya mengangguk sekilas, "Terima kasih," ucapnya singkat, matanya masih terpaku pada layar laptopnya.
"Saya permisi Bu," Arjuna membalikkan badannya, hendak keluar dari ruangan bosnya. Nampan berisi minuman sudah ada di tangannya.
Namun, Cahaya yang teringat sesuatu langsung menoleh ke arah Arjuna. "Tunggu sebentar, Jun," pintanya, membuat Arjuna menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan, sorot penasaran terpancar di wajahnya. Ada sedikit rasa takut juga, mengingat sikap tegas bosnya yang membuatnya selalu waspada.
Cahaya menatap kearah Arjuna, sorot matanya tak berubah, seperti biasanya. "Saya ada sesuatu buat Jasmine. Besok kamu kasih ke dia ya," katanya. Ia mengambil kotak kecil berwarna biru tua dari lokernya dan menyodorkannya kepada Arjuna. Dengan ragu, Arjuna mendekat dan menerima kotak itu, yang dihiasi tali berwarna senada.
Sejenak, Arjuna menatap kotak itu, seperti sedang berpikir apa maksud bosnya memberikan ini kepada Jasmine. Ia kemudian menoleh ke arah Bu Cahaya, yang masih menatapnya dengan tatapan yang seolah meneliti.
"Ini buat apa ya Bu?" tanya Arjuna. Jujur ia penasaran sekali dengan maksud dari bosnya memberikan Jasmine kotak itu.
Bosnya menatap tajam ke arah Arjuna, raut wajahnya seakan tak suka dengan pertanyaan itu. "Buat apa itu bukan urusanmu, Jun! Sudah, lebih baik kamu keluar saja dan kembali ke belakang. Besok, kasih kotak itu ke Jasmine!" Suara bosnya berdesis tajam, seperti ular berbisa yang siap menerkam, membuat Arjuna terdiam, tak berani bertanya lebih lanjut.
Arjuna pun hanya mengangguk takut, lalu membalikkan badan dan keluar dari ruangan bosnya.
*********
Malam harinya, Arjuna dan Jasmine meluncur di atas motor kesayangan Arjuna, membelah hiruk pikuk kota. Mereka tak punya tujuan, hanya ingin menikmati angin malam yang berhembus sepoi-sepoi.
Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi, menerangi jalan mereka. Jasmine memeluk erat pinggang Arjuna, tubuhnya menempel erat pada punggung Arjuna.
Angin malam yang dingin membelai wajahnya, membawa aroma aspal dan asap kendaraan yang bercampur dengan aroma bunga kamboja samar dari taman di pinggir jalan. Jasmine memejamkan mata, menikmati sensasi dingin yang menenangkan.
Keduanya tak banyak bicara. Sepanjang perjalanan, hanya deru mesin motor dan suara kendaraan lain yang menemani.
Arjuna melirik Jasmine melalui kaca spion motornya. Jasmine sedang menatap ke arah kanan, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Arjuna penasaran, apa yang membuat Jasmine tersenyum? "Lagi lihatin apa sih sampe senyum-senyum gitu?" tanyanya, suaranya sedikit menggoda, bermaksud bercanda.
Jasmine, yang seperti tertangkap basah, langsung menoleh ke arah lain, pipinya memerah. Rasa malu menggerogoti dirinya.
Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, seolah-olah ingin menghilang dari pandangan. "Halah, kepo Lo!" sahutnya ketus, namun nada bicaranya terdengar sedikit gugup. Arjuna terkekeh melihat reaksi Jasmine.
Dia menggelengkan kepala, masih sembari tertawa, senang melihat perempuan itu salah tingkah.
Arjuna membelokkan motornya ke arah sebuah kafe, mesinnya mendengung pelan saat berhenti di depan pintu masuk. "Turun," katanya singkat, sambil melepas helm. Jasmine menatap sekeliling dengan bingung, lalu menoleh ke arah Arjuna.
"Kenapa malah ke kafe? Gue kan nggak minta kesini," tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit kesal. Jujur saja, ia tidak terlalu suka kafe. Baginya, daripada ke kafe, lebih baik ke bar atau tempat hiburan malam lainnya. Cafe terlalu feminim bagi dirinya yang bar-bar.
Helaan napas keluar dari bibir Arjuna. Dia tahu Jasmine pasti akan bertanya demikian. Dia melirik Jasmine sekilas. Lalu turun dari motor dengan Jasmine yang masih duduk di atas motornya.
"Udah turun aja nanti gue jelasin," kata Arjuna. Jasmine cemberut karena Arjuna sudah turun duluan, tapi akhirnya ia turun juga, berpegangan pada tangan Arjuna yang terulur kearahnya.
Mereka berdua pun berjalan masuk ke cafe itu. Setelah di dalam mereka melihat seisi cafe itu ramai. Banyak pasang muda mudi sedang bercengkerama di sana. Termasuk salah seorang perempuan dewasa yang sedang duduk sendirian di pojok dekat jendela.
Dari tempat mereka berdiri keduanya hanya melihat punggung wanita itu saja. Tapi Jasmine yang sepertinya mengenal wanita itu, menghentikan langkahnya. Arah pandangannya tertuju pada wanita itu. Arjuna mengikuti arah pandangan Jasmine.
"Dia kan..." Arjuna tidak melanjutkan ucapannya, menoleh kearah Jasmine.
Jasmine tidak membalas, dia membalikkan badannya dan berjalan keluar dari cafe itu. Arjuna menyusul Jasmine, matanya tak lepas dari punggung Jasmine yang menjauh.
Dia melihat Jasmine berhenti di dekat motornya, wajahnya tegang, matanya tajam seperti elang yang siap menerkam, membuat Arjuna sedikit takut. Ada kemiripan yang kuat dengan mamanya di sana.
Arjuna mendekat, berdiri tepat di depan Jasmine. Sentuhan lembutnya mendarat di bahu Jasmine, membuat wanita itu tersentak. Tatapan Arjuna menangkap wajah Jasmine yang tampak kalut. "Lo baik-baik aja?" tanya Arjuna, sedikit kekhawatiran terpancar dari sorot matanya.
Jasmine mendongak, menatap Arjuna. Pandangannya masih tajam, namun kini tersirat sedikit kerentanan di baliknya. "Anterin gue pulang Jun. Mood gue tiba-tiba buruk setelah lihat mama di sini," jawabnya, suaranya sedikit teredam. Perempuan yang mereka lihat di dalam tadi memang Cahaya, Mama Jasmine.
Entah kenapa tiba-tiba Mamanya ada di kafe biasa seperti ini. Biasanya, Mamanya akan pergi ke tempat mewah jika ingin makan atau sekedar ngopi. Tapi ini, tiba-tiba Mamanya di sini. Sendirian lagi.
Arjuna mengangguk, tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya. Ia menaiki motornya, helm hitam mengilap terpasang di kepalanya. Jasmine pun melakukan hal yang sama, mengenakan helm dan naik ke boncengan motor Arjuna. Begitu Jasmine naik, Arjuna menghidupkan mesin motornya, membelah jalanan menuju rumah Jasmine.
Tak lama kemudian, motor mereka berhenti di depan rumah Jasmine. Jasmine turun, melepas helmnya dan menyerahkannya kepada Arjuna.
"Gue masuk duluan Jun," katanya singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu rumah. Ia menarik handle pintu dan melangkah masuk.
Setelah pintu tertutup, Arjuna kembali menyalakan mesin motornya dan melaju pergi. Masih ada urusan lain yang harus ia selesaikan, pulang ke rumah untuk saat ini bukanlah tujuannya.
*********
Motor butut Arjuna berhenti di depan gedung kumuh yang dihiasi cat mengelupas. Di atas pintu kayu lapuk, sebuah papan usang bertuliskan "Gadai & Pinjaman" dengan cat merah yang sudah memudar.
Bau apek dan aroma rempah-rempah menyengat hidung Arjuna. Ini dia, sarang lintah darat, tempat para penindas bersembunyi di balik senyum licik dan janji-janji manis.
Beberapa hari lalu, seorang pria berwajah bengis dengan tatapan tajam seperti elang datang ke rumahnya. "Mana duitnya, bocah?!" suaranya berdesis, menyeramkan. "Ini hutang bapakmu, sepuluh juta! Kalo nggak dibayar, rumahmu bakal gue sita!"
Arjuna dan keluarganya terpuruk, tak punya uang sepeser pun. Rasa putus asa menggerogoti mereka. Arjuna terpaksa menelan ludah, menelan harga dirinya, dan bertekad untuk menyelamatkan rumahnya dari cengkeraman para rentenir.
Hari ini, dia datang ke sarang mereka, bertekad untuk meminjam uang. Rahasia ini dia sembunyikan dari ibunya dan keluarganya. Dia berjanji akan membayar semua hutang ayahnya, menyelamatkan rumah mereka, walau harus menanggung beban berat sendirian.
Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. Dia membuka pintu kayu yang berderit, masuk ke dalam ruangan sempit yang pengap.
Seorang pria bertubuh kekar dengan kumis tebal dan tatapan tajam duduk di balik meja kayu. "Mau ada urusan apa kau datang kesini, anak muda?" tanya pria itu dengan nada mengejek.
"Saya mau pinjam uang," jawab Arjuna gugup.
"Pinjam? Uang? Buat apa?" Pria itu menyeringai, mata tajamnya mengintip Arjuna dari atas ke bawah.
"Buat bayar hutang," jawab Arjuna, suaranya bergetar.
"Hutang? Hutang siapa?" Pria itu mencondongkan tubuh, suaranya berbisik tajam.
"Hutang bapak saya," jawab Arjuna, menunduk.
"Ooh, hutang bapakmu ya? Berapa?" Pria itu tertawa mengejek.
"Sepuluh juta," jawab Arjuna, menelan ludah.
"Sepuluh juta? Hah! Itu mah cuma recehan buat gue!" Pria itu tertawa terbahak-bahak, suaranya seperti gertakan petir yang menggelegar, membuat Arjuna semakin gugup. "Tapi, gue bisa bantu. Gue pinjemin lo sepuluh juta. Tapi, bunga 20% per bulan. Gimana?"
Arjuna terdiam, mencoba mencerna tawaran itu. Bunga 20% per bulan? Itu berarti dia harus membayar dua juta per bulan! Bagaimana dia bisa membayarnya? Tapi, dia harus menyelamatkan rumahnya. Dia harus menyelamatkan keluarganya.
"Saya setuju," jawab Arjuna, suaranya lirih.
"Bagus! Sekarang, tulis nama lo di sini," kata pria itu, menyerahkan selembar kertas dan pulpen. "Dan, jangan lupa, bayar tepat waktu. Kalo telat, konsekuensinya ..." Pria itu menyeringai, tatapannya tajam seperti pisau.
"Kalo telat, gue bakal sita apapun yang Lo punya! Dan ..." Pria itu mendekat, menatap Arjuna dengan tatapan tajam, "Gue bakal ..." Pria itu membisikkan sesuatu ke telinga Arjuna, membuat Arjuna merinding ketakutan.
Bersambung ...