Jasmine D'Orland, seorang duchess yang terkenal dengan karakter jahat, dituduh berselingkuh dan dihukum mati di tempat pemenggalan di depan raja, ratu, putra mahkota, bangsawan, dan rakyat Kerajaan Velmord.
Suaminya, Louise, yang sangat membencinya, memenggal kepala Jasmine dengan pedang tajamnya.
Sebelum kematiannya, Jasmine mengutuk mereka yang menyakitinya. Keluarganya yang terlambat hanya bisa menangisi kematiannya, sementara sebagian bersorak lega.
Namun, enam bulan sebelum kematian itu, Jasmine terlahir kembali, diberi kesempatan kedua untuk mengubah nasibnya yang tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejahatan Yang Mengguncang Pesta
Sementara itu, Duke Louise duduk dengan wajah tegang, mencoba memulihkan suasana di antara para tamu. Di sebelahnya, Cecilia tampak memasang ekspresi sedih, namun matanya memancarkan kemarahan yang terpendam.
"Cecilia," Louise berbisik pelan sambil menatap istrinya yang terlihat tak tenang. "Minumlah sedikit. Mungkin ini bisa menenangkanmu."
Cecilia melirik Louise, kemudian dengan suara yang dibuat sehalus mungkin, ia menjawab. "Louise, aku... aku sungguh merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku bisa membawa orang-orang seperti itu ke rumah ini? Aku merasa begitu bodoh..."
"Cukup," kata Louise, mencoba menenangkan. "Ini bukan salahmu sepenuhnya. Hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja."
Namun, Cecilia melanjutkan dengan nada dramatik. "Tapi, Louise... aku merasa aku telah mempermalukanmu di depan para tamu. Apa mereka akan memandang rendah kita sekarang?"
Louise menghela napas panjang. "Tidak ada yang akan berpikir seperti itu. Semua ini hanya insiden kecil. Jangan terlalu dipikirkan."
Di sisi lain ruangan, Jasmine tampak santai dan anggun saat melayani percakapan dengan para tamu. Seorang wanita tua, Lady Amara, yang dikenal sebagai sosialita terkemuka, berbicara dengan antusias.
"Duchess Jasmine," katanya dengan suara ramah. "Aku harus mengakui, kau menangani situasi tadi dengan sangat luar biasa. Benar-benar menunjukkan kelas seorang Duchess."
Jasmine tersenyum tipis. "Oh, Lady Amara, aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Aku tidak bisa membiarkan masalah seperti itu merusak reputasi keluarga kami, bukan?"
Lady Amara mengangguk penuh setuju. "Tentu saja. Kau adalah contoh yang luar biasa bagi kita semua. Aku rasa, siapa pun di sini akan setuju bahwa kau adalah tuan rumah yang sempurna."
Beberapa tamu lain yang mendengar pembicaraan itu ikut tersenyum dan mengangguk.
"Benar sekali," kata seorang pria paruh baya. "Kediaman ini benar-benar terhormat karena kehadiranmu, Yang Mulia."
"Terima kasih," jawab Jasmine dengan lembut. "Tapi, malam ini bukan tentang aku. Malam ini adalah tentang kita semua menikmati waktu bersama."
Dari kejauhan, Cecilia melihat bagaimana Jasmine dengan mudah menarik perhatian para tamu. Ia menggenggam sendoknya dengan erat, mencoba menahan rasa iri yang membakar di dalam dirinya. Dengan suara rendah, ia berkata pada Louise.
"Duke... lihatlah Duchess. Semua orang memujanya. Apa Duke tidak merasa terabaikan di rumahmu sendiri?"
Louise, yang mulai merasa lelah dengan sikap Cecilia, menjawab dengan nada datar. "Jasmine hanya melakukan tugasnya sebagai Duchess. Aku rasa, tidak ada yang salah dengan itu."
"Tapi aku..." Cecilia menggigit bibirnya, mencoba terlihat lebih terluka. "Aku hanya ingin membuat kediaman Clair lebih baik, tapi semua yang kulakukan tampaknya selalu salah di mata orang lain."
Louise menatap Cecilia dengan ekspresi bingung. "Tidak ada yang menyalahkanmu, Cecilia. Aku sudah bilang, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."
Sementara itu, Jasmine yang mendengar percakapan para tamu lainnya, sesekali melemparkan pandangan ke arah Louise dan Cecilia. Dalam hatinya, ia merasa puas melihat bagaimana Cecilia semakin terpojok oleh situasi yang ia ciptakan.
Namun, ia tetap menjaga ekspresi anggun di wajahnya. Saat salah satu tamu bertanya, "Apakah semua ini tidak membuatmu stres, Yang Mulia?" Jasmine menjawab dengan nada lembut namun penuh makna.
"Oh, sedikit tekanan tentu saja ada," katanya sambil tersenyum. "Tapi, aku percaya, jika seseorang menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan."
Beberapa tamu tampak terkesan dengan jawabannya, sementara yang lain melirik ke arah Louise dan Cecilia, seolah membandingkan keduanya dengan Jasmine.
Di meja lain, beberapa tamu mulai berbincang tentang insiden yang baru saja terjadi.
"Apa kau melihat ekspresi Lady Cecilia tadi?" bisik seorang wanita muda pada temannya.
"Ya, dia terlihat sangat bersalah. Tapi entah kenapa, aku merasa dia mencoba terlalu keras untuk terlihat seperti korban," jawab temannya sambil tertawa kecil.
"Aku setuju. Duchess Jasmine benar-benar menunjukkan siapa yang berkuasa di sini. Lady Cecilia hanya terlihat seperti bayangannya saja," tambah seorang pria.
"Tentu saja, dia bukan siapa-siapa di kediaman Clair ini," ucap yang lain.
Louise, yang mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, sesekali melirik ke arah Jasmine. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Jasmine sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi di antara dirinya dan Cecilia.
"Apakah dia benar-benar tidak peduli padaku lagi?" pikir Louise.
Namun, ia tidak punya banyak waktu untuk merenung karena Cecilia kembali menarik perhatiannya dengan keluhan pelan.
"Louise... aku rasa aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Semua orang memandangku seolah-olah aku adalah penyebab dari semua ini."
Louise mencoba menenangkan Cecilia sekali lagi. "Tidak ada yang memandangmu seperti itu, Cecilia. Kau hanya terlalu memikirkannya."
Setelah beberapa waktu, suasana di ruang makan akhirnya kembali normal. Para tamu tertawa dan berbicara dengan santai, menikmati hidangan penutup yang disajikan. Jasmine tetap menjadi pusat perhatian, melayani setiap percakapan dengan anggun dan cerdas.
Di sisi lain, Louise terus berusaha menenangkan Cecilia, meskipun dalam hatinya ia mulai merasa lelah dengan sikap Cecilia. Jasmine melirik ke arah mereka sebentar, kemudian kembali fokus pada tamu-tamu lainnya.
Pesta hampir selesai, para tamu mulai bersiap-siap untuk pamit, suasana ruangan perlahan mereda. Duchess Jasmine dan Duke Louise berdiri di dekat pintu masuk, bersiap menyampaikan salam perpisahan kepada tamu-tamu yang mulai meninggalkan pesta.
Tiba-tiba, Riel, salah satu pengawal setia keluarga D’Orland, masuk ke ruangan dengan ekspresi serius. Ia memberi salam kepada Duke dan Duchess, menarik perhatian semua orang.
“Salam hormat, Yang Mulia Duke dan Duchess. Semoga kemuliaan dan kejayaan menyertai langkah Anda,” kata Riel, suaranya tegas namun sopan. “Mohon maaf telah mengganggu. Namun, ada petugas dari Pengadilan Raja yang tiba. Mereka meminta izin untuk masuk.”
Ruangan seketika hening. Para tamu yang sebelumnya sibuk berbicara, langsung membisu, saling melirik dengan tatapan terkejut.
“Pengadilan Raja?” bisik seorang tamu wanita dengan nada panik pada suaminya.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Bukankah itu pengadilan tertinggi? Bukankah hanya kasus kejahatan besar yang mereka tangani?” sahut seorang pria paruh baya, matanya melebar.
Di sisi lain ruangan, Louise dan Kepala Pelayan Harold tampak saling pandang. Wajah mereka menegang. Harold, meski tetap berdiri tegak, tampak gelisah.
"Apa lagi ini?" pikir Louise dengan frustasi.
Duke Louise mengangguk pada Riel, berusaha mempertahankan wibawanya meski hatinya bertanya-tanya. “Persilakan mereka masuk.”
Riel memberi hormat sebelum keluar untuk membawa para petugas masuk.
Tidak lama kemudian, pintu besar ruang tamu terbuka, dan sekelompok petugas dari Pengadilan Raja masuk dengan langkah tegas. Mereka mengenakan jubah hitam berlogo singa emas, lambang Pengadilan Raja. Para tamu yang melihat mereka masuk semakin tertegun.
Seorang petugas senior, dengan wajah tegas dan tatapan tajam, melangkah maju. Ia membungkuk hormat kepada Duke dan Duchess.
“Salam hormat, Yang Mulia Duke dan Duchess. Semoga kemuliaan dan kejayaan menyertai langkah Anda,” katanya dengan suara lantang. “Kami mohon maaf atas kedatangan mendadak ini, namun kami memiliki urusan mendesak yang harus segera diselesaikan.”
Jasmine mengangguk pelan, senyumnya lembut namun matanya tajam. “Tidak apa-apa. Apa yang membawa Anda ke sini malam ini?”
Petugas itu menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kami di sini atas perintah langsung dari Pengadilan Raja untuk menangkap seseorang yang terlibat dalam kejahatan besar. Orang ini terhubung dengan insiden pembunuhan bayaran yang terjadi beberapa hari lalu, saat percobaan pembunuhan terhadap Anda, Yang Mulia Duchess Jasmine.”
Ruangan kembali dipenuhi bisik-bisik.
“Percobaan pembunuhan?!” seorang wanita menutup mulutnya dengan tangan, terkejut.
“Siapa yang cukup berani mencoba membunuh Duchess Jasmine?” tanya seorang pria lain, nada suaranya mencerminkan keterkejutan dan kemarahan.
Louise menatap petugas itu dengan alis berkerut. “Apa maksud Anda? Siapa yang Anda curigai sebagai pelaku?”
Petugas itu melirik pada catatan yang dibawanya sebelum mengangkat wajahnya lagi. “Prajurit Roland.”
Mata semua pelayan dan pengawal kediaman Clair langsung tertuju pada Cecilia, yang berdiri di sisi Louise.
Para tamu melihat para pelayan menatap satu orang, mereka pada melihat siapa yang mereka tatap. Disana hanya ada Duchess, Duke dan Lady Cecilia. Mungkinkah Duke atau Lady Cecilia? Mereka menerka-nerka.
Cecilia membeku sejenak sebelum dengan cepat menutupi mulutnya, berpura-pura menangis. “T-tidak mungkin… Roland? Tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu! Dia adalah orang yang setia dan baik…”
“Oh Lady Cecilia,” potong petugas itu dengan nada tajam, “kami memiliki bukti kuat yang menghubungkannya dengan kelompok pembunuh bayaran tersebut.”
Cecilia semakin terisak, wajahnya dipenuhi ekspresi terluka. Namun, Jasmine, yang mengamati dari samping, bisa melihat sekilas kemarahan dan rasa takut yang nyata di mata Cecilia.
Para tamu akhirnya tau, jika prajurit itu juga dari lady Cecilia. Oh kejahatan yang dibawa pelayan dan prajurit dari lady Cecilia sungguh diluar nalar. Semua nya bermasalah.
Jasmine, yang tetap tenang di tengah kekacauan ini, melirik ke arah Vincent, pengawal pribadinya yang selalu setia. “Paman Vincent, bawa Roland ke ruang bawah tanah dan serahkan dia ke petugas Pengadilan Raja. Pastikan dia tidak melarikan diri.”
Vincent segera membungkuk. “Perintah Anda akan segera saya laksanakan, Yang Mulia.”
Ia melangkah keluar ruangan dengan langkah cepat untuk menyeret Roland.
Sementara itu, bisik-bisik kembali memenuhi ruangan.
“Bayangkan, seorang prajurit dari kediaman ini terlibat dalam pembunuhan bayaran!” kata seorang tamu wanita dengan nada penuh drama.
“Dan dia direkomendasikan oleh Lady Cecilia,” tambah tamu lain. “Apakah itu kebetulan?”
Louise, yang merasa posisinya semakin sulit, menoleh ke arah Cecilia dengan ekspresi penuh pertanyaan. “Cecilia, kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini?”
Cecilia menggenggam tangan Louise dengan erat, air mata mengalir di pipinya. “Louise, aku bersumpah aku tidak tahu apa-apa! Aku hanya merekomendasikan Roland karena dia tampak seperti prajurit yang baik. Aku tidak pernah tahu dia bisa melakukan hal seperti ini…”
Namun, nada suaranya terdengar terlalu dibuat-buat bagi beberapa tamu yang memperhatikannya.
Jasmine maju selangkah, suaranya tenang namun penuh wibawa. “Para tamu yang terhormat, saya mohon maaf atas gangguan ini. Namun, kami tidak bisa membiarkan kejahatan sebesar ini tidak ditangani. Saya pastikan bahwa siapa pun yang bersalah akan mendapatkan hukuman yang setimpal.”
Seorang tamu pria berdiri. “Yang Mulia Duchess, kami memahami situasinya. Anda telah menangani ini dengan sangat baik. Kami mendukung keputusan Anda untuk menyerahkan masalah ini kepada Pengadilan Raja.”
Beberapa tamu lain mengangguk setuju, memberikan tepuk tangan ringan untuk Jasmine.
Tidak lama kemudian, Vincent kembali dengan Roland yang diapit oleh dua prajurit lainnya. Wajah Roland tampak pucat, namun ia berusaha mempertahankan ketenangannya.
“Yang Mulia,” kata Vincent dengan nada tegas.
Petugas Pengadilan Raja melangkah maju, menatap Roland dengan tajam. “Prajurit Roland, atas nama Raja, Anda ditangkap karena keterlibatan Anda dalam rencana pembunuhan Duchess Jasmine. Anda memiliki hak untuk membela diri di pengadilan, tetapi untuk saat ini, Anda akan dibawa untuk diinterogasi.”
Roland akhirnya berbicara, suaranya serak namun tegas. “Saya tidak bersalah! Ini pasti kesalahpahaman. Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai prajurit. Tidak pernah sekalipun saya terlibat dalam rencana pembunuhan!”
Namun, petugas itu tidak terpengaruh. “Kami memiliki bukti kuat. Jika Anda ingin membuktikan ketidak bersalahan Anda, lakukan itu di pengadilan.”
Cecilia kembali terisak, mencoba menarik perhatian Louise. “Louise, tolong lakukan sesuatu! Dia pasti dijebak! Aku yakin ada kesalahan di sini…”
Namun kali ini, Louise hanya diam, tatapannya kosong. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana menghadapi situasi ini.
Setelah Roland dibawa keluar oleh petugas, Jasmine menghela napas pelan dan berbalik menghadap para tamu.
“Saya mohon maaf sekali lagi atas semua gangguan ini,” katanya dengan senyum tenang. “Namun, malam ini adalah bukti bahwa keadilan akan selalu ditegakkan di kerajaan kita.”
Para tamu memberikan tepuk tangan kecil sebagai tanda dukungan, sementara Louise dan Cecilia tetap berada dalam kebisuan mereka.
Jasmine duduk kembali dengan anggun, sebuah senyum tipis di wajahnya. Malam itu, ia telah memenangkan satu babak lagi dalam permainan besar ini.
Jasmine dengan anggun memimpin para tamu menuju pintu utama untuk memberikan salam perpisahan. Senyum tipis tetap terukir di wajahnya, namun matanya tajam, mengamati setiap tamu yang meninggalkan acara dengan berbagai ekspresi.