Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Sebait Pesan dari Bekasi
Sejak Hanum berjualan kue, dia sudah jarang mengikuti chat grup WhatsApp teman-teman sekolah yang ada di handphone nya. Dia sengaja memisahkan nomor WhatsApp grup sekolah, keluarga dengan nomor WhatsApp komunitas ODOJ. Karena nomor WhatsApp komunitas ODOJ itu sering disebar untuk keperluan syi'ar, dan settingnya tidak diproteksi. Dia baru ikut berkomentar apabila ada info berita duka, teman yang sakit ataupun yang meninggal. Faktor lain yang membuat Hanum tidak terlalu aware dengan grup itu, kalaupun ada agenda reuni atau kopdar pasti dia tidak akan bisa datang.
Namun entah apa yang menggerakkan jari Hanum hari ini untuk membuka obrolan di WhatsApp non komunitas. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke grup BSD yang baru rilis chat 20 menit lalu. Grup BSD ini grup keluarga Budhe Mardiah dan Pakdhe Bambang. Budhe Mardiah itu kakak dari ayah Hanum, yang mengambil alih biaya pendidikan Hanum sejak SMP. Karena itulah Hanum sudah menyatu bahkan seperti saudara kandung karena tumbuh bersama sejak anak-anak Budhe kecil. Budhe Mardiah sudah punya tujuh orang cucu, 2 cucu prempuan dari Lisa tinggal di Bogor, 3 cucu lelaki dari Denny dan sepasang cucu dari Echa tinggal di Klaten. Karena cucunya terbiasa memanggil Budhe dan Pakdhe dengan panggilan Opa Oma, jadi semuanya ikut memanggil Opa dan Oma
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuuh saudaraku semua. Sebagai informasi saja hari ini Ibu jatuh di kamar mandi, karena seluruh tubuhnya terasa lemas, jadi nggak kuat berdiri. Insya Allah sore ini akan dibawa ke Rumah Sakit Global." itulah bunyi chat yang dikirim oleh Donny di grup.
Lalu dibawahnya ada balasan chat yang dikirim dari Lisa
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Innalillahi Wainnailaihi rojiun. Saya dan Aa on the way sekarang dari Bogor."
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Maaf saya masih di nggak akan bisa pulang saat ini, nanti biar Lola yang ke rumah Ibu" ujar Denny yang memang saat ini tugasnya di Brunei.
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Mbak Dewi terbang besok siang dari Surabaya, karena pagi masih harus ngajar"
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Saya masih di Medan, paling baru bisa berangkat besok pagi. Nanti biar Mayang yang ke sana duluan ke rumah, kebetulan dia baru balik dari Medan. Anak-anak biar nyusul diantar Andri." ujar Reza yang selama ini menanggung biaya Budhe dan Pakdhe.
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Tolong kabari terus perkembangannya ya. Baru kemarin sore Hanum ngobrol dengan Ibu. Semoga semuanya cepat pulih dan membaik." ujar Hanum turut mengomentari chat Donny.
Tanpa menunggu lama, Hanum menghubungi ibu dan adik perempuannya mengabari kondisi Budhe Mardiah. Semalaman Hanum tidak merasa tenang, fikirannya selalu teringat dengan Budhe Mardiah. Terakhir kali ketemu adalah sebelum pandemi, saat Hanum sekeluarga mudik ke Ciamis. Sebelum kembali ke Linggau, mereka menyempatkan waktu untuk menginap di Bekasi semalam. Selebihnya hanya berkomunikasi melalui telpon, dan terakhir itu kemarin sore setelah Hanum mentransfer uang untuk jajan Budhe Mardiah. Meskipun kondisinya lagi sulit, Hanum selalu berusaha menyisihkan uang belanja untuk dikirim ke Budhe Mardiah, meskipun anaknya cukup berada. Karena tidak bisa tidur, akhirnya Hanum memutuskan qiyamullail sekaligus mendoakan Budhe nya.
Sabtu pagi seperti biasanya, Hanum harus menyelesaikan gorengan yang akan dititipkan di kantin, sehingga belum sempat membuka handphone dan mengecek kabar terkini dari Budhe Mardiah. Karena fokus di dapur, Hanum tidak mendengar handphonenya berdering sampai Faras memberitahunya.
"Bu, Bibi Neng menelpon"
"Angkat dulu saja Bang, Ibu lagi cuci tangan" perintah Hanum.
"Halo Bi Neng, Ibu masih cuci tangan sebentar. Nah sudah selesai...." Faras langsung memberikan handphone yang masih tersambung kepada Ibunya.
"Halo Neng, dimana nih kok kayanya berisik banget?" tanya Hanum saat suara di seberang terdengar ramai.
"Lagi di jalan, mau nengok si Oma. Mamah nggak tenang kalau belum nengok, makanya habis subuh tadi langsung berangkat."
"Siapa saja yang ikut?"
"Saya sekeluarga sama si Mamah"
"Ya sudah, kabari saja kondisinya kalau sudah lihat langsung!" pinta Hanum.
"Iya, nanti dikabari. Ya sudah tutup dulu ya, ini sampai di rest area mau ke kamar mandi dulu. Assalamualaikum"
"Wa'alaykumsalam. Hati-hati di jalannya" ujar Hanum mengakhiri percakapan.
Lalu Hanum membereskan kembali peralatan yang masih berserakan di dapur. Sepertinya hari ini dia tidak bisa berangkat jogging, karena sudah keburu siang. Dia pun memutuskan untuk merapihkan rumah, mengelap kaca dan kusen serta membersihkan rumput di halaman Tanpa terasa 3 jam sudah Hanum berkutat dengan pekerjaannya, dan keringat pun mengucur di wajahnya.
'Lumayan capai juga bekerja seperti ini, sama saja dengan jogging. Bedanya ini kebanyakan jongkok dan berdiri, bukan berlari." batin Hanum sambil merapikan peralatan yang dipakainya.
Baru juga duduk meluruskan kaki, handphone yang diletakkan di atas meja makan berdering. Hanum melihat nama adiknya yang muncul
"Halo Assalamualaikum. Sudah sampai di rumah sakit Neng?" tanya Hanum langsung ke intinya.
"Wa'alaykumsalam. Sudah sampai tadi jam 9:00, terus ke rumah dulu biar ada yang nemenin ke rumah sakit. Jadi tadi diantar Ance ke rumah sakitnya. Nih Si Mamah mau ngomong" baru juga adiknya mengobrol rupanya sang Ibu juga ingin ngobrol.
"Ya sudah mana si Mamah nya?"
"Teh, sepertinya kondisi Oma ini sudah mengkhawatirkan. Mendingan Teteh ke sini saja sekarang, takutnya nggak ketemu lagi." beritahu sang Ibu dengan nada khawatir.
"Memang bagaimana kondisinya?" tanya Hanum sama khawatirnya.
"Dari lutut ke bawah sudah dingin, terus mulut sudah terkunci. Kata Donny tadi malam saat dibawa ke IGD masih sadar, terus menunggu kamar perawatan kosong, sampai pagi tadi tingkat kesadarannya menurun jadi langsung dibawa ke ICU. Lebih baik Teteh datang, siapa tahu memang Oma nungguin" titah ibunya membuat Hanum serba salah.
"Bingung mau kesana naik pesawat, ongkosnya nggak ada, kalau mau naik bis pasti sehari semalam di jalannya" balas Hanum dengan suara lirih.
"Mah bilang ke si Teteh, saya transfer untuk ongkosnya. Suruh langsung cari jadwal penerbangan hari ini, sama minta nomor rekeningnya sekarang!" Hanum mendengar suara Mulyo, suami adiknya yang berbicara.
"Tuh kata Bapaknya Wulan pesan tiket saja sekarang sama di chat nomor rekening"
"Ya sudah, Hanum cek penerbangan sekarang Mah, nanti dikabari kalau sudah dapat." putus Hanum.
"Ya sudah ya Teh, kita mau terus pulang lagi sekarang, soalnya anak-anak ditinggal di rumah sama si Iyus saja" ujar adiknya lagi.
"Ya sudah hati-hati. Assalamualaikum" salam Hanum mengakhiri percakapan mereka.
Hanum langsung membuka aplikasi tiket online, melihat jadwal penerbangan yang tersedia. Setelah mendapatkan jadwal yang diinginkan, discreen shoot biaya tiketnya dan dikirim ke Mulyo beserta no rekening bank nya.
Tak sampai 10 menit kemudian, masuk notifikasi M-banking transferan sebesar Rp 3 juta. Hanum membalas chat Mulyo mengucapkan terima kasih. Hanum menyampaikan kondisi terakhir Budhe Mardiah kepada Faisal dan rencana keberangkatannya ke Bekasi.
"Jadi ditransfer berapa sama Si Mulyo?" tanya Faisal ingin tahu.
"Ditransfer Rp 3 juta, buat tiket PP Rp 2 jutaan, buat pegangan Ibu Rp 700 ribu. Nanti yang Rp 300 ribu untuk bekal Ayah dan Faras." jawab Hanum sambil membereskan beberapa lembar pakaian.
"Dari Bandara Soetta naik bis Primajasa saja sampai di Metropolitan Mall. Dari situ ke RS Global kan nggak jauh, bisa jalan kaki atau naik becak kalau malas." ujar Faisal lagi.
"Iya. Kalau sudah di Bekasi mah nggak susah, sudah khatam wilayahnya." sahut Hanum.
Hanum mengambil penerbangan jam 17:00, diperkirakan sampai di Soetta jam 18:30. Mungkin paling lambat jam 22:00 sudah sampai di RS. Global, masih aman untuk perjalanan seorang wanita. Jam 15;30 Hanum sudah berangkat menuju Bandara Fatmawati diantar oleh Faras. Hanya perlu 30 menit untuk sampai di Bandara, membuat Hanum cukup leluasa melakukan cek in dan boarding pass.