Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
"Serahkan uang itu kepadaku!" ucap Kania tanpa berbasa-basi.
Viona tersenyum, mengangkat koper di tangan dan menunjukkannya kepada Kania.
"Ambil saja jika kau bisa!" katanya menjulurkan koper di tangan ke hadapan.
Kania yang tak dapat menahan kebenciannya, merangsek maju ke hadapan. Mencoba merebut koper di tangan Viona, tapi sebuah pukulan menepis tangannya cukup kuat hingga tubuh Kania terpental menabrak dinding.
"Argh!" Dia merintih. Menoleh dengan cepat, tatapan matanya sinis dan penuh dendam. Entah dendam apa di antara mereka, tapi Viona memang tidak tahu apapun.
"Sudahlah. Aku tidak ingin bermain lagi denganmu. Aku sudah keluar dari markas, dan kau bisa mengambil posisiku tanpa harus mencari muka di hadapan semua orang. Kau bebas melakukan apapun sesuka hatimu tanpa takut aku melihatnya," ujar Viona seraya berjalan tak ingin berurusan dengan perempuan itu.
Namun, tidak dengan Kania, dia mengeluarkan sebuah pisau kecil yang selalu dibawanya.
"Selama kau masih hidup, aku tidak akan pernah tenang. Aku ingin nama agen Vi menghilang selamanya," geramnya seraya berlari menerjang Viona yang berjalan terus ke depan.
"Mati kau!"
Kania menusukkan pisau itu ke punggung Viona.
"Kania!" teriak beberapa orang histeris.
Mereka mendengar kegaduhan di dalam gang dan memeriksanya. Pada akhirnya menemukan manusia rubah yang licik seperti Kania yang hendak membunuh Viona.
"Mati saja kau, Vi!" geramnya semakin dalam menusukkan pisau itu ke tubuh Viona.
Kenyataannya bukan punggung Viona yang dia tusuk, melainkan tangan Kania yang dicekal nya cukup kuat.
"Bagaimana ...?" Kania membelalak tak percaya, meronta merasakan nyeri di pergelangan tangannya.
Ia mencoba melepaskan diri, tapi Viona tak memberi kelonggaran. Matanya melirik pada orang-orang yang berada di ujung gang.
"Tolong aku!" ucap Kania, pisau di tangannya terjatuh. Menoleh ke belakang tubuh berharap bantuan.
Viona memandang semua rekan-rekannya, termasuk ketua. Dia yang tak pernah berbelas kasih terhadap musuh, terlihat murka.
Di sana ada juga Ghavin yang terlihat biasa saja, tapi ketua nampak gelisah dan serba salah. Sementara teman-teman Viona yang lain terlihat bingung harus melakukan apa.
"Selama aku bekerja, kalian selalu menuduhku mencelakainya. Kalian juga mengatakan aku iri terhadapnya, padahal kalian tahu bagaimana aku menjalankan misi sebelum rubah ini masuk ke dalam kelompok kita. Sekarang aku akan benar-benar melakukan itu semua," ucap Viona sembari tersenyum aneh.
Krak!
"Argh!" Kania menjerit ketika Viona menekuk tangannya ke bawah.
Mereka semua bereaksi ingin menolong, kecuali Ghavin. Akan tetapi, melihat tatapan Viona serta senyumnya mereka tahu dia akan membabi buta dan Kania tak akan mungkin selamat.
"To-tolong aku! Argh! Sakit!" rintih Kania sembari memukul-mukul lemah tangan Viona.
Mata-mata para lelaki di sana membelalak saat Viona mengangkat tangan bersiap melayangkan pukulan. Dengan kelima jarinya yang terbuka, ia menghantam perut Kania hingga tubuh itu terpental ke belakang, tapi tak jatuh karena Viona sama sekali tidak melepaskan tangannya.
"Kania!" lirih mereka merasa iba.
Ketua mengangkat tangan mencegah bawahannya yang hendak menolong Kania.
"Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Jangan ikut campur!" tegasnya membuat mereka urung.
Ghavin tersenyum puas melihat pembalasan Viona. Wanita rubah itu memang layak mendapatkannya. Selama ini dia selalu mengaku lebih unggul dari pada Viona sehingga membuatnya berani menuduh Viona selalu merasa iri. Sekarang, semua mata bisa melihat siapa yang lebih mendominasi.
Kania memuntahkan cairan bening, wajahnya pucat, tubuhnya pun terasa lemah. Viona tak berhenti sampai di sana, ia mengangkat tubuh Kania dan membantingnya ke tanah. Lalu, menendang tubuh itu cukup kuat hingga terseret sampai berhenti di depan ketua dan yang lainnya.
"Dia masih agen Vi yang sama! Aku benar, bukan?" ucap Ghavin dengan bangga.
Uhuk!
Kania memuntahkan seteguk darah, ia meminta tolong tanpa suara, tapi tak satu pun yang berani menyentuhnya.
"Bawa anak emas kalian itu. Jangan biarkan dia berkeliaran di sekitarku. Jika tidak, yang akan dia terima pasti lebih dari malam ini," ucap Viona seraya berbalik sembari meraih koper dan melompati tembok pembatas dan pergi.
Mata-mata itu tak berkedip menatap kelincahan Viona. Pantas saja ketua selalu berkata markas telah kehilangan satu sayapnya.
"To-tolong!" lirih Kania merasa tak dianggap kehadirannya.
Sial kau, Vi! Aku akan membalas mu di masa depan!
"Bawa dia dan kurung di ruang bawah tanah!" titah ketua seraya berbalik pergi diikuti oleh Ghavin dan beberapa orang.
"Ti ... argh!" Kania tak berdaya, ia dibawa dua orang penjaga ruang bawah tanah milik markas.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻