Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Fajar berdeham sebentar, merasa gugup. Selalu saja Agnes berhasil membuatnya mati kutu. Beberapa hari lalu, ia merasa masih bisa menghadapi Agnes, bahkan jika wanita itu membuatnya kesal. Tapi sekarang, kenapa dirinya jadi tak berdaya begini?
Fajar langsung mengambil kotak kondom itu dan memasukkannya ke saku celananya. Harus segera kukembalikan ke Rega, sebelum jadi masalah baru, pikirnya.
"Nenek, Agnes, aku harus pergi. Kita bahas ini nanti saja," ucap Fajar dengan nada datar, berusaha terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.
"Tunggu!" cegah nenek Grace.
Fajar menghentikan langkahnya, sedikit terkejut. Ia pikir nenek Grace akan marah, tapi suara neneknya malah terdengar lebih lembut. "Ajak istrimu. Kamu mau ke perusahaan Rega kan?"
Mendengar nama Rega, Agnes langsung seperti mendapat alarm. Satu nama itu mengingatkan pada nama lain—Sherly.
"Nenek, kenapa Pak Fajar ke perusahaan Rega? Inikan weekend?" tanyanya, penasaran.
"Oh, kamu kenal juga?" jawab nenek Grace sambil melirik Fajar. "Kamu ini cucu kurang ajar, nggak kasih tahu istrimu kalau kamu punya lima puluh persen saham di perusahaan Rega?"
"Hah?!" Agnes terbelalak, matanya membesar. Ternyata, sebagian besar pertanyaan yang selama ini terpendam akhirnya terjawab. Jadi, itu alasannya kenapa Fajar yang cuma seorang guru pengganti bisa punya kekayaan yang fantastis.
Fajar terdiam, wajahnya jadi kaku. Ia tak menyangka nenek Grace akan mengungkapkan hal sebesar itu begitu saja. Ia melirik Agnes, yang kini menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Nenek," Fajar mencoba tetap tenang, meski ada ketegasan dalam suaranya. "Hal ini nggak perlu dibahas sekarang."
Agnes masih tertegun, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Pak Fajar... maksud nenek, lima puluh persen saham di perusahaan Rega?" Suaranya sedikit bergetar, jelas terlihat kalau ia masih kebingungan.
"Agnes," potong Fajar cepat, nadanya kembali dingin. "Nanti aku akan menjelaskan padamu."
Namun, nenek Grace tak mau berhenti. "Fajar, kalau terus-terusan menyembunyikan hal seperti ini, gimana Agnes bisa mengenalmu lebih baik? Dia berhak tahu."
Fajar memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. Memang neneknya benar, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Agnes yang masih terkejut bisa semakin bingung kalau dibahas lebih lanjut.
"Baik, Nek. Tapi biar Agnes menyesuaikan terlebih dahulu," kata Fajar akhirnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia melirik Agnes yang kini menatapnya dengan mata penuh tanda tanya. "Nes, kalau kamu mau ikut, ikut. Kalau ada yang mau kamu tanyakan di jalan saja nanti ya."
Agnes mengernyitkan dahi, tapi rasa penasaran yang besar membuatnya tak bisa menahan diri. "Oke," jawabnya singkat, tapi tersirat banyak makna.
"Yaudah, kalau kamu tetap mau ikut, ayo," jawab Fajar sambil meraih tangan Agnes dengan lembut.
Agnes mengangguk, meski masih dengan rasa ingin tahu yang besar. "Oke, aku ikut."
Fajar merasa sedikit lega karena Agnes tidak membuat keributan lebih besar. Ia juga berpikir mungkin lebih baik ia lebih terbuka dengan Agnes, karena bagaimanapun hubungan yang yang baik salah satunya dengan keterbukaan.
"Nenek, kami pergi dulu," ucap Fajar sambil menggandeng tangan Agnes dan berjalan menuju pintu.
Namun, sebelum mereka benar-benar keluar, nenek Grace kembali bersuara. "Hati-hati di jalan."
Sepanjang jalan, Agnes yang masih bingung sesekali melirik Fajar dengan pandangan tajam. Rasanya, ada yang aneh dengan pria ini, dan ia bertekad untuk menemukan jawabannya.
"Jadi, apa yang aku pikirkan salah? Bapak bukan anggota mafia atau ketua gangster?" cetus Agnes, mengingat tuduhan waktu itu.
Fajar sembari fokus pada stirnya menoleh sekilas pada sang istri, "Apa aku ada tampang seperti itu?"
"Dulu iya, tapi setelah bersama ternyata aku baru tahu kalau Bapak itu..." Agnes menggantungkan kalimatnya.
Fajar pun melanjutkan, "Baik hati, tampan, dan nggak sombong kan?"
"Dih... Pe-de sekali Bapak ini. Padahal aku mau bilang, muka Bapak garang tapi hati seperti Hello Kitty," sahut Agnes.
"Hatiku seperti Hello Kitty karena kamu, Nes. Karena bagiku saat ini dua wanita terpenting dalam hidupku hanya ada kamu dan nenek, jadi aku akan bersikap lembut pada kalian," jawab Fajar yang tidak terpengaruh oleh sindiran Agnes.
Agnes tiba-tiba wajahnya memerah mendengar kalimat itu, di dalam hatinya ia berkata, "Nes, gampang banget hatimu meleleh kayak es krim, cuma karena beberapa kalimat seperti itu!"
"Kok diam? Terharu ya?" ucap Fajar.
"Si-siapa juga yang terharu, justru aku lagi mikir, sudah berapa wanita yang kena gombalan muslihat Bapak ini?"
"Baru satu!"
"Satu?" Agnes langsung memanyunkan bibirnya, "Jadi Bapak pernah punya wanita lain, sebelum nikah sama aku? Jadi rumor di luar sana itu benar kalau Bapak gak pernah dekat lagi dengan wanita karena patah hati?"
Fajar hanya menarik sudut bibirnya, "Jadi sebelumnya kamu sudah mencari tahu tentangku?"
"Huhfff, siapa juga yang nyari tentang Bapak? Udah deh, aku udah nggak mood. Depan kalau ada lampu hijau turunin aja aku," ucap Agnes kesal sendiri, entah apa penyebabnya.
Fajar menghela napas panjang, saat ada jalan yang sedikit lebar ia memarkirkan mobilnya, lalu berkata, "Kamu pertama, Nes. Dan aku juga ingin kamu menjadi yang terakhir."
"Pembohong."
Fajar dengan sabar memberikan penjelasan pada Agnes, "Kenapa aku harus bohong? Kamu bisa tanya nenek jika tidak percaya, aku lihat nenek menyukaimu dan nggak mau menyembunyikan apapun darimu."
"Jadi benar?" tanya Agnes sedikit melunak meskipun masih belum percaya sepenuhnya.
Fajar mengangguk.
"Lalu rumor itu?"
"Memangnya apa yang kamu dengar?"
Dengan jujur Agnes berkata, "Pertama, Bapak karena patah hati jadi nggak mau memiliki hubungan dengan kaum wanita, kedua, Bapak penyuka sejenis, dan ketiga tidak menyukai orang bodoh."
"Yang ketiga benar, yang pertama kamu sudah tahu kalau aku nggak pernah patah hati karena kamu yang pertama, dan yang kedua kamu boleh membuktikan kalau aku masih suka sama beda jenis," jawab Fajar dengan nada menggoda.
Agnes menelan ludahnya kasar tanpa bersuara. Ia langsung menutup wajahnya dengan tasnya agar tidak terlihat oleh Fajar dan bertanya-tanya, kenapa kini ia begitu overprotective terhadap lelaki itu?
Fajar yang melihat tingkah Agnes tersenyum lebar, perlahan-lahan ia menurunkan tas yang dipegang Agnes yang menutupi wajah kecil itu.
"Jangan ditutupi, karena aku ingin menikmatinya," ucap Fajar.
"Ihhhh... Apa sih, malu Pak!" jawab Agnes menundukkan kepalanya.
Fajar mengangkat dagu Agnes dengan lembut, sorot matanya yang tajam melunak, ada kilatan tersendiri di dalamnya. "Kamu tahu, Nes," katanya pelan, suaranya penuh dengan kehangatan yang sulit disembunyikan, "Kamu selalu buat aku penasaran. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dari sekedar kamu jadi istriku."
Agnes merasa jantungnya berdegup kencang, darahnya serasa mengalir cepat. "Apa maksudnya, Pak?" tanyanya, suara sedikit bergetar meski berusaha tampak tenang.
Fajar tersenyum tipis, menatapnya seolah sedang mencari-cari kata yang tepat. "Maksudku," Fajar memiringkan sedikit kepalanya, "kamu itu lebih dari yang aku bayangkan. Lebih dari sekedar istri yang aku nikahi karena keadaan. Kamu itu... penting, Nes."
Agnes merasakan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan yang menyentuh hatinya, tetapi juga keraguan yang tak bisa ia singkirkan.
Fajar, melihat Agnes yang terdiam, perlahan mendekatkan wajahnya, dan untuk sesaat, waktu seperti berhenti. "Aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku takut kamu..."
Agnes terdiam, wajahnya semakin memerah. "Apa yang Bapak takutkan?" tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh harap.
Fajar menatap matanya dalam-dalam, semakin dekat, dan akhirnya, "Sebenarnya pernikahan kita itu karena..."
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,