Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva, Terpisah II
"Lusia, aku tidak pernah mengganggu pernikahanmu. Aku bahkan menghindari kalian berdua agar pernikahan kita baik-baik saja."
"Cih! Kau hanya berpura-pura menghindar tapi diam-diam membuat dia masih selalu memikirkan mu. Kau menikah dengan Seno seolah menuruti apa maunya tapi masih mengharapkannya! Kau bermuka dua?"
"Aku menikah karena Mas Seno sudah di takdirkan berjodoh denganku, bukan karena Mas Dias. Harusnya kau bisa menjalani hidupmu dengan tenang, jangan mencari celah yang akhirnya membuat mu terluka sendiri."
"Kau pikir aku menyukainya?" Lusia kembali terkekeh sumbang.
"Wanita mana yang tidak menyukai Mas Dias, kau juga." kataku, aku yakin sekali Lusia menyukai Mas Dias, selain ia menikah karena dendam. Dia mencengkeram wajahku.
Walaupun rasa ingin melawan, tapi sedikit berpikir ulang. Ngeri juga berhadapan dengan perempuan seperti dia, bisa tertawa lalu bersedih dalam waktu hampir bersamaan, ku rasa dia memang sudah gi-la.
Aku semakin terkejut dia mengarahkan pisau tajamnya ke leherku, sangat dekat hingga terasa dingin.
"Mbak!" bentak Gerry, dia mendekatkan ujung senjatanya di kening Lusia.
"Kau tak akan berani, adikku yang polos." ucapnya dengan nada mengejek.
Gerry tak menggubris, dia bahkan menekan telunjuknya lebih dalam, bersiap menembak.
"Lihatlah di sampingmu." Lusia menunjuk arah kanan Gerry.
Betapa terkejutnya kami, ternyata seorang pria juga sedang mengarahkan senjata yang sama kepada Gerry.
"Gerry!" aku bergumam, tapi kemudian leherku kembali di tekan, bahkan Lusia meraihku agar berada dalam kungkungannya. Gerry tak melepaskan ku, dalam ketakutan seperti ini ia memilih merapatkan tubuhnya denganku.
"Anda datang juga Pak, apakah kasus ini sangat penting?" tanya Gerry, berusaha tenang berhadapan dengan seorang yang menutupi wajahnya dengan masker hitam. Ku tebak, Gerry mengenal orang itu, atau jangan-jangan pak Budi, kegelapan masih menyelimuti sehingga wajah siapapun tak nampak jelas.
Pria itu tak menjawab, namun tak juga bergeming tetap bersiaga dengan senjatanya.
"Ger!" aku mencengkeram erat baju Gerry, kemudian berpegang kuat dengan ikat pinggangnya.
Gerry menoleh sekilas, sepertinya dia paham dengan apa yang aku pikirkan.
"Berikan buktinya." kata pria itu kepada Gerry, keduanya sama kukuh tak ada yang menurunkan senjata.
"Bukti?" tanya Gerry, berpura-pura tak mengerti. "Bukti apa?"
"Serahkan atau mati?" ancam Lusia pula, tentulah aku tak percaya, apapun yang kami lakukan tetaplah dia menginginkan kematian kami.
Aku mundur selangkah, meski pisau yang menempel ini sudah terasa menggores leher ku.
"Jangan Mbak!" cegah Gerry, menahan punggungku, takut aku tergelincir, tapi matanya melihat ke bawah sana.
"Tak ada pilihan bukan?" Lusia tertawa senang.
"Apa Ger?" tanyaku.
"Air Mbak." jawabnya.
"Batu?" lirihku, Gerry menggeleng, mata kami awas menatap lawan, tapi tetap harus berpikir jangan sampai mati tanpa melawan.
Belum sempat bergerak, suara tembakan membuatku memekik, pria itu menembak kaki Gerry, adik mas Dias itu mengerang.
"Aaarggghh!" sepertinya pria di hadapan kami paham kode yang aku berikan kepada Gerry.
"Jangan! Jangan sakiti Gerry. Bukti yang kalian minta ada padaku, Gerry tidak tahu apa-"
Dor!
Brasshhk!
Gerry menarik ku ke belakang hingga terjengkang tanpa persiapan, suara tembakan juga terdengar menggema bersamaan dengan pekikan ku yang sangat ketakutan.
Samar ku lihat pria itu terduduk di semak, Lusia pun memekik.
Byurrr!
Ku eratkan tanganku yang memegang sabuk pinggang Gerry, berusaha naik ke permukaan dan berenang menjauh dari tempat ini.
Byarrr...!
"Hah! Hah! Hah! Pyuhh..."
Kami berhasil mendongak ke permukaan dengan satu tangan terus berdayung agar tidak tenggelam.
"Mbak!" panggil Gerry, dia kesulitan berenang karena kakinya tertembak.
"Pelan-pelan saja Ger, kita tidak bisa berdiam di tempat ini." aku terus mengayuh tanganku, menggerakkan kaki agar tidak tenggelam mengikuti arus. Gerry pun berusaha sekuat tenaga, meninggalkan dua orang pria kekar berdiri di pinggiran sungai menatap tajam kami.
Lamat-lamat kegelapan mulai menipis, langit yang gelap kini nampak berwarna dari kejauhan, bulan yang tadi bersinar separuh kini terlihat pucat. Syukurlah, malam akan segera berakhir.
Entah sudah berapa lama, tapi hari sudah semakin terang, menampakkan pemandangan hijau di sekitar sungai, bebatuan pun nampak jelas.
"Mbak, lepaskan aku." ucap Gerry, dia mendorong tanganku agar tidak memeganginya.
"Tidak Ger, kita akan_"
Blubh!
"Bhuuhh" aku hampir tenggelam, aliran menurun membuat kami semakin kesulitan.
"Bhuuhh! Mbak!"
Byarrr!
Kami terhempas ke dalam air yang mengalir di tengah tebing yang tinggi tanpa bisa berpegang kepada apapun, bebatuan terlalu licin.
*
*
*
"Akhirnya, kamu sadar juga."
Aku menatap sekeliling yang asing. Seorang pria menatapku dengan senyum manis, dia duduk di kursi kayu menghadap aku, baru sadar saat ini aku berada di dipan kayu beralaskan kasur tipis.
"Kamu siapa?" tanyaku, terasa aneh tapi wajahnya tak asing.
Seorang pria muda seumuran mas Seno, ah tidak! Aku seperti tak asing tapi siapa?
"Gerry!" aku berusaha turun dari ranjang usang ini, aku baru ingat Gerry terluka dan kami tenggelam. Namun kakiku sangat sakit, sakit dan pedih melanda terasa sampai ke ubun-ubun.
"Berbaringlah, kau masih lemas, kau juga terluka." ucapnya, mendorong bahuku agar tetap berbaring.
"Aku ingin bertemu Gerry! Kau siapa?" tanyaku.
"Aku Arya." ucapnya mengatur bantal di belakang punggungku. Jarak begitu dekat membuat aku leluasa menatap wajahnya. Dia tampak seperti seorang petani, tapi wajahnya mulus, putih bersih. Semakin di pandang semakin terlihat sempurna seperti magnet yang terus menarik.
"Ehem!"
Aku kelabakan, malu juga terlalu lama memperhatikan pria asing ini. "Maaf."
Pria itu tersenyum menampilkan lesung pipi begitu dalam di sebelah kirinya. Sungguh dia begitu tampan, tapi segera ingat kalau aku ini sudah menikah. Hampir saja...
"Makanlah, aku sudah menyiapkan bubur untuk mu." katanya, entah kapan mangkuk berisi bubur itu ada di atas meja. Tapi aromanya membuat aku ingin segera melahapnya, perutku ini sungguh bereaksi keras ketika asap dari mangkuk itu terhirup masuk ke dalam hidungku.
Tak mau menunda, aku segera meraih mangkuk dari tangan pria itu, lalu menyendok nya ke dalam mulutku hingga tandas.
"Maaf." aku mengusap bibirku yang belepotan seraya menatap pria itu malu.
"Istirahatlah, kau akan sembuh setelah ini." dia tersenyum meninggalkan aku sendiri di kamar sempit ini.
Beberapa menit berikutnya aku jadi gelisah memikirkan Gerry, bahkan tadi ketika aku menanyakan dengan pria itu, dia tak menjawabnya. "Apa aku keluar saja, mana tahu Gerry di luar." gumamku.
Aku beranjak dari dipan kayu yang seketika berderit berisik karena gerakan ku. Namun ada yang aneh!
"Lha, bukankah tadi kaki ku sakit?" aku menatap kakiku yang masih tampak memar, lecet tapi tidak sakit.
Berkali-kali aku menggerakkan pergelangan kaki ku, hasilnya sama, sudah tidak sakit.
Aku tercengang dengan apa yang terjadi pada kakiku. Teringat kata-kata pria itu sebelum ia meninggalkan kamar.
"Aku sembuh setelah makan? Secepat ini?"
happy writing 🎁🎆
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya