Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Laila dan Arman sudah menghubungi pembeli yang merupakan seorang perempuan. Tapi tidak ada satu pun telepon mereka yang diresponnya.
Laporan yang diterima Laila pun sangat membuat Laila sangat khawatir. Di mana perempuan yang ditagih itu malah meminta bantuan tukang pukul untuk melindunginya dari kejaran Mang Dadang dan Mang Iwan.
Segera Laila meminta Mang Iwan dan Mang Dadang untuk pulang. Mengikhlaskan semua yang menimpanya, daripada harus mencelakai orang-orang yang telah membantunya. Uang sebanyak itu tidak ada apa-apa bila dibandingkan dengan keselamatan mereka. Dirinya masih bisa mendapatkannya dari tempat lain.
"Masalah apapun akan selalu datang padamu, tetaplah tenang dan terus libatkan Tuhan untuk semua urusanmu." Ucap Arman.
"Insya Allah."
"Mungkin kamu pernah mendengar, semakin tinggi pohon makan semakin kencang juga angin yang menerpanya."
"Saya sering mendengar pepatah itu saat pelatihan."
"Kamu akan semakin kuat dan tangguh dengan berbagai macam cobaan dan ujian yang mendatangimu." Setelah mengatakan itu Arman pun pergi dari hadapan Laila.
Laila juga masuk ke kamar sambil mengirimkan pesan pada Teh Linda mengenai orderan yang masuk melalui handphonenya.
Laila dan kedua anaknya segera turun ketika Mama Astuti memintanya untuk membuat kue. Menjamu saudaranya yang baru datang.
"Salwa sama Halwa bisa bermain di depan." Mama Astuti memberikan satu tempat supaya mereka anteng saat Ibu mereka sedang sibuk.
"Baik Bu, terima kasih." Salwa menarik tangan Halwa dan mendatanginya. Kebetulan di sana ada Refal yang baru selesai olahraga.
"Baba" panggil Salwa.
Refal tidak keberatan dengan panggilan itu. Laki-laki itu tersenyum.
"Aku Refal, nama kalian siapa?."
"Aku Salwa, ini Adikku Halwa."
"Senang bisa tahu nama kalian."
Salwa dan Halwa mengangguk.
Kemudian Refal mengajak keduanya duduk di pinggir kolam ikan.
"Kita beri makan ikan, kalian mau?.
"Mau...mau..." keduanya begitu antusias.
Refal memberikan satu botol kecil pakan ikan Salwa terlebih dahulu.
"Kita gantian, ya?."
"Iya, Baba." Walau sudah tahu nama laki-laki itu Refal, tapi Salwa masih tetap memanggilnya Baba.
Dari tempat yang berbeda, Arman melihat pemandangan itu.
"Kedua anak kecil itu cepat akrab dengan penghuni rumah ini." Ucap Inggit yang berdiri di samping Arman.
"Mereka sangat sopan dan menyenangkan." Ucap Arman tanpa melihat Inggit.
"Setelah menikah aku mau juga segera memiliki anak. Semakin melengkapi kebahagiaan kita." Inggit melingkarkan tangannya pada lengan Arman. dengan kepala yang bersandar pada bahu Arman.
"Aku ingin yang terbaik untuk kamu, kesehatan kamu." Barulah Arman menatap Inggit.
Inggit pun tersenyum penuh kebahagiaan.
Di dapur Laila sudah menyelesaikan pembuatan kue pertamanya.
"Kamu pasti serius saat mengikuti pelatihan." Mama Astuti sangat menyukai cara kerja Laila yang rapi dan bersih.
"Karena kita menjual makanan jadi modal utamanya harus bersih dan rapi." Laila melepaskan sarung tangan anti panasnya lalu menaruhnya lagi pada tempatnya.
"Bagus banget itu, Laila. Semoga kamu semakin sukses."
"Aamiin. Terima kasih, Bu."
Arman segera menghampiri Laila yang masih sibuk di dapur.
"Ada yang bisa aku bantu?."
Laila menggeleng sembari tersenyum. "Tidak ada. Tapi ada deh." Ralat Laila cepat.
"Apa?."
"Minta tolong panggil Kak Inggit karena katanya mau belajar membuat kue juga."
"Buat jualan?."
Senyum Laila menghilang. "Cukup saya saja yang jualan. Kak Inggit membuat kue hanya untuk menyenangkan suaminya nanti." Laila segera balik badan, kebetulan kue yang dipanggangnya sudah matang.
Sangat hati-hati Laila mengeluarkannya dari oven, Arman sudah tidak ada ditempatnya lagi saat dirinya membalik tubuhnya. Kini berganti dengan sosok Inggit.
Cukup lama mereka berada di dapur, sampai-sampai mereka terlihat semakin akrab saja. Laila tidak pelit membagi ilmunya kepada Inggit.
*****
Pujian demi pujian selalu Laila dapatkan dari orang-orang yang telah memakan kue buatannya. Seluruh keluarga besar Arman yang datang selalu memberikan respon positif terkait kuenya. Termasuk Refal yang sangat menyukainya.
"Aku juga kalau buka toko kue di sini kira-kira ada peminatnya tidak ya? Kue-kue yang seperti Laila buat. Atau aku jadi reseller Laila saja?" tanya Refal meminta pendapat pada Arman, Mama dan Papanya.
"Ada-ada saja sih peminatnya, tapi mungkin tidak akan ramai Laila di kampung. Karena di sini sudah ada banyak saingannya." Papa menjadi orang pertama yang merespon baik Refal.
"Boleh-boleh saja kalau kamu mau jadi reseller Laila. Sekalian kamu buka cabang di sini." Mama pun sangat positif menyambut kemauan sang anak sulungnya.
Hanya Arman yang tidak memberkati tanggapannya karena sepertinya tidak akan dibutuhkan.
"Aku serius" Refal menujukkan kesungguhannya.
"Bicara saja sama Laila, bagus-bagus kalau Laila setuju."
"Iya coba nanti aku bicara sama Laila."
Laila yang mereka bicarakan sedang berada di kamar. Perempuan itu sedang bicara dengan Teh Yayuk, ada masalah yang sangat besar yang harus mereka hadapi.
"Bagaimana ini, Laila?."
"Saya juga bingung, Teh Linda." Sebenarnya Laila sangat tidak siap dengan keadaan yang menimpanya sekarang.
"Sampai hari Minggu besok waktunya, kamu harus meninggalkan rumah itu beserta isinya atau kamu harus membayar 500 jt kepada mereka."
Laila menjauhkan handphonenya, kemudian mengucap astagfirullah beberapa kali sambil memegangi dadanya. Kenapa harus sekencang ini angin yang menerpanya? Rasanya tidak mungkin untuk tetap berdiri tegak di tengah terpaan masalah yang ada.
"Begini saja, Teh. Selesaikan semua pesanan yang telah kita ambil. Jaga-jaga kalau saya tidak bisa memberikan uang yang mereka minta. Saya minta maaf, Teh"
Teh Linda terisak. "Apa tidak bisa kamu minta tolong pada Pak Arman?."
"Tidak, Teh. Pak Arman sudah mau menikah. Kebutuhannya pun sangat banyak, sudah seharusnya kita jangan merepotkannya lagi. Kita harus bisa menyelesaikan masalah ini sendiri."
"Iya, Laila."
Laila menutup wajahnya, meneteskan air mata karena tidak sanggup menahan beban yang kini menumpuk dalam hatinya. Usaha dan kerja kerasnya akan sia-sia begitu saja, hilang tanpa sisa.
"Ya Allah" gumam Laila.
Kemudian perempuan itu harus segera turun dan menyembunyikan semua luka dan masalahnya saat berada di tengah-tengah mereka. Senyum hangat diperlihatkannya kepada mereka yang sangat menyukai kue buatannya.
"Sudah cantik, sederhana, bisa buat kue juga." Puji Kakaknya Papa Desta, Mama Monica. Tapi sayang yang dipujinya tidak mendengarnya karena sedang sibuk di dapur.
"Kenapa? Jangan bilang kamu akan menjodohkan Laila pada Ivan." Celetuk suaminya, Papa Dandi.
Mama Monica tertawa. "Tidaklah, Pa. Ivan sudah punya pacar. Cuma Mama senang saja sama perempuan-perempuan model begitu."
"Iya, aku juga suka" sahut Mama Astuti.
"Kenapa tidak buat Refal?" tanya Mama Monica.
"Jangan! Sudah ada Dr. Damar." Papa Desta menimpali.
"Dr. Damar?." Tanya mereka.
Papa Desta mengangguk.
"Hebat juga, sekelas Dr. Damar saja menyukainya." Ucap Papa Dandi.
Inggit dan Refal mendengar percakapan mereka di ruang tamu.
"Apa menurut Bang Refal, Laila seistimewa itu?."
Bersambung.....
ayo Arman gercep nanti Laila dilamar orang lain
ditunggu Kaka othor up nya