Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh dua
Suara tekanan pada keyboard yang seakan memenuhi ruangan kosong itu semakin terdengar jelas. Kedua matanya sedang terfokus pada layar putih yang mulai terpenuhi dengan huruf-huruf berwarna hitam dan membuatnya mulai pusing sendiri untuk mengerti tulisan-tulisan tersebut.
Dewa, laki-laki yang masih setia menjelaskan otaknya dalam laporan akhir bulan klub malam miliknya itu kembali mengambil gelas berisi air mineral miliknya. Di hadapannya, Angga sedang melakukan hal yang berbeda dengannya. Laki-laki yang berusia sama dengan ibu malah Asep memainkan ponsel sedangkan dirinya tengah pusing dengan berbagai macam laporan.
"Lo mau pergi nggak?" Ia bertanya tanpa mengalihkan kedua matanya dari laptop. Jujur saja, dia merasa terganggu dengan kehadiran Angga saat ini. Meski pada kenyataannya, Angga juga tidak mengajakmu berbicara, tapi ia merasa tertekan saja jika ada seseorang di hadapannya saat ini.
Dengan pasti Angga menggeleng. Ia kembali menegak alkohol hasil pemberian Dewa dan melanjutkan kembali gerakan ibu jarinya pada layar ponsel.
"Lo tau gak?" Angga seketika bersuara rendah.
"Jangan dulu lah! Gue masih mau nyelesaiin-"
"Bukannya mirip banget sama orang yang gue cari." Angga menyela. Sejak pertemuannya dengan Kania malam itu, entah mengapa otak dan hatinya tidak bisa tenang sekali saja. Bahkan urusan kantornya beberapa kali biar hanya karena pikirannya yang selalu tertuju kepada Kania.
Pelan tapi pasti, Dewa mulai menggantikan gerakan tangannya. Ia kembali mengisi gelas air mineralnya sebelum memperhatikan Angga dalam diamnya.
"Mirip banget!"
"Maksud lo gimana?" Dewa berusaha mengerti.
Angga kembali menelusuri ponselnya, mencari sesuatu di sana, sebelum akhirnya memberikan ponselnya ke hadapan Dewa. " Mirip kan?" tanyanya meminta persetujuan.
"Mana gue tahu? Foto anak umur lima tahun sama semua di mata gue!" Dewa membalas." Ini lo dapat foto dari mana?" tanyanya kemudian.
"Yang kanan ada di Instagramnya Kania, yang kiri..." Angga menggantung kalimatnya dan menghela napasnya pelan." Ketemu pas kecelakaan nyokap waktu itu," lanjutnya.
Dewa berdeham pelan. Ia jelas mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu. Tapi yang tidak bisa ia mengerti adalah, mengenai dua foto yang baru saja laki-laki itu perlihatkan padanya.
"Mirip doang gak si?" Dewa berasumsi." Kata oma lo juga dia nggak ada di Indonesia kan?"
Untuk kali ini, Angga kembali terdiam. Ucapan itu masih terus menghantui pikirannya, tapi saat dirinya menemukan kalian, kepercayaan itu benar-benar goyah.
"Masa iya Oma Lo bohong-"
"Atau memang kita di bohongin?"
_____
Jemari lentiknya yang masih setia mengapit benda yang membuatnya merasakan hal buruk itu kembali ia dekatkan ke arah bibirnya. Menghisap benda itu dalam sebelum mengepulkan asapnya ke udara.
Semilir angin ditambah dengan suara-suara burung hantu yang seakan menjadi temannya itu membuatnya merasa nyaman saat ini. Kedua matanya menatap kudus ke depan sana tanpa tahu apa yang dia fokuskan. Badannya yang ramping itu bersandar pasti ada salah satu pohon besar yang terlihat lebih tua darinya.
Tas berukuran sedang yang berada tepat di sampingnya itu jelas memperlihatkan beberapa helai baju yang tidak sempat ia lipat dengan rapi. Jika ditanya mengapa ia berada di sini, jawabannya hanya satu. Karena hanya tempat ini yang bisa mengerti keadaan nya.
Ponsel, kartu ATM, bahkan sampai seisi dompetnya hilang. Bukan hilang, lebih tepatnya ditahan oleh seseorang yang lebih berkuasa darinya.
Tapi setidaknya dia merasa tenang, tidak ada yang mengganggunya.
Kania, gadis itu sudah menghabiskan hampir satu-satunya kotak rokok yang tersisa di tangannya, ia mendesah pelan. Iya sudah menentukan kemana kakinya akan melangkah nanti. Tapi kenyataannya jika pintu rumahnya sudah tertutup untuknya, itu artinya ia harus kembali berpikir untuk melangkahkan kaki. Entah kenapa rasanya,, seperti sudah tidak ada yang menginginkannya kembali?
Ia tidak menyesal akan ucapannya beberapa jam yang lalu. Pakan untuk mengeluh akan nasibnya pun tidak ada. Hanya saja, otak juga hatinya terlalu berat untuk menerima kenyataan.
"Sayang?" Kania mengguman dengan tawa sinis. Hal yang paling utama ia pikirkan saat dirinya memilih untuk berakhir di danau ini adalah ucapan Elia tadi. Ucapan yang memaksa dirinya untuk mengerti bagaimana kasih sayang Elia padanya. Sungguh, sampai saat ini Kania masih belum bisa menerima ucapan Elia yang satu itu.
Ia merogoh saku celananya, berusaha mencari uang yang mungkin saja tertinggal di sana. Tapi hasilnya nihil, benda yang paling dia cari itu sama sekali tidak berada di sana. Ia kembali mengambil kotak rokoknya sebelum tersenyum tipis. " Puasa dulu deh gue," kekehnya.
"Ngapain Lo?"
Kania kira, ia hanya suara halusinasi ketika mendengar suara lain yang muncul di pinggir danau saat gelap menyapa. Tetapi ketika kepalanya menoleh dan menemukan sosok Karel di sana, ia semakin yakin jika itu hanya halusinasinya saja.
"Perasaan gue nggak lagi mikirin Karel-" keluhnya yang kembali menatap ke arah lain.
"Lo pikir gue ini setan?"
Sepertinya saat ini dirinya tidak berhalusinasi.
" Ini Karel beneran?" tanyanya seolah masih tidak percaya." Udah ah! Gue udah sering di kerjain-"
"Emang setan bisa berubah wujud semau dia?"
Mendengar jawaban itu, membuat Kania seketika tertawa renyah. Kalau Karel sudah menolak asumsinya, maka laki-laki yang berdiri di hadapannya itu memanglah Karel.
"Lo ngapain di sini,Rel?" Ia bertanya sebelum kembali menyesal rokoknya." Nyari aku ya?"
"Enggak!" Karel membalas telak.
" Gak usah malu gitu ah!" Ngaku aj-"
"Ini gue mau pergi!" Ucap Karel." Kaget aja, gue pikir gue udah bisa melihat makhluk halus!"
"Sialan!" Kania mencibir, maksud laki-laki itu, Kania sudah berubah wujud gitu? Kurang ajar.
" Lo ngapain di sini?" Karel balik bertanya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaketnya, sedangkan matanya masih memperhatikan Kania yang dengan santainya bersandar pada pohon tua dengan selinting rokok, juga pakaian kaos yang tidak dilapisi jaket atau bahkan kain penghangat.
Kania menggelengkan pelan. Ia kembali menatap Karel sebelum tersenyum tipis." Katanya Lo mau pergi."
Seakan tidak mendengar ucapan Kania, Karel beralih pada tas hitam yang memperlihatkan isinya itu." Lo diusir beneran?" tanyanya dengan tenang.
"Bagi rokok dong, Rel." Kania melirik kotak rokok yang hampir kosong dengan tatapan muram, raut wajahnya mendadak menyiratkan kesenduan. "Punya gue hampir abis," keluhnya, seakan seluruh dunia berat menghimpit pundaknya.
"Baguslah!" sahut Karel dengan nada yang lebih mengejek daripada menyemangati. "Biar paru-paru lo gak semakin terkoyak."
"Wow, sangat perhatian, eh?" Kania mencibir, sarkasme terasa kental melintas dari sudut bibirnya.
"Najis!" Karel hanya tertawa ringan, tetapi ketawanya itu terdengar seperti guntur di telinga Kania.
"Ya ampun, jahat banget," celetuknya, seraya mengalihkan topik percakapan dengan tangkas.
"Lo mau kemana?"
Kania menggeleng, "Mau pulang duluan aja—"
"Tenang, gue anter kalau mau ke rumah Laras," tawar Karel, seolah-olah dia pahlawan penyelamat.
"Cie, ternyata mau perhatian juga?" Kania mendengus, tidak bisa menyembunyikan getir di hatinya.
"Sekalian, gue mau ke rumah Sania."
Suara Kania mereda menjadi dengusan kecil, tanda frustrasi yang mendalam. Apakah memang begitu sulit bagi Karel untuk membuat hatinya melayang tinggi tanpa harus menjatuhkannya kembali ke bumi dengan keras? Mengapa dia begitu gemar bermain-main dengan emosinya, mengangkat harapannya tinggi-tinggi hanya untuk dihempaskan lagi dengan kejam? Kejam sekali.
"Emang rumah Sania dimana?" tanya Kania.
" Deket sama," Karel membalas cepat." Mau gak-"
"Ya mau lah! Masa nolak!" Kania seketika bangkit dari posisinya. Kapan lagi diizinkan Farel menaiki mobil laki-laki itu. Tidak peduli jika kenyataannya Karel mengantarnya karena ingin menghadiri Sania, mending dia bisa berduaan dengan Karel untuk sementara waktu.