Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
°
°
°
Ersa menatap layar ponsel Anaya dengan perasaan sesak. "Astaga, mereka keterlaluan sekali! Tapi, sepertinya aku pernah bertemu salah seorang dari mereka."
"Kamu kenal salah satu dari mereka?" tanya Anaya penasaran.
"Tidak, tapi aku pernah meeting bareng di kantor Kak Arbi waktu itu," jawab Ersa.
"Benarkah? Apakah dia bekerja di sana?" Anaya bertanya lagi.
Ersa mengangguk. Tiba-tiba, panggilan video dari Adzana muncul. "Nay, kamu ada masalah seperti ini kenapa tidak memberitahuku?" Adzana bertanya kesal.
"Belum, Na. Aku masih kesulitan bicara ini." Anaya menjawab seraya memegang pipinya.
"Coba Kak Arbi tidak mengirimkan videonya, aku pasti tidak akan tahu apa-apa! Kamu anggap apa aku ini, hahhh!" Adzana melanjutkan.
Anaya merasa tidak terima. "Ya, Adzana! Kenapa kamu jadi marah padaku?" pekik Anaya menahan geram.
Ersa tersenyum, memperhatikan perselisihan keduanya. Baginya, ini sudah biasa. Persahabatan mereka selalu unik dan penuh kejutan.
"Aku tidak mau tahu, pulang kantor kalian harus mampir ke rumahku. Titik!" Adzana memutus sambungan, membuat Anaya frustrasi.
"Astaga, siapa sebenarnya yang ibu tiri di sini? Sejak punya anak, sikapnya benar-benar berubah bar-bar!" Anaya menggerutu.
"Ya sudah, nanti kita ke sana. Kamu beritahu Kak Akmal untuk menjemputmu di sana." Ersa menyarankan.
Anaya mengangguk setuju. Mereka membayar tagihan dan meninggalkan kafe.
°
Akmal duduk di balik meja kerjanya, dihadapannya tumpukan berkas yang belum selesai menunggu untuk dikerjakan. Meskipun Alfa sang asisten membantu, Akmal tetap memegang kuasa penuh atas setiap keputusan.
Sesekali, dia memijat pelipisnya, merasakan pusing yang tiba-tiba datang. Dia berhenti sejenak, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata, kilasan kenangan masa lalunya bersama Risna muncul begitu saja.
"Padahal aku sangat mencintainya, dia begitu lembut, dan halus tutur katanya. Ternyata dia tidak sebaik itu. Bodoh kamu Akmal! Mencintai seorang wanita begitu ugal-ugalan sampai tidak bisa membedakan tulus atau hanya kamuflase." Akmal menyesali kebodohannya.
Akmal membuka mata, pandangannya kosong. "Apa aku akan salah lagi? Apa Anaya juga akan menyakitiku seperti Risna?" Suara hatinya bertanya, penuh keraguan dan kekhawatiran.
Alfa mengetuk pintu dan masuk. "Maaf, Pak. Anda ingin makan siang di luar atau mau saya pesankan sesuatu?"
Akmal memandangnya. "Tolong, minta OB membuatkanku mie rebus lengkap dengan sayuran, telur, dan cabe rawit. Minumannya air mineral saja."
"Baik, Pak. Saya akan segera pesankan." Alfa langsung berlalu menuju pantry.
Akmal kembali fokus pada pekerjaannya, lalu ponsel berbunyi tanda pesan masuk dan langsung membukanya begitu tahu siapa yang mengirim pesan padanya.
Dia tersenyum saat membaca pesan Anaya. "Jangan lupa makan ya, Mas. Nanti sepulang kantor Adzana minta aku ke rumahnya. Apa Mas Akmal mengijinkan?" tulisnya.
Akmal membalas, "Boleh, nanti aku menjemputmu di sana."
Alfa masuk dengan nampan berisi mie rebus. "Silakan dinikmati, Pak. Mie rebus lebih nikmat disantap saat panas."
"Terima kasih, Fa," jawab Akmal.
Akmal menikmati mie rebus yang masih mengepul asapnya, begitu lezat. Baginya, tidak ada makanan yang tidak enak, asalkan halal.
Masa lalunya di pondok pesantren, membentuknya menjadi pribadi sederhana dan bersyukur. Meski orang tua Arbi merupakan donatur, ia dan Arbi tidak pernah mendapatkan perlakuan istimewa. Semua sama, harus berbagi dan berhemat.
Selesai makan Akmal membereskan bekas makannya. Lalu istirahat sebentar. Ia kembali ke kursi kebesarannya untuk melanjutkan pekerjaannya.
°
Jam lima sore saatnya pulang kantor. Anaya merapikan mejanya dan bersiap pulang. Seorang rekan kerja menawarkan tumpangan.
"Hai, Nay, aku antar kamu pulang, ya?"
"Terima kasih, Bang, tapi Ersa sudah menunggu," jawab Anaya.
"Kenapa kamu terus menolak, Nay? Apa yang kurang denganku?" tanya pemuda itu dengan senyum.
"Aku dan Ersa selalu pulang bareng. Lagipula kita berbeda arah, dan aku tidak mau merepotkan, Abang," Anaya menjelaskan.
"Aku siap direpotkan, kok," kata pemuda itu.
"Anaya, ayo buruan! Keburu macet, nih!" seru Ersa.
"Maaf, Bang Faisal. Saya duluan ya. Bye!" Anaya berlari menghampiri Ersa.
Faisal menatapnya dari kejauhan dengan senyum kecewa. "Jangan menyerah, Bro! Kalau suka pepet terus!" salah satu rekan kerja menggodanya.
Faisal menarik napas panjang, merenungkan kegagalan mendekati Anaya. "Selama belum jatuh ke tangan orang lain, masih ada kesempatan, Bro!" temannya yang lain ikut menggoda.
Faisal tersenyum tipis dan berjalan menuju parkiran. Dia melihat Anaya masuk ke mobil bersama Ersa, hatinya kembali merasa berat.
°
Mereka tiba di rumah Adzana dan disambut hangat. Adzana menggendong kedua anaknya dan menggerutu, "Kalian hanya akan datang kalau dipaksa, sahabat macam apa itu?"
Anaya mencoba menggendong Baby Zo, tapi bayi itu menolak. "Ini Tante Nay, Zo!"
Adzana tertawa. "Dia belum kenal kalian, rajin-rajinlah berkunjung bantu aku mengasuh mereka."
Anaya bercanda, "Kita sudah jadi asistenmu di kantor, masih harus jadi pengasuh anakmu juga?"
Ersa menyarankan, "Cari baby sitter saja sih, Na."
Adzana menjawab, "Tidak mau, takut mereka genit sama Kak Arbi."
"Bagaimana kamu bisa merawat diri, dengan mengurus dua bayi sendirian?" ucap Ersa khawatir.
Anaya menambahkan, "Apalagi suamimu tampan dan tajir, pasti banyak cewek centil yang mencoba menggodanya."
"Berani Kak Arbi macam-macam, aku bakal bikin dia menyesal seumur hidupnya." Adzana mengepalkan tangannya.
"Eh, iya Nay. Bagaimana ceritanya kamu bisa mengalami insiden itu?" tanya Adzana kemudian.
"Aku sendiri tidak tahu, semua terjadi begitu cepat dan tidak sempat mengelak."
"Kamu mesti hati-hati, Nay. Jangan sendirian di tempat umum. Kalau Kak Akmal sibuk, sebaiknya minta tolong Ersa untuk menemanimu."
Obrolan terus berlanjut hingga jam delapan malam Arbi tiba di rumah. Anaya memutuskan untuk ikut pulang bersama Ersa.
°
"Kamu sudah beritahu suamimu untuk tidak menjemputmu, Nay?" Ersa bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang,
"Sudah, tapi belum dibaca," jawab Anaya, matanya menatap jalanan yang padat kendaraan.
Ersa mengeluh, "Mau makan dulu nggak, Nay? Aku lapar."
Anaya tersenyum. "Boleh, aku juga lapar."
Ersa mencari tempat makan yang tidak terlalu ramai. Ia memarkirkan mobilnya di depan warung tenda yang menyediakan berbagai olahan seafood. Sementara Ersa memesan, Anaya berinisiatif memilih tempat duduk.
Deggg
Dada Anaya tiba-tiba terasa sesak seakan dihantam benda tumpul dengan sangat kuat, ketika netranya menangkap sesuatu yang tidak ingin dilihatnya. Anaya mencoba bersikap tenang, lalu berbalik arah mencari tempat duduk di luar.
"Kenapa baik lagi, Nay?" tanya Ersa heran.
"Di luar saja, lebih adem." sahut Anaya.
Pesanan datang, Ersa tampak lahap menyantap makanannya. Anaya pun melakukan hal yang sama, meski berusaha menelan dengan susah payah. Tiba-tiba rasa laparnya hilang dan berganti perasaan tak nyaman menggelayuti hatinya.
Anaya segera membayar begitu dia selesai makan dan pamit menunggu di mobil. Ersa menyusul setelah menyelesaikan makannya, lalu melanjutkan perjalanan.
Lima belas menit kemudian Ersa berhenti di rumah Anaya. "Makasih, Sa! Hati-hati, ya!"
Ersa mengangguk lalu melajukan mobilnya kembali.
Anaya memasuki rumahnya yang masih gelap gulita, segelap hatinya saat ini. Dia segera menuju ke kamarnya tanpa berniat untuk menyalakan lampu utama, hanya lampu luar saja yang ia nyalakan.
Tiba di kamarnya, Anaya langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama ia pun keluar. Setelah mengoleskan rangkaian skin care untuk perawatan kulitnya di malam hari, Anaya memutuskan untuk tidur tanpa menunggu suaminya pulang.
Namun saat memejamkan mata, apa yang tadi dilihatnya, seolah menari-nari di pelupuk mata. Hingga tak sadar berlinang lah airmatanya. Anaya lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Perasaan macam apa ini? Ya Tuhan, jangan biarkan rasa cemburu menguasai akal sehatku."
°
°
°
°
°
Siapa sih yang dilihat Anaya? 🤔🤔🤔🤔🤔
Astaga, Akmal yang mau bermanja-manja/Facepalm/