Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kediaman Keluarga Noah
Malam itu terasa begitu megah dan penuh arti. Mobil Harrison perlahan memasuki gerbang besar kediaman keluarga Noah, yang sudah terbuka lebar seperti menyambut mereka. Kediaman itu benar-benar memukau, dengan taman yang tertata sempurna, lampu-lampu yang menerangi setiap sudutnya, dan bangunan besar nan elegan yang berdiri megah di tengahnya.
Hawa duduk di samping Harrison, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa begitu cepat. “Mas, apa aku benar-benar pantas berada di sini?” bisiknya dengan nada gugup.
Harrison tersenyum lembut, meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Kamu lebih dari pantas, Hawa. Ingat, aku di sini bersamamu. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sampingmu.”
Hawa mengangguk pelan, mencoba menyerap kekuatan dari kata-kata Harrison.
Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Hawa bisa melihat beberapa sosok berdiri menunggu mereka. Di sana ada Harvey Noah, Papinya Harrison, yang berdiri dengan postur tegap dan wajah dingin; Anna Noah, Maminya Harrison, yang tersenyum ramah; serta adik perempuan Harrison, Hannah Noah, bersama suaminya John Ethan, yang sedang menggendong putri kecil mereka, Athena Ethan, sementara Adam Ethan, putra mereka yang berusia 7 tahun, berdiri di samping ibunya dengan wajah ceria.
“Tenang, Hawa. Semua akan baik-baik saja,” bisik Harrison sebelum turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya.
Hawa mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar.
“Selamat malam,” sapa Harrison hangat, menyalami Papinya terlebih dahulu, diikuti oleh Mamanya.
Anna Noah langsung menyambut Hawa dengan pelukan hangat. “Hawa, selamat datang. Akhirnya Harrison membawamu. Senang akhirnya bisa bertemu.”
Hawa tersenyum, merasa sedikit lega dengan sambutan yang ramah itu. “Terima kasih, Tante Anna. Senang bertemu dengan keluarga besar Mas Harrison.”
Namun, saat menatap Harvey Noah, Hawa merasakan hawa dingin yang sedikit menusuk. Pria itu mengangguk singkat, tanpa senyum, sebelum menyilakan mereka masuk ke dalam.
“Silakan masuk. Makan malam sudah siap,” ucap Harvey singkat.
Hawa melirik Harrison, yang langsung memberinya senyuman penuh keyakinan.
Ruang makan keluarga Noah jauh lebih megah dari yang pernah Hawa bayangkan. Meja panjang dengan dekorasi bunga segar, lampu kristal yang menggantung di atasnya, serta kursi-kursi berlapis kain mahal memberikan nuansa yang begitu mewah.
Harrison menarikkan kursi untuk Hawa, membuatnya semakin merasa dihormati. Di sepanjang makan malam, Anna Noah banyak berbicara, mencoba membuat suasana lebih santai.
“Hawa, jadi kamu seorang suster, ya? Itu pekerjaan yang sangat mulia,” kata Anna sambil tersenyum hangat.
Hawa mengangguk. “Iya, Tante Anna. Saya memang menyukai pekerjaan itu. Rasanya bahagia bisa membantu orang lain, terutama mereka yang membutuhkan.”
“Panggil saja Mami, seperti Harrison,” ucap Anna, membuat Hawa sedikit tersipu.
Percakapan mengalir dengan ringan antara Hawa, Anna, Hannah, dan John. Namun, Harvey tetap diam, hanya sesekali menyisipkan komentar singkat.
Adam, keponakan Harrison, dengan polosnya bertanya, “Kak Hawa, kamu pacarnya Om Harrison, ya? Kalau iya, Adam mau Kak Hawa sering main ke sini!”
Hawa tertawa kecil, sementara Harrison menatap keponakannya dengan tatapan setengah geli. “Adam, jangan bikin Kak Hawa malu.”
“Kenapa malu? Kak Hawa cantik kok!” balas Adam polos, membuat semua orang tertawa, kecuali Harvey yang hanya tersenyum tipis.
Setelah makan malam selesai, semuanya berkumpul di ruang keluarga yang tak kalah megah. Sofa-sofa besar dengan bantal empuk, karpet tebal, dan perapian yang menyala memberikan suasana hangat di malam itu.
Harrison duduk di samping Hawa, sementara yang lain mengambil tempat masing-masing.
Harvey, yang sebelumnya banyak diam, akhirnya membuka percakapan. “Jadi, Hawa. Apa alasanmu memilih menjadi suster? Dengan latar belakang keluargamu, bukankah lebih mudah bagimu bekerja di perusahaan orang tuamu?”
Pertanyaan itu membuat Hawa sedikit tegang, tetapi ia mencoba menjawab dengan tenang. “Papi Harvey, saya memang bisa saja bekerja di perusahaan keluarga. Namun, menjadi suster adalah panggilan hati saya. Saya ingin membantu orang lain secara langsung, terutama mereka yang kurang mampu. Itu memberikan kepuasan tersendiri bagi saya.”
Harvey mengangguk pelan, tampak mempertimbangkan jawaban Hawa. “Jawaban yang menarik,” gumamnya.
Anna langsung menambahkan, “Itu hal yang sangat mulia, Hawa. Aku rasa Harrison beruntung bisa bertemu denganmu.”
Hawa tersenyum, meskipun masih merasa gugup di bawah tatapan Harvey.
Harvey melanjutkan, “Harrison, apa yang membuatmu yakin bahwa Hawa adalah orang yang tepat untukmu?”
Harrison meraih tangan Hawa, lalu menatap Papahnya dengan penuh keyakinan. “Karena Hawa bukan hanya wanita yang baik, tetapi juga sosok yang tulus dan kuat. Dia tidak hanya membuat hidupku lebih berarti, tetapi juga membawa kebahagiaan untuk Emma. Aku yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untukku dan anakku.”
Jawaban Harrison membuat suasana sejenak hening, sebelum Anna tersenyum lebar dan berkata, “Aku setuju. Hawa, kamu adalah calon menantu yang luar biasa.”
Harvey, meskipun masih terlihat dingin, akhirnya berkata, “Kalau begitu, aku berharap hubungan kalian membawa kebahagiaan untuk kalian berdua.”
Saat malam semakin larut, suasana di rumah keluarga Noah mulai mereda. Setelah percakapan panjang di ruang keluarga, Harrison dan Hawa berpamitan untuk pulang. Anna Noah mendekati Hawa, menggenggam tangannya dengan lembut.
“Hawa, aku harap kamu tahu bahwa aku benar-benar senang kamu hadir di kehidupan Harrison dan Emma. Aku bisa merasakan ketulusanmu, dan itu hal yang sangat berharga bagi keluarga kami,” ucap Anna dengan suara hangat.
Hawa tersenyum kecil, menahan rasa haru di dadanya. “Terima kasih, Mami. Saya akan berusaha menjadi yang terbaik, baik untuk Mas Harrison maupun Emma.”
Anna memeluk Hawa erat. “Aku percaya padamu, sayang.”
Harvey, yang selama ini tampak kaku, tiba-tiba menghampiri mereka. Dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya, ia berkata, “Hawa, aku mungkin terlihat keras, tetapi aku menghormati prinsip dan kejujuranmu. Itu bukan hal yang mudah untuk dimiliki banyak orang. Aku harap kamu tetap seperti ini, karena keluarga ini membutuhkan orang yang kuat sepertimu.”
Hawa terkejut dengan perubahan nada Harvey. “Terima kasih, Papi Harvey. Saya akan berusaha.”
Harvey mengangguk singkat, lalu menepuk bahu Harrison. “Jagalah dia baik-baik, Harrison. Jangan sampai kamu menyia-nyiakannya.”
“Papi tidak perlu khawatir,” jawab Harrison penuh keyakinan sambil menatap Hawa. “Aku tidak akan pernah membiarkan dia merasa sendiri.”
Ketika mobil mulai melaju meninggalkan kediaman Noah, Hawa akhirnya bisa menghela napas lega. “Mas, aku benar-benar tegang tadi. Aku kira Papimu tidak akan menerimaku.”
Harrison tersenyum kecil, lalu meraih tangan Hawa, menggenggamnya erat. “Papi memang terlihat dingin, tetapi dia orang yang adil. Dia hanya ingin memastikan aku tidak salah memilih.”
“Dan menurut Mas, aku memenuhi harapannya?” Hawa bertanya dengan nada ragu.
Harrison menoleh, menatap Hawa dengan penuh kasih. “Bukan hanya memenuhi harapannya, kamu melampauinya, Hawa. Kamu membuatku merasa hidup kembali, dan aku yakin Papi juga menyadari itu.”
Hawa tersipu mendengar kata-kata Harrison. “Terima kasih, Mas. Aku juga merasa beruntung bertemu denganmu. Kamu membuatku merasa dihargai, dicintai, dan diterima apa adanya.”
Harrison tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Hawa, berbisik lembut, “Kamu adalah anugerah terbesar yang pernah aku miliki.”
Hawa hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya like dan komentarnya. Kasih hadiah yang banyak ya lagi proses retensi dan kontrak.
Terima kasih.