"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dentang Lonceng yang Terakhir
Suara lonceng masih bergema di udara ketika Mei membuat keputusan yang akan mengubah segalanya. Dengan gerakan yang mantap, dia menuangkan isi cangkirnya ke tanah.
Madam Lian terkesiap. "Mei, apa yang kau—"
"Dengarkan," Mei memotong dengan lembut, matanya terpaku pada cairan teh yang kini membentuk pola aneh di tanah. "Dengarkan loncengnya baik-baik."
Semua yang hadir terdiam, memusatkan perhatian pada dentang yang masih menggema melintasi waktu. Perlahan, ekspresi mereka berubah saat mulai menangkap apa yang Mei dengar—sebuah melodi tersembunyi dalam ritme lonceng itu, sesuatu yang terasa familiar sekaligus asing.
"Itu..." Wei An berbisik, matanya yang retak melebar. "Tidak mungkin..."
"Resep teh pertama," Mei mengangguk, mengamati bagaimana teh yang dia tumpahkan mulai membentuk karakter-karakter kuno di tanah. "Bukan hanya cara membuatnya, tapi juga mengapa teh itu dibuat."
Madam Lian melangkah mendekat, cahaya dari sisiknya menerangi karakter-karakter yang terbentuk. "Ini bahasa yang sudah lama hilang," dia bergumam. "Bahasa yang digunakan sebelum manusia dan naga terpisah."
"Dan lihat," Master Song menunjuk dengan tongkatnya. "Pola yang dibentuk... seperti..."
"...seperti denah Paviliun Bulan Kembar," Madam Lian menyelesaikan, suaranya bergetar.
Mei mengangguk lagi, kali ini mengangkat kedua Cermin di tangannya. Dalam pantulan mereka, dia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh yang lain—bagaimana karakter-karakter di tanah mulai bergerak, menari dalam cahaya bulan kembar yang masih berpadu.
"Selama ini kita salah," dia berkata pelan. "Kita mengira Paviliun itu adalah tempat di mana keputusan untuk memisahkan dunia dibuat. Tapi sebenarnya..."
"...itu adalah tempat di mana mereka mencoba mencegah pemisahan itu," Wei An melanjutkan, pemahaman mulai muncul di wajahnya yang lelah.
"Tepat," Mei mengangguk. "Dan teh yang mereka seduh... bukan untuk melihat masa lalu atau masa depan. Teh itu adalah percobaan untuk menciptakan bahasa baru—bahasa yang bisa dipahami oleh manusia dan naga."
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Karakter-karakter yang terbentuk dari teh bersinar lebih terang, menciptakan garis-garis cahaya yang menghubungkan satu sama lain seperti konstelasi yang hidup.
"Tapi sesuatu gagal," Master Song berkata, mengamati bagaimana pola-pola cahaya mulai membentuk spiral yang mengarah ke langit. "Sesuatu membuat percobaan itu..."
"Bukan gagal," Mei menggeleng. "Tapi tertunda. Mereka tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikannya. Itulah mengapa waktu di Paviliun mengalir berbeda—itu bukan efek samping dari pemisahan dunia. Itu adalah tujuannya."
Liu Xian mengerutkan kening. "Tujuannya?"
"Untuk memberi lebih banyak waktu," Mei menjelaskan, matanya mengikuti spiral cahaya yang terus naik ke arah celah di langit. "Mereka tahu pemisahan dunia tidak bisa dihindari, tapi mereka juga tahu akan ada cara untuk memperbaikinya. Jadi mereka menciptakan tempat di mana waktu berjalan lebih lambat, tempat di mana seseorang bisa menyelesaikan apa yang mereka mulai."
Madam Lian mengambil langkah maju, sisik-sisiknya berkilau dalam cahaya yang semakin terang. "Dan kau pikir kau tahu cara menyelesaikannya?"
Mei tersenyum—senyum yang mengingatkan mereka pada versi dirinya yang mereka lihat dalam pantulan teh. "Tidak," dia mengaku. "Tapi aku tahu di mana kita bisa mulai."
Dengan itu, dia mengangkat kedua Cermin tinggi-tinggi. Pantulan bulan kembar dalam permukaannya menciptakan prisma cahaya yang membelah udara, membuka celah yang berbeda dari yang sebelumnya.
"Ini..." Wei An terkesiap. "Ini bukan jalan ke Paviliun."
"Bukan," Mei membenarkan. "Ini jalan ke tempat di mana semuanya benar-benar dimulai."
Dalam celah yang terbuka, mereka bisa melihat pemandangan yang tidak seorang pun duga—sebuah kedai teh sederhana di tepi jalan setapak, dengan lampu-lampu kertas yang bergoyang ditiup angin malam. Di depannya, berdiri sosok yang tampak familiar sekaligus asing.
"Itu..." Master Song berbisik. "Tidak mungkin..."
Mei mengangguk perlahan. "Ya. Itu adalah kau, Madam Lian. Atau lebih tepatnya, sosok pertamamu—saat kau masih menjadi manusia biasa yang bermimpi untuk membuka kedai teh."
Madam Lian mengambil langkah mundur, wajahnya memucat. "Bagaimana kau bisa..."
"Karena dalam setiap teh yang kau sajikan," Mei menjawab lembut, "ada sedikit bagian dari mimpi itu. Mimpi tentang tempat di mana manusia dan naga bisa duduk bersama, berbagi cerita dan teh. Bukan sebagai makhluk yang berbeda, tapi sebagai... teman."
Tiba-tiba, dentang lonceng berubah. Nadanya kini lebih dalam, lebih mendesak, seolah memberikan peringatan.
"Kita tidak punya banyak waktu," Wei An berkata, melirik ke arah bulan kembar yang mulai bergerak menjauh. "Apa rencanamu, Mei?"
Mei menurunkan kedua Cermin, menatap satu per satu wajah di hadapannya. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu," dia memulai. "Dan kita tidak bisa memaksa masa depan. Tapi kita bisa... meminjam waktu."
"Meminjam waktu?" Liu Xian mengulang, keningnya berkerut.
"Ya," Mei mengangguk. "Dari semua versi realitas yang ada. Sedikit dari sini, sedikit dari sana... cukup untuk menyelesaikan apa yang dimulai di Paviliun Bulan Kembar."
"Tapi itu..." Master Song ragu-ragu. "Itu belum pernah dilakukan sebelumnya."
"Karena tidak ada yang memiliki kedua Cermin sekaligus," Mei menunjukkan kedua artefak di tangannya. "Dan tidak ada yang bisa melihat semua kemungkinan seperti yang bisa kulakukan melalui teh."
Madam Lian melangkah maju, matanya terpaku pada celah yang menunjukkan masa lalunya. "Dan apa yang akan terjadi pada... semua versi realitas itu? Pada semua orang yang hidup di dalamnya?"
"Mereka akan tetap ada," Mei meyakinkan. "Kita hanya meminjam waktu mereka, bukan mengambilnya. Seperti... seperti menuangkan teh dari beberapa cangkir ke dalam satu teko, tanpa mengosongkan cangkir-cangkir itu."
Wei An mengamati Mei dengan seksama. "Ada sesuatu yang tidak kau katakan," dia menebak. "Sesuatu tentang harga yang harus dibayar."
Mei terdiam sejenak, matanya beralih ke arah kedai teh dalam celah waktu. "Ya," dia akhirnya mengaku. "Seseorang harus... menjaga agar waktu yang dipinjam tetap mengalir dengan benar. Seperti seorang penyeduh teh yang harus memastikan suhu air tetap tepat."
"Dan kau bermaksud untuk menjadi penjaga itu," Liu Xian menyimpulkan, bukan sebagai pertanyaan.
Sebelum Mei bisa menjawab, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dari dalam kedai teh dalam celah waktu, terdengar suara tawa—tawa yang familiar sekaligus asing. Dan dari dalam, melangkah keluar sosok yang membuat semua yang hadir terkesiap.
Seorang gadis muda, dengan wajah yang mirip dengan Mei, tapi dengan sisik naga yang tersebar di sepanjang lengannya.
"Itu..." Wei An tergagap. "Siapa..."
"Diriku yang lain," Mei menjawab pelan. "Dari realitas di mana pemisahan tidak pernah terjadi."
Dan dengan itu, misteri baru mulai terbentuk—misteri yang bahkan Mei sendiri belum siap untuk menghadapinya.
Karena dalam tawa gadis itu, dia mendengar sesuatu yang familiar.
Suara lonceng Paviliun Bulan Kembar.
Dan kali ini, melodinya menyimpan rahasia yang jauh lebih dalam dari yang siapapun duga.