Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Nuri yang masih kesal karena semua fitnah Yulia, hanya diam selama dimobil. Dia benar benar tak habis pikir dengan mertuanya itu. Bisa bisanya sangat membencinya karena dia berasal dari keluarga miskin.
"Jangan terlalu dipikirkan perkataan Ibu. Ingat, ibu hamil tak boleh terlalu stres."
Nuri menghela nafas. Rasanya mustahil dia tidak stres jika terus berurusan dengan Yulia.
"Bisakah jika aku tinggal dikosan saja?" Nuri merasa jika kosan 1 petak lebih nyaman dari rumah super mewah milik Sabda.
"Tidak, aku tak mungkin membiarkanmu tinggal sendirian, terlalu beresiko. Jika terjadi sesuatu, pada siapa kau akan minta tolong."
"Tinggal di kos kosan itu tidak sendirian, ada tetangga kanan kiri." Terang Nuri sambil menoleh kearah Sabda.
Sabda menggeleng. "Aku tetap tak setuju. Aku mau kamu selalu ada dalam pantauanku." Sabda takut jika Nuri tiba-tiba berubah pikiran. Tak mau menyerahkan anak itu dan pergi begitu saja.
"Tapi kau bisa datang kapan saja untuk memantau keadaanku."
Sabda menggelang dengan tatapan tetap fokus kedepan. "Aku tetap tak mengijinkan."
Nuri menghela nafas berat. Sepertinya percuma meski dia terus memohon. Sabda memiliki watak yang keras, sama seperti Dennis.
Sesampainya dirumah sakit, mereka langsung menuju ke poli kandungan. Setelah melakukan beberapa pengecekan, mereka duduk bersebelahan dibangku panjang. Mengantri bersama pasien lainnya.
Jika wanita lainnya tampak bahagia datang kedokter ditemani suami, Nuri hanya memasang wajah datar.
Sabda melihat seorang pria yang sedang mengusap perut buncit istrinya. Sesekali pria itu juga terlihat mencium perut tersebut. Dia mendadak baper melihat kebahagiaan pria itu. Andai saja Fasya yang hamil anaknya, dia pasti juga akan sebahagia pria tersebut. Sayangnya, itu tidak mungkin.
Setelah cukup lama mengantri, tiba giliran Nuri dan Sabda masuk kedalam.
Nuri berbaring diatas brankar. Seorang suster menyingkap pakaian atasnya hingga memperlihatkan bagian perut lalu mengoles gel.
"Kita intip ya baby nya." Ujar dokter wanita bernama Indah.
Sabda tampak excited melihat kearah layar monitor. Mungkin hanya sekali ini dia akan merasakan pengalaman memiliki istri hamil.
"Yang ini babynya," dokter menunjuk kearah bulatan kecil dilayar. "Masih terlihat seperti bulatan kecil," lanjutnya. "Usianya sudah 10 minggu."
Air mata Nuri hampir saja menetes saat mendengar suara detak jantung janinnya. Rasanya masih tak percaya jika saat ini, diperutnya sedang tumbuh janin yang ada karena kesalahannya dan Dennis. Meskipun dia ada dengan cara yang salah, tapi dia berharap kelak anaknya akan mendapatkan kebahagiaan.
"Apa kondisinya baik Dok?" tanya Sabda. Dia masih kepikiran tentang Nuri yang siang tadi berolah raga terlalu berat.
"Sejauh ini masih baik. Tapi sepertinya, kondisi ibunya yang kurang baik. Berat badannya sangat rendah dan mengalami anemia. Tolong dijaga asupan gizinya ya? Hamil muda memang biasanya mengalami morning sickes. Jadi sebisa mungkin asupan gizi harus sangat diperhatikan. Jadi meski makanan yang masuk tidak banyak, setidaknya gizinya tetap harus terpenuhi."
Sabda melihat kearah Nuri. Wanita itu memang tampak sangat kurus. Tidak akan ada yang menduga jika dia tengah hamil saat ini.
Setelah dari dokter, Sabda melajukan mobilnya keluar dari rumah sakit. Tak ada percakapan diantara keduanya. Hingga akhirnya, mobil memasuki halaman restoran mewah.
"Kenapa kesini?" tanya Nuri.
"Bukankah kata dokter kamu kurang gizi. Makanan disini sangat enak. Aku ingin melihatmu makan yang banyak."
Keduanya lalu turun. Melihat Nuri yang tampak ragu saat mau masuk, Sabda langsung menggandeng tangannya.
"Jangan tengang gitu, kita mau makan, bukan mau uji nyali," goda Sabda sambil melempar senyuman pada Nuri. Dengan tangan bertautan, mereka berdua memasuki restoran dan duduk dimeja paling pojok. "Pesanlah apapun yang kamu mau."
Nuri melihat buku menu. Menu disini tidak familiar baginya. Membuat dia kesulitan memilih menu.
"Tolong pilihkan yang menurut kakak enak."
"Kau yakin mau makan makanan pilihanku?"
Nuri mengangguk cepat. Tak mau mengulur waktu, Sabda langsung memesan makanan untuknya dan Nuri. Begitu makanan datang, Nuri dibuat melongo melihat banyaknya menu yang dipesan Sabda.
"Kakak yakin, makanan sebanyak ini untuk kita berdua?"
"Aku malah mau menawarkan take away jika kamu masih merasa kurang."
"Aku tak serakus itu."
"Aku tahu. Makanya kamu kurus kering, kekurangan gizi." Kalimat bernada ejekan itu membuat Nuri menyebikkan bibir. "Malam ini, aku akan memastikan jika kamu makan yang banyak. Takut pilihanku tak sesuai seleramu, jadi aku pilihkan banyak sekalian, biar kamu bisa mencicipi satu persatu dan memilih mana yang menurut kamu enak."
Semua makanan diatas meja terlihat enak, membuat Nuri bingung mau makan yang mana dulu.
"Ini best seller disini, cobalah." Sabda menunjuk menu yang paling laris disini.
Dan benar saja, saat Nuri mencicipi, rasanya sangat enak. Mulutnya sampai tak mau berhenti mengunyah. "Ini makanan terenak yang kedua setelah masakan ibuku," ujar Nuri setelah dia menelan makanan dimulutnya.
"Oh ya? Aku jadi penasaran, seberapa enak masakan ibumu."
"Mungkin tak seenak perkiraan Kakak. Tapi bagi kami sekeluarga, masakan ibu adalah yang terbaik. Aku bahkan tidak pernah bosan meski sudah 20 tahun memakannya." Nuri tampak semangat menjabarkan seenak apa masakan ibunya.
"Kau sangat beruntung."
"Maksudnya?" Nuri mengernyit bingung.
"Kau pernah memakan makanan terbaik didunia versimu. Sedang aku, aku sama sekali tak pernah merasakan seperti apa masakan ibu. Masakan yang setiap anak akan banggakan didepan teman temannya. Aku tak tahu seperti apa rasa makanan rumahan. Karena rasa makanan dirumahku, akan selalu berubah ubah seiring bergantinya art yang memasak."
Melihat wajah Sabda yang tiba-tiba berubah sedih, Nuri jadi merasa bersalah. Tak seharusnya dia membicarakan soal itu pada Sabda.
"Tidak usah merasa kasihan padaku." Sabda terkekeh melihat ekspresi wajah Nuri.
Kakak tidak makan?" Nuri berhenti mengunyah. Bertanya pada Sabda yang sejak tadi hanya bicara dan memperhatikannya makan.
"Iya, aku akan makan setelah memastikanmu kenyang."
Nuri tertawa ringan. "Makanannya terlalu banyak, meski Kakak makan setengahnya, aku masih tetap akan kekenyangan." Nuri menggeser piring berisi salmon kehadapan Sabda. "Makanlah."
Sabda mengerutkan kening. "Darimana kamu tahu aku suka salmon?"
"Aku sering membantu bibi memasak didapur. Mustahil aku tak tahu apa kesukaan Kakak."
"Pantas akhir-akhir ini makanan dirumah terasa lebih enak, ternyata ada campur tanganmu disana. Apa itu resep dari ibumu? Dari wanita yang memiliki masakan terenak didunia?"
Nuri tergelak mendengarnya. Dia tak menyangka jika Sabda tak sekaku kelihatannya. Pria itu juga bisa becanda.
"Kakak telalu berlebihan memuji. Tapi jika Kakak mau, bilang saja padaku. Aku akan memasak untuk Kakak."
"Apa bisa dipastikan jika itu masakan terenak didunia?"
"Ya, aku bisa menjaminnya." Sahut Nuri dengan sangat percaya diri. Keduanya tertawa bersama lalu kembali fokus kemakanan. Beberapa kali, Sabda menaruh makanan yang menurutnya enak ke piring Nuri.
Disaat mereka tengah makan, ponsel Sabda tiba-tiba berdering. Tertera nama my wife dilayar.
"Iya sayang," ucap Sabda saat panggilan tersambung.
"___"
Mendengar Sabda memanggil sayang, Nuri tahu jika yang menelepon pasti adalah Fasya.
"Iya, sebentar lagi aku akan pulang. Antriannya panjang, jadi kami harus mengantri lama."
Nuri yang awalnya fokus kemakanan, melihat kearah Sabda saat mendengar pria itu berbohong.
"See you, I love you." Sabda meletakkan ponsel diatas meja setelah panggilan berakhir.
"Kenapa berbohong?"
"Hanya untuk menjaga hatinya."
"Agar tidak terluka?"
Sabda mengangguk.
"Tapi saat kebohongan itu terkuak pada saatnya nanti, luka yang ditimbulkan akan lebih dalam lagi. Berhentilah berbohong dengan alasan untuk kebaikan, karena bohong tetaplah bohong."
Sabda terdiam. Dia teringat kebohongan terbesarnya, yaitu mengubah hasil tes kesehatan. Dan saat Fasya tahu, wanita itu akan terluka lebih dalam lagi.