Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BARRA DITOLAK, BIAN BERTINDAK
Rumah terasa begitu sunyi malam itu. Hanya suara detak jam di dinding dan gemerisik hujan di luar jendela yang terdengar. Barra duduk di sofa ruang tengah, memandang ke arah dapur tempat Btari tengah membereskan piring bekas makan malam mereka. Pandangannya penuh dengan berbagai emosi: kebingungan, frustrasi, dan sedikit harapan.
Namun Barra sedari tadi tidak berani lagi mengajak Btari bicara. Sesekali ia merutuki sikapnya yang terburu-buru. Mengingat kontrak mereka yang hanya menjalin pernikahan selama 10 bulan. Setidaknya ketika proyek besar itu Barra menangkan dan berita tentang ia dan Nadea menghilang.
Namun hanya karena kecemburuannya melihat Btari tertawa bersama Ardya, bisa-bisanya ia melewati batas perjanjian mereka. Namun ia juga tidak akan menolak jika Btari benar-benar mau menjalani pernikahan ini dengan sebenar-benarnya.
Nadea? Barra sendiri bingung bagaimana perasaannya untuk perempuan ini. Sekuat apapun Barra mencoba, namun tetap saja perasaannya untuk Nadea terasa berbeda sekarang. Memang masih ada perasaan cinta dan sayang untuk perempuan itu, namun anehnya perasaannya untuk Btari lebih mendominasi.
Btari, di sisi lain, terlihat begitu tenang, namun sikapnya yang dingin dan jauh justru membuat suasana semakin berat. Sejak pembicaraan mereka tadi sore, Btari semakin tertutup. Dia tidak banyak bicara, dan ketika Barra mencoba mengajaknya berdiskusi, tanggapannya hanya seadanya, nyaris seperti formalitas.
Sebenarnya Btari masih begitu terkejut dengan permintaan Barra. Namun ia masih berusaha setenang mungkin. Bagaimana pun juga hubungannya dengan Barra terjalin hanya karena kontrak kerja sama sedari awal. Melibatkan perasaan? Btari bahkan berusaha mengenyahkannya. Ia tidak ingin terjebak perasaan lebih kepada Barra. Sosok yang sudah ia hindari sejak awal masa sekolah dulu.
Barra menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk memecah keheningan. Didiamkan Btari membuat Barra serba salah. Barra berjalan mendekati Btari yang sedang mencuci piring di wastafel.
"Btari, bisa kita bicara sebentar? Aku rasa kita perlu menyelesaikan apa yang aku tanyakan tadi sore." Ujar Barra dengan lembut.
Btari tidak menoleh pada Barra. Masih dengan kesibukannya mencuci piring. "Nggak ada yang perlu diselesaikan, Bar. Dari awal kita sudah sepakat tidak akan melibatkan perasaan." Jawab Btari dengan tenang.
"Tapi kamu mendiamkanku, Bi. Setidaknya kasih aku jawaban." Ucap Barra terdengar lirih.
Btari akhirnya menoleh, tapi ekspresinya datar, "Jawaban apa? Aku sudah menjelaskan semuanya sejak awal. Pernikahan ini hanya kesepakatan. Aku pikir tidak ada yang perlu diubah."
"Kamu disukai dan disayangi keluargaku. Aku rasa tidak ada salahnya jika kita menjalani pernikahan yang sebenar-benarnya."
Masih dengan tenang, namun senyum tipisnya terbit di bibir Btari. "Enak aja. Nggak gitu cara kerjanya, Bar. Setelah kita menjalani kehidupan suami-istri pada umumnya kamu mau aku menjadi istrimu dan kamu masih bisa bertemu pacarmu itu? No, aku nggak mau."
"Nadea menjadi urusanku. Aku akan meninggalkan dia kalau kamu mau menerimaku."
Btari mengeringkan tangannya dengan kain lap yang tergantung di dekat wastafel. Matanya menatap dingin pada Barra. Ia masih tidak menyangka lelaki di hadapannya ini bisa dengan begitu entengnya berbicara masalah perasaan. Ternyata ia tetap sama dengan beberapa tahun silam. Masih Albarra yang angkuh dan menganggap semua berada dalam genggamannya.
"Aku capek, Bar. Aku mau masuk dulu." Btari berkata pelan. Berdebat dengan Barra dalam kondisi lelaki itu yang terlihat frustasi tidak akan menemukan ujung. Btari lebih memilih segera beristirahat.
Namun dengan sigap, Barra menahan lengannya. Btari berusaha melepaskan, namun tenaga Barra terlalu kuat.
"Apa, Bar? Apa yang kamu harapkan?" Walaupun jantungnya berdetak kencang, Btari berusaha terlihat tenang. Ia tidak lagi berusaha melepaskan tangan Barra dari lengannya.
"Oke. Aku tidak akan mengungkit tentang hal ini lagi. Tapi tolong jangan menjaga jarak dariku. Itu terlalu menyiksa."
Btari diam. Ketika lengannya mulai dilepaskan Barra, Btari hanya menatap Barra dengan dingin. "Terserah kamu, Bar. Asal kamu tidak melewati batasmu lagi." Ucapnya, ia lalu berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Barra yang masih begitu emosi.
Wajah dingin Btari, caranya berinteraksi dengan Barra, itu terlalu berbanding terbalik dengan ia ketika Ardya tadi.
Sementara Barra masih terdiam merutuki kebodohannya, Btari mencoba berbarik di kasurnya. Berusaha menenangkan pikiran dan hatinya.
Pengakuan dan kecemburuan lelaki itu teramat mendadak. Ia tidak siap dengan itu. Bagaimana bisa tiba-tiba Barra ingin dirinya menjadi istrinya sepenuhnya?
Ah tidak, menjalani hidup bersama Barra tidak ada dalam daftar impiannya. Ia dan Barra bagaikan minyak dan air. Tidak akan bisa menyatu. Lagipula dari sekian banyak lelaki, kenapa harus Barra? Kalau bukan memikirkan kondisi anak-anak panti, sejak dulu Btari enggan berurusan dengan lelaki itu.
Hampir dua jam berlalu, barulah Btari bisa tidur nyenyak.
...****************...
"Bar!" Btari masih mengenakan mukenanya ketika ia mengedor pintu kamar Barra. Kalau bukan karena urusan penting, ia tidak mau terlalu sering berinteraksi dengan Barra.
"Barra!" Tok tok tok! Sudah hampir lima belas menit ia berdiri di pintu kamar Barra. Namun sedari tadi belum ada tanda-tanda pintu kamar itu akan terbuka.
Btari menarik napasnya untuk kembali mengetuk pintu. Namun belum sempat ia mengetuk pintu tersebut, Barra lebih dulu membukanya. Beruntung tangannya dengan cepat Barra tahan sehingga tidak mengenai bahu Barra.
"Apa?" Tanya lelaki itu. Walaupun matanya terlihat lelah, melihat Barra dengan pakaian koko cream daj sarung membuat lelaki itu terlihat lebih segar dari semalam. "Kamu ngetuk pintu sudah seperti mau ngajak berantem. Kenapa?" Tanyanya kalem.
"Kamu baru mau sholat subuh atau udah selesai?" Tanya Btari. Gadis itu masih belum sadar kalau tangannya berada dalam genggaman Barra.
"Baru selesai. Kenapa? Mau ngajak sholat bareng?"
Btari dengan cepat menggeleng. Bisa-bisanya Barra mengajaknya bercanda sekarang. Walaupun bisa sholat berdua dengan pasangan halal adalah salah satu impian terbesar Btari, namun tetap saja bukan berarti pasangan halalnya itu adalah Barra.
"Cepat banget nolaknya, Bi. Segitu nggak sukanya ya?" Perkataan Barra itu membuat Btari terdiam. Ia tidak bermaksud membuat Barra terlihat menyedihkan seperti sekarang.
"Nggak gitu. Cuma...e... Aku juga udah sholat. Kan nggak ada lagi sholat setelah subuh."
Barra tahu itu hanya alasan Btari saja. Namun Barra tidak terlalu memperdulikan itu. Btari mau mengajaknya bicara lebih dulu saja membuatnya senang. Setidaknya atas apa yang sudah terjadi semalam, gadis ini tidak mendiamkannya.
"Jadi kenapa?" Tanya Barra sambil menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat tangannya.
"Abangku mau kesini. Semalam ia menginap di tempat Tanteku. Dan barusan ia bilang ia mau kesini pagi ini. Mana ia mau menginap lagi." Ujar Btari dengan wajah cemas.
"Hmmh, lalu? Masalahnya apa?" Barra masih belum mengerti mengapa Btari bisa sepanik ini.
Btari menghela napasnya. "Barang-barang di kamarku gimana? Kalau Abangku sampai tahu kita tidur beda kamar bisa ngamuk dia. Dia bisa curiga sama kita, Bar."
Baru kali ini ia melihat Btari sepanik ini. Ternyata pawang terbesarnya ya abangnya sendiri. Barra tertawa pelan, "Ya udah pindahin aja barang-barangmu ke kamarku. Malam ini kamu tidurnya di kamarku. Selesai." Btari mengeram kesal karena Barra yang terlalu santai padahal situasi sedarurat ini.
"Nggak. Enak aja." Tolak Btari cepat.
"Terus kamu mau tidur dimana? Justru kalau tidurmu di tempat lain, Abangmu bisa curiga, Bi." Ujar Barra.
Btari terdiam sejenak. Mencoba berpikir cara yang lain. Namun dari itu semua, memang hanya tawaran Barra yang masuk akal.
Namun untuk tidur sekamar dengan Barra setelah permintaan Barra yang tidak masuk akal itu tidak ada yang bisa menjamin bahwa Barra tidak akan melakukan hal aneh padanya. Oh tidak, tiba-tiba Barra jadi panik sendiri.
"Aw!!!" Btari meringgis ketika keningnya disentil oleh Barra. "Apaan sih, Bar?!" Sungutnya kesal.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kamu kira aku ngajak kamu sekamar biar bisa macam-macam sama kamu? Gini-gini aku nggak bakalan berani kalau kamu nggak ngizinin ya."
Btari mendengus kesal. "Awas aja kalau kamu sampai berani menyentuhku sedikit aja." Ancam Btari lalu segera berjalan ke kamarnya.
"Tapi kalau kamu mau, aku dengan senang hati, Bi!" Barra setengah berteriak pada Btari.
"Jangan kurang ajar, Barra!!" Teriaknya membuat Barra tertawa keras.