Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga
Dan keadaan itu berlangsung selama lebih dari seminggu. Bukan tanpa alasan Laras berdiam diri. Dia gak menyalahkan Aksa. Melainkan menyalahkan dirinya sendiri yang kelewat batas. Tapi caranya salah, karna malah ikut mendiamkan Aksa, yang aslinya korban dari keegoisan dirinya. Perasaannya kerap kali terombang ambing melihat kesabaran Aksa yang luar biasa. Aksa masih memperlakukannya dengan baik. Memberi perhatian lembutnya, dan gak pernah menanyakan kapan dirinya akan bersikap biasa seperti dulu.
"Mbak Lila ke kantor, tapi sama pak Aksa di usir."
Pesan dari Indah. Yang setia mengabari apa saja yang terjadi di kantor.
Lihatlah, Aksa sudah membuktikannya. Dia bahkan dengan tegas mengusir Lila, yang dulu selalu di nomor satukan.
Dari pesan yang dikirim Indah, ada foto Lila yang diseret sekuriti.
"Lihatlah, Bung ... Aksa menepati ucapannya. Gue berhasil membuat pria itu menyukaimu, Bunga. Tapi gue malah merusaknya, gue terjerat nafsu, gue gak bisa menahan diri hingga melakukan hal yang gak seharusnya ...." Laras termenung. Menyesali dirinya sendiri.
Sudah beberapa hari ini dia tidak keluar kamar. Hanya jika ada perlunya saja. Pun, dia gak ke kantor. Terserah kalau dia dipecat. Dia harap, waktu bisa diputar, dan kembali ke kehidupan lamanya.
"Huft ....." Laras merebahkan tubuhnya ke ranjang. Memejamkan matanya. Berharap, begitu bangun, dia sudah kembali ke tubuhnya yang asli. Boleh, kan?
.
.
Dering ponsel Laras berisik nyaring. Membuat gadis itu terbangun dari lelapnya. Meraih malas ponselnya. Sebuah nomor asing. Mengganggu saja, gerutunya. Mematikan panggilan itu dan berniat melanjutkan tidurnya.
Tapi, lagi-lagi panggilan itu terulang. Dua, tiga kali. Dan untuk panggilan ke empat, Laras menekan tombol hijau, dengan umpatan kesal tentunya.
"Halo, siapa sih? Berisik!" Omelnya langsung.
Hening. Tak ada sahutan disana. Laras makin kesal.
"Halo? Heh! Kalau gak niat nelpon, gak usah nelpon ngapa? Ganggu orang tidur aja."
Laras hampir mematikan panggilannya, tapi suara dari seberang menghentikan niatannya.
"Laras?"
Deg! Jantung Laras seketika membeku. La-Laras? Akhirnya ada yang memanggilnya dengan nama itu selain Aksa.
"Ini benar Laras?"
Laras terkesip. Suara perempuan terdengar lembut, beda dengan dirinya yang terbiasa nge-gas. Ditilik dari suaranya, sepertinya sama mudanya dengan dirinya.
"Ini siapa?" Tanyanya, dengan jantung berdetak kencang. Entah kenapa dia berharap ini jawaban dari harapannya selama ini.
"Aku .... Bunga."
Deg!
Ponselnya merosot jatuh. Bunga? Jadi, benar dugaannya ...
"Halo, Ras? Kamu masih disana?"
Laras menggeleng. Menyadarkan dirinya yang saking terkejutnya sampai syok. Mengambil lagi ponselnya.
"Hai, Bunga ...."
"Maaf, tapi ini benar Laras, kan?"
Laras menelan salivanya kasar. Bahkan sekarang matanya mengembun. Dia merasa terharu, karna akhirnya yang dia harapkan terkabul.
"Iya, ini aku, Laras."
"Ah, syukurlah. Untung aku berhasil ingat nomor lamaku. Makasih, Ras, karna tidak mengganti nomor hp nya."
Laras mengangguk. Padahal dia tahu Bunga gak akan melihat anggukanmu.
"Apa kamu menempati tubuhku, Bung?" Pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
"Iya. Tubuh kita tertukar, Ras. Awalnya aku juga bingung, kenapa aku bangun-bangun di kamar asing. Lebih aneh lagi karna ada seorang wanita yang memanggilku Laras, bukan Bunga. Tapi, wajah kita sama, Ras?"
Laras mengangguk. Tak terasa air matanya mengalir. Dia bahagia, sekaligus terharu, penantiannya berakhir.
"Bung, bisakah kita bertemu?"
Sejenak tak ada sahutan dari seberang. Laras sempat khawatir Bunga akan menolaknya. Mungkin trauma dengan kehidupannya disini. Tapi ...
"Iya, Ras. Dimana?"
Laras mendesah lega. Mengirimkan alamat untuk mereka bertemu.
Dan tanpa membuang-buang waktu, Laras segera beranjak. Dia harus segera pergi!
.
.
Laras telah sampai tempat yang mereka sepakati. Di sebuah taman kota, yang menurut jarak tempuh, itu tepat di tengah-tengah jarak mereka.
Laras mendudukkan bokongnya di salah satu kursi taman. Netranya menatap sekitar dengan senyum berdebarnya. Jujur saja, dia gak sabar pengen ketemu tubuh aslinya. Tapi, dia juga khawatir. Khawatir dengan sesuatu. Sebentar-sebentar dia melihat ponselnya. Takut kalau Bunga sudah datang.
Waktu berlalu, matahari semakin menaik tepat di atas kepalanya. Hawa panas juga mulai menerpa kulitnya meski ada banyak pepohonan disini.
Lalu lalang orang-orang berteduh sambil menikmati makanan dan air dingin, mengobrol dengan sebelahnya. Huft ... Berbeda dengan dirinya yang sendirian. Bunga kemana? Kenapa belum juga datang? Apa sesuatu terjadi, sampai menghambat kedatangan Bunga?
Laras menggeser duduknya, menjadi duduk bersila. Bokongnya pegal duduk dengan posisi seperti tadi. Dia mengela napas panjang. Berakhir memutuskan untuk menghubungi Bunga, menelpon nomor Bunga. Tapi ....
Nomornya gak aktif! Bunga bergerak gelisah. Kembali, dan terus menghubungi Bunga, tapi tetap sama. Nomor bunga gak aktif. Jemari Laras menari lincah, mengirim banyak pesan beruntun pada Bunga. Menyatakan kekhawatirannya karna Bunga belum juga datang.
Dua jam berlalu, tanpa ada kejelasan. Laras melemas. Menjatuhkan dirinya di kursi. Meremat jemarinya yang gemetar. Napasnya tersengal. Bunga sengaja menolak bertemu kah? Kenapa yang diharapkan gak juga datang. Apa sesakit ini Bunga dengan hidupnya, hingga memutuskan untuk memilih mengambil hidupnya? Hidup Laras yang tenang dan nyaman meski jauh dari kemewahan yang ditawarkan Aksa.
"Tolong ... Kembalikan hidupku, aku mohon ...." isaknya, lirih.
.
.
Tes ...
Bantal yang digunakannya basah. Meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Bibir kecil itu bergerak pelan. Melafalkan kalimat yang kalau diterjemahkan berarti kembalikan hidupku .... Aku mohon ....
"Aahh!"
Laras tersentak. Saat suara itu melawan alam bawah sadarnya. Matanya sontak membuka. Dia, tidur? Bukannya tadi dia berada di taman?
Laras menyadari sesuatu. Jadi, tadi hanya mimpi? Mimpi yang terasa seperti nyata. Cepat Laras meraih ponselnya. Memeriksa bekas panggilan. Dan ... Shit!
Laras mengumpat. Itu benar, cuma mimpi! Tidak ada nomor baru yang masuk. Panggilan terakhir adalah panggilan dari Aksa.
Gadis itu tercenung, cukup lama. Mimpi itu mempengaruhi psikologisnya. Dia jadi kepikiran. Meraup wajahnya kasar. Kenapa mimpi? Kenapa hanya mimpi?
But ...
Laras terlonjak melompati ranjang. Tapi taman itu nyata. Tidak ada salahnya kalau dia memeriksa tempat itu. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, bukan? Misalnya, dia bertemu Bunga disana. Siapa tahu, mimpi ini menjadi jembatan untuk memberinya informasi secara tidak langsung.
.
.
Di kursi yang sama, Laras menempatkan duduknya. Tubuhnya menegang. Tegang dengan kemungkinan yang dia bayangkan. Matanya bergulir menatap sekitar. Mengamati setiap orang yang disana, atau kebetulan lewat. Tanpa melewatkan satu pun. Ayolah, tolong hadirkan sosok yang mirip dengannya.
Dalam hati Laras sempat mengumpat, kenapa dia gak meminta Bunga saja yang mengirimkan alamat. Meski dalam mimpi, tapi setidaknya bisa dia buktikan lewat alam nyata seperti ini. Tapi sudah terlanjur. Lagipula, di mimpi, dia gak bisa mengaturnya. Semua berjalan semestinya. Masih sedikit bersyukur dia ada tempat ketemu. Jadi, dia bisa memastikan. Meski, sebenarnya itu malah membuat harapan tak nyata untuknya.
Satu ...
Dua ...
Tiga ....
Hampir lima jam Laras disini, tanpa makan minum. Dia sempat berkeliling, tapi dia rasa tidak efektif. Takutnya malah saat itu Bunga lewat dan dia melewatkannya karna gak papasan. Dia memutuskan untuk kembali menunggu di tempat tadi.
Hari gelap. Tapi Laras gak peduli. Meski orang-orang mulai pergi, bersiap menyambut malam, dia tidak pergi. Harapannya hanya satu, dia harus menemukan Bunga.
Langit mendung. Gelap semakin gelap karna mendung yang menggelayut. Sedikitpun tak menyurutkan Laras untuk beranjak. Padahal dia hanya memakai piyama tidurnya yang tipis. Itu karna dia buru-buru hendak menemui Bunga. Gak kepikiran sama sekali untuk ganti. Takut kehilangan jejak Bunga. Bahkan, mungkin terbesit di pikiran beberapa orang kalau dirinya orang gak waras, karna memang penampilannya asal. Ditambah dia hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Hanya menatap sekitar dengan tatapan kosongnya.
Brussss ...
Hujan tanpa aba-aba menjatuhkan diri dari langit. Menerpa kasar kulit Laras. Tapi gadis itu mengabaikannya. Membiarkan tetes deras itu menyentuhnya bertubi-tubi. Basah kuyup? Itu sudah pasti.
"Laras!"
Teriakan seorang pria mengambil alih atensinya. Di tengah suara deru hujan yang memburu. Laras hanya menoleh sekilas, membuang kembali pandangannya.
"Ya Tuhan, Laras, apa yang kamu lakukan disini?"
Grep.
Aksa memeluknya erat. "Aku mencarimu kemana-mana, Ras. Apa yang terjadi? Kenapa kamu pergi meninggalkan rumah?"
Laras justru menangis. Sesuatu sesak yang dia tahan sedari tadi jebol. Dia dihantam realita jahat atas angannya sendiri.
Aksa mendesah pelan. Dia merasa, dirinya lah penyebab hal ini. Ditambah, kemarin-kemarin Laras memang mendiamkannya. Apa karna itu, Laras jadi seperti ini? Kalau tahu akhirnya begini, Aksa bersumpah, dia gak akan menyentuh gadis ini. Dia lebih takut melihat kesakitan Laras.
"Maaf ... Membuatmu seperti ini, Ras," bisiknya lembut, penuh penyesalan.
Bayangkan, dia kelimpungan tadi tidak mendapati keberadaan Laras di rumah. Bahkan bi Imah saja gak tahu. Aksa yang baru pulang dari kantor langsung gegas mencari tanpa melepas pakain kerjanya. Bahkan dia memakai kaos kaki tanpa sepatu. Gak sempat.
"Kita pulang, ya ... Nanti sakit."
Laras menggeleng. Masih dalam pelukan Aksa.
"Bunga ... Hiks ...."
Dahi Aksa mengerut. Dia gak salah dengar tadi? Laras menyebut nama ...
"Bunga Aksa, aku pengen ketemu Bunga ...."
Bruk.
Tubuh Laras melemah. Untung saja Aksa dengan sigap menangkapnya. Laras jatuh tak sadarkan diri.
"Ras?"
Aksa dengan cepat membawa Laras ke mobil.