NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:886
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦠꦱꦶꦗꦶ

Tahun demi tahun berlalu sejak William pertama kali menapakkan kakinya di Pulau Jawa. Dengan kecerdasan dan strateginya yang brilian, ia berhasil menguasai seluruh wilayah pulau itu. Penduduk pribumi tunduk pada kekuasaannya, dan dia memerintah dengan tangan besi namun cerdik, memastikan kekuatannya tak tergoyahkan.

Pada suatu sore, di dalam ruang kerjanya yang megah di tengah istananya di Batavia, William duduk menulis surat untuk adik sepupunya, Harlic Wilthesen, yang tinggal di Eropa. William merasa sudah waktunya memberi tahu Harlic tentang pencapaiannya di Timur Jauh, sekaligus mengundangnya untuk bergabung dalam perjalanannya.

Percakapan (via surat):

Surat William kepada Harlic:

"Harlic, adikku yang terhormat,

Sudah bertahun-tahun sejak kita terakhir berbicara, namun ingatan tentang semangat dan keberanianmu selalu menyemangatiku. Aku menulis surat ini dari tanah yang kini sepenuhnya berada di bawah kendaliku—Pulau Jawa. Ya, Harlic, aku telah berhasil. Penduduk pribumi kini tunduk pada otoritasku, bukan hanya melalui kekuatan, tetapi juga melalui kebijakan yang mereka tak dapat tolak.

Aku tak hanya ingin kau tahu tentang keberhasilanku, tapi aku juga ingin mengajakmu datang ke sini. Dengan potensimu dan pemahamanmu tentang strategi, aku yakin kita dapat memperkuat posisi kita lebih jauh lagi di wilayah ini. Datanglah, Harlic. Tanah ini kaya, penuh dengan peluang yang menanti untuk dikuasai. Bersama, kita akan membangun kekuatan yang tak tergoyahkan.

Aku menantikan balasanmu.

Berbulan-bulan telah berlalu sejak William mengirimkan suratnya kepada Harlic Wilthesen. Di sebuah sore yang tenang di Eropa, seorang kurir datang membawa sepucuk surat yang tertutup segel khas William. Harlic, yang tengah bersantai di ruang baca, menerima surat itu dengan rasa penasaran yang memuncak. Ketika ia melihat nama pengirimnya, seketika ia tersenyum.

"William," gumamnya pelan sambil membelai segel itu. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar surat biasa. Ini adalah kabar dari sepupu yang sudah lama tak bertemu, seseorang yang ia kagumi sebagai sosok yang ambisius dan penuh tekad. Tanpa menunggu lebih lama, ia membawa surat tersebut ke ruang kerjanya.

Di ruang itu, dengan cahaya lilin yang menerangi meja kayu besar, Harlic duduk dan perlahan membuka surat tersebut. Mata birunya menyusuri setiap kata yang ditulis William dengan tinta hitam yang tegas. Ia membaca dengan penuh perhatian, dan semakin dalam ia membaca, semakin besar rasa kagumnya terhadap pencapaian William.

Ketika sampai pada kalimat yang mengundangnya untuk bergabung di Pulau Jawa, Harlic berhenti sejenak. Ia meletakkan surat itu di atas meja dan menatap keluar jendela, membayangkan petualangan baru yang menantinya. Pulau Jawa, sebuah wilayah yang jauh dan eksotis, kini berada di bawah kendali sepupunya. William telah berhasil menaklukkan Mataram, kerajaan besar yang pernah ia dengar hanya melalui cerita-cerita pedagang.

"Dengan kagumnya aku padamu, William," Harlic bergumam, "Aku tak akan menyia-nyiakan undangan ini."

Ia segera memanggil kepala pelayannya dan memberikan perintah tegas. "Panggil semua awak kapal. Sampaikan kepada mereka bahwa kita akan mempersiapkan perjalanan besar ke Timur Jauh."

Hari itu juga, kabar tersebut menyebar ke seluruh pelabuhan tempat kapal milik Harlic bersandar. Para pelaut mulai sibuk memeriksa peralatan, mengisi persediaan makanan, dan memastikan kapal dalam kondisi terbaik untuk menempuh perjalanan panjang melintasi samudra. Harlic, di sisi lain, menghabiskan waktunya di ruang kerja, menulis balasan surat kepada William.

"William, sepupuku yang hebat,

Dengan penuh kekaguman, aku membaca kabar tentang keberhasilanmu menaklukkan Mataram dan menguasai Pulau Jawa. Kau benar-benar telah membuktikan dirimu sebagai pemimpin yang luar biasa, dan aku merasa terhormat menerima undanganmu.

Aku menerima tantangan ini dengan penuh semangat. Dalam beberapa minggu, kapalku akan berlayar menuju tanah yang kini menjadi kerajaanmu. Bersiaplah, William, karena kita akan bersatu untuk membangun kekuatan yang lebih besar lagi.

Sampai bertemu di Mataram.

Harlic."

Setelah selesai menulis, Harlic menyegel surat itu dan memberikannya kepada kurir terbaiknya untuk dikirim secepat mungkin. Ia kemudian berdiri di atas dek kapalnya, memandang cakrawala yang jauh, penuh dengan impian akan petualangan baru di tanah asing. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menyusul William, tetapi juga tentang mencetak sejarah bersama sepupunya yang telah mencapai puncak kekuasaan.

Malam itu, kapal Harlic bersiap untuk perjalanan panjang. Dengan angin yang mulai berhembus lembut, ia berdiri di geladak, membayangkan pertemuannya dengan William di Mataram. Satu hal yang pasti, ia akan tiba di sana bukan hanya sebagai sepupu, tetapi juga sebagai mitra dalam membangun kekuasaan yang abadi di Timur.

Setelah beberapa bulan berlalu, William akhirnya menerima balasan dari Harlic. Surat itu dibuka dengan hati-hati, dan saat ia membaca isinya, sebuah senyuman puas tersungging di wajahnya. Harlic, adik sepupunya yang ia hormati, telah menerima undangannya dan akan segera berlayar menuju Pulau Jawa. Kabar ini membuat William bersemangat, namun ia juga sadar bahwa kedatangan Harlic harus disambut dengan kemegahan yang mencerminkan kekuasaannya di tanah ini.

William segera memanggil para penasihat dan kepala pasukannya untuk merencanakan pesta penyambutan yang akan meninggalkan kesan mendalam bagi Harlic. Namun, persiapan sebesar ini membutuhkan banyak tenaga kerja dan sumber daya. Tanpa ragu, William memerintahkan para pribumi untuk bekerja lebih keras dari biasanya. Ia memberikan instruksi tegas kepada bawahannya.

"Kumpulkan para kepala desa," ujar William dengan suara dingin. "Katakan pada mereka bahwa aku menginginkan persiapan tanpa cela. Makanan harus berlimpah, dekorasi harus megah, dan setiap sudut kota ini harus mencerminkan kejayaanku. Jika ada yang berani membangkang atau mencoba melawan, aku tak akan ragu memberi perintah pada tentara kita untuk menembak mereka di tempat."

Para kepala desa yang dipanggil segera menyebarkan perintah tersebut ke seluruh wilayah. Warga pribumi, yang sudah terbiasa dengan kekejaman William, bekerja keras tanpa henti. Mereka mengolah ladang, memanen hasil bumi terbaik, dan memasak makanan dalam jumlah besar untuk pesta tersebut. Namun, suasana desa dipenuhi ketakutan. Kata-kata William yang disampaikan melalui bawahannya menggema di hati mereka: siapa pun yang berani menentang, akan menghadapi maut.

Di sisi lain, William memantau langsung jalannya persiapan. Ia berkeliling dengan kudanya, memeriksa setiap sudut kota dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Ketika ia menemukan seorang pekerja yang lambat dalam menyelesaikan tugasnya, William tidak ragu memberikan hukuman di tempat. Tentara-tentaranya selalu siap dengan senapan di tangan, berjaga-jaga terhadap kemungkinan perlawanan.

"Saya tak peduli alasan mereka," kata William kepada komandan tentaranya. "Jika ada yang mencoba menghambat persiapan ini, pastikan mereka menjadi contoh bagi yang lain."

Malam sebelum kedatangan Harlic, desa-desa di sekitar kota sudah bekerja hingga kelelahan. Para wanita sibuk memasak makanan tradisional yang dipaksa dipelajari oleh William untuk dijadikan hidangan, sementara para pria menyiapkan arena pesta dan membersihkan jalanan. Cahaya obor dan lentera menerangi malam yang penuh aktivitas.

Namun, di tengah ketakutan itu, ada pula keinginan para pribumi untuk sekadar bertahan hidup. Mereka tahu bahwa melawan berarti kematian, dan menurut berarti dapat menyelamatkan keluarga mereka dari ancaman senjata William.

Saat fajar menyingsing keesokan harinya, semua sudah siap. Pesta yang megah menanti kedatangan Harlic, sementara William berdiri di depan istananya dengan penuh kebanggaan. Meski cara yang ia gunakan penuh dengan intimidasi dan kekerasan, hasil akhirnya sempurna di matanya. "Harlic akan tahu bahwa aku adalah penguasa sejati di sini," bisiknya pada dirinya sendiri sambil menatap cakrawala, menunggu kapalnya tiba.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!