Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bu Sinta yang aneh.
"Pa, Mama kenapa?" tanya Diana sembari memeluk sang papa. Kini mereka sedang berada di rumah sakit, karena Diana mengalami luka-luka di tangan dan lengannya yang ia dapat dari amukan sang ibu.
"Papa juga gak tau, Na. Tiba-tiba aja mama kayak orang gila," jawab pak Herman mengelus kepala anaknya yang terlihat masih syok. "Untung papa tadi cepet pulang ya, Na. Kalau enggak, papa gak tau mama bakalan apain kamu di dapur tadi," ujar pak Herman menambah rasa takut Diana.
Bu Sinta sudah di bawa ke ruang kejiwaan untuk pemeriksaan, meski masih mengamuk dan harus di beri obat penenang.
"Sekarang kamu istirahat ya, papa mau liat kondisi mama kamu bentar. Papa juga udah nelpon om kamu, biar bantu jagain di sini," ucap pak Herman dan diangguki oleh Diana.
"Iya, pa."
Setelah papanya pergi, Diana pun membaringkan tubuhnya, lalu menatap tangannya yang diperban.
Diana mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, lalu mengirimkan pesan ke Aryan berupa foto luka-luka yang ia alami.
"Iyan, mama nusuk aku, mama hampir bunuh aku. Aku sekarang masuk rumah sakit, aku sendirian, takut. Aku bener-bener butuh kamu, please. "
"Centang satu," gumam Diana menghela nafas panjang. "Kira-kira Iyan lagi ngapain ya? Terus si penyakitan itu gimana kondisinya? Aku harap sih dia jadi gila atau lebih dari itu!"
Diana menatap kembali pesan yang ia kirim, lalu tersenyum tipis.
Ia yakin, Aryan akan khawatir padanya. Ia yakin, cinta laki-laki itu masih ada padanya.
Diana cukup yakin.
Di sisi lain.
Aira baru saja selesai membersihkan diri dan kini tengah duduk di meja riasnya, menatap wajahnya di cermin.
"Kamu udah selesai?" tanya Aryan muncul secara tiba-tiba, membuat Aira terkejut.
"Selesai apa?"
"Mandinya."
"Oh, udah."
"Kalau udah, ayo makan siang. Mama masakin makanan kesukaan kamu," ujar Aryan masih menatap istrinya yang tengah menyisir rambut.
"Biar saya aja yang sisir," celetuk Aryan mengambil alih sisir dari tangan Aira.
"Mas?"
"Kamu nyisirnya gak rapi."
"Kan baru mulai!"
Aryan tak menanggapi dan memilih menyisir rambut istrinya, lalu mengikatnya dengan rapi.
"Kepala kamu pusing gak?"
"Enggak," jawab Aira tersenyum manis melihat suaminya dari cermin.
"Kalau ada yang sakit atau gak nyaman, bilang ke saya ya." Aryan yang merasa di tatap pun memilih mengelus kepala Aira, lalu berjalan menuju kamar mandi.
"Kamu turun duluan, saya mau ke kamar mandi dulu," seru Aryan lalu masuk ke kamar mandi. Aira memegang kepalanya yang di elus suaminya, lalu tersenyum senang. Ia bahagia sekali, sangat bahagia untuk tindakan kecil yang dilakukan suaminya.
Malam harinya.
Aryan baru saja menyentuh ponselnya setelah semua kesibukan hari ini. Ia pun membuka aplikasi pesan untuk melihat pesan-pesan yang di kirimkan teman-temannya.
Fokusnya teralihkan pada pesan yang di kirim Diana. Keningnya mendadak berkerut saat membaca pesan Diana yang mengatakan bu Sinta seperti orang gila dan tega melukai putrinya sendiri.
"Kok bisa?" gumam Aryan pelan. Bagaimana bisa dalam satu malam seseorang mendadak gila? Aryan rasa ini sedikit tidak masuk akal.
^^^Diana^^^
^^^"Iyan, akhirnya kamu on juga."^^^
^^^"Akhirnya centang biru juga."^^^
^^^"Iyan, mama bener-bener kayak orang gila, tapi dokter belum bisa mastiin penyebab mama jadi gini."^^^
^^^"Aku takut kalau mama kena guna-guna :("^^^
^^^"Tolongin aku, Iyan."^^^
Aryan membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ada dugaan dan juga pemikiran negatif yang mendadak memenuhi benaknya.
"Mas," panggil Aira membuat Aryan langsung meletakkan ponselnya dan menatap ke arah istrinya yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Iya?"
"Aku mau ke dapur, mau makan sesuatu, tapi takut."
"Ayo saya temenin," ucap Aryan membuat Aira langsung tersenyum. Memang sekarang masih jam 9 malam, tapi karena kejadian beberapa hari yang lalu, Aira mendadak menjadi penakut. Bahkan ke kamar mandi saja takut, walau di siang hari.
"Kamu mau makan apa?" tanya Aryan setelah mereka tiba di dapur.
"Makan nasi sama telur dadar, terus pakai sambel, pakai lalapan timun."
"Kalau gitu biar saya aja yang masakin, kamu duduk aja."
"Aku bantu bikin sambelnya," usul Aira antusias.
"Gak usah, nanti tangan kamu kotor. Duduk aja atau gak usah makan!" Aira seketika memberengut kesal, namun tetap memilih patuh saja, karena memang ia lapar.
Beberapa menit kemudian, makanan sudah jadi. Aira makan dengan lahap, sedangkan Aryan duduk memperhatikan istrinya saja.
"Mas mau?"
"Enggak, saya masih kenyang."
"Terus kenapa natapin aku kayak gitu?" tanya Aira lalu lanjut mengunyah.
"Enggak, saya cuma kepikiran aja. Kalau kamu makan ini semua, anak kita juga makan ini ya?" seru Aryan membuat Aira berpikir sejenak.
"Kayaknya."
"Oh, kalau gitu kamu harus sering-sering makan makanan yang sehat. Jangan makan pedes ya," ucap Aryan pelan.
"Mas lagi perhatian sama aku?" tanya Aira dengan nada meledek. Aryan pun hanya diam saja dan memilih memakan timun yang tadi ia potong-potong.
"Mas lucu deh," ucap Aira tertawa pelan membuat Aryan berdehem dan memilih mengambil air minum.
Di sisi lain.
Diana menatap pesan yang ia kirim dan belum kunjung di balas, meski sudah centang biru. Diana benar-benar tak menyangka kalau Aryan akan sejauh ini berubah dan menjauh darinya.
Ia tak terima.
Belum lagi nasib ibunya yang semakin tak jelas, membuat Diana frustasi.
"Gimana pun caranya, aku bakalan buat Iyan benci sama Aira! Aku yakin sekarang Aira lagi nyoba buat nyuci otaknya Iyan. Aku harus ngelakuin sesuatu biar Iyan ninggalin Aira!"
Diana meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menatap papanya yang sudah tertidur. Mungkin karena lelah harus mengurus dua orang sekaligus.
"Ma, semoga mama cepat sembuh. Diana yakin kalau mama cuma sakit biasa aja, bukan efek dari tindakan mama," gumam Diana memejamkan matanya. Lelah sekali rasanya beberapa hari ini, sangat melelahkan.
Di sisi lain.
Bu Sinta tampak berteriak histeris sembari menunjuk-nunjuk langit kamar, lalu sudut kamar dan ke arah lainnya yang membuat perawat bingung.
"Pergi kamu! Pergi!"
"Bu Sinta, tolong tenang."
"Bukan aku! Bukan aku yang harus kamu datangin! Pergi sana! Pergi!" teriak Bu Sinta menjambak rambutnya. Para perawat berusaha menenangkan, namun kelihatannya tenaga bu Sinta sangat kuat saat ini.
"Lepasin aku! Jangan bunuh aku! Aku gak salah!" Bu Sinta tampak memukul-mukul angin, pindah dari satu sisi ke sisi lain, membuat perawat kewalahan karena harus menjaga infus agar tidak tercabut.
Karena merasa situasi semakin kacau, mau tak mau para perawat yang berjaga memberikan obat penenang.
"Pergi!" teriak Bu Sinta dengan sisa tenaganya. Setelahnya, bu Sinta pun di bawa untuk kembali berbaring di ranjang.
"Dia kayak kesurupan gak sih?" celetuk salah satu perawat.
"Entah, tapi ngeri aja gitu kalau lagi ngamuk."
"Syuut, jangan ngomongin pasien!"
Aryan udah tobat
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya